Konten dari Pengguna

Gus Dur dan Keadilan Sosial

Maria Salwa Humairoh
Mahasiswa Manajemen Universitas Airlangga
4 Februari 2023 16:10 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maria Salwa Humairoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Foto: Paula Bronstein/Newsmakers by Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Foto: Paula Bronstein/Newsmakers by Getty Images
ADVERTISEMENT
Masih adakah keadilan sosial? Sudahkah kita berperilaku adil setiap hari? Apakah keadilan itu ada? Pertanyaan itu seringkali terlintas di dalam benak kita, apakah keadilan memang benar-benar masih ada?
ADVERTISEMENT
Setiap 20 Februari diperingati sebagai hari Keadilan Sosial Sedunia atau World Day of Social Justice sudah diperingati sejak 2009 silam. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 20 Februari sebagai Hari Keadilan Sosial Sedunia (World Day of Social Justice). Tanggal ini ditetapkan pada November 2007 dalam periode sidang PBB ke-62. Penetapan ini didasarkan pada resolusi PBB yang diadakan pada bulan November 2007 yang menyerukan bahwa seluruh negara di dunia wajib menjalankan sistem perekonomiannya secara adil dan merata. Bagi PBB, majunya keadilan sosial menjadi bagian dari misi global untuk mempromosikan martabat dan pembangunan manusia.
Dilansir dari laman United Nations
ADVERTISEMENT
Organisasi Perburuhan Internasional dengan suara bulat mengadopsi Deklarasi ILO tentang Keadilan Sosial untuk Globalisasi yang Adil pada 10 Juni 2008. Ini adalah pernyataan utama ketiga dari prinsip dan kebijakan yang diadopsi oleh Konferensi Perburuhan Internasional sejak Konstitusi ILO tahun 1919. Ini didasarkan pada Deklarasi Philadelphia tahun 1944 dan Deklarasi tentang Prinsip dan Hak Mendasar di Tempat Kerja tahun 1998. Deklarasi tahun 2008 mengungkapkan visi kontemporer mandat ILO di era globalisasi.
Kesadaran akan pentingnya keadilan harus ada dalam diri kita sejak kita masih dini. Semua orang berhak mendapatkan keadilan untuk dirinya sendiri dalam segala bentuk. Terutama keadilan dalam menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
Presiden Soekarno dalam pidatonya pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945 mengatakan “Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan.” Sedangkan menurut Gus Dur, keadilan merupakan suatu perintah agama, bukan hanya acuan etis atau dorongan moral saja, tetapi keadilan sosial juga merupakan sebuah perintah agama yang netral politik
ADVERTISEMENT
Menurut Junaedi di dalam artikelnya yang berjudul “Tinjauan Filosofis Tentang Keadilan Sosial dalam Sistem Hukum Nasional” Keadilan sosial adalah tujuan dan cita-cita hukum, maka keadilan sosial harus dapat diaktualisasikan dalam segala bidang kehidupan manusia. Keadilan sosial perlu mendapat kepastian dari hukum yang jelas dan tegas, karena tanpa adanya aturan hukum yang jelas, tidak menutup kemungkinan keadilan sosial akan dimonopoli oleh kelompok-kelompok tertentu.
Dalam dialog bertema "Keadilan Sosial dalam Perspektif Gus Dur dan Imam Khomeini" yang diselenggarakan Iranian Corner UIN Jakarta-Konsuler Kebudayaan Republik Islam Iran di Fakultas Ushuluddin (FU), Rabu (7/6/2017) disimpulkan bahwa Keadilan sosial adalah semua bentuk ibadah di dalam rukun Islam yang melahirkan sikap welas asih kepada sesama. Ini berbeda dengan keyakinan umum dimana ibadah semata dimaksudkan untuk kepentingan masing-masing individu agar terbebas dari neraka dan mendapatkan surga. Padahal semua ibadah di dalam rukun Islam itu memiliki dimensi sosial.
ADVERTISEMENT
Nyatanya di Indonesia masih banyak diskriminasi dan rasisme mengenai keadilan sosial dalam menjalankan kegiatan keagamaan. Agama yang seharusnya menjadi penghubung manusia kepada Tuhannya malah menjadi bahan diskriminasi, bahkan untuk melakukan ibadah masih saja dihalang-halangi oleh oknum-oknum yang tidak memiliki rasa toleransi dalam beragama.
Kita tidak bisa lupa akan sejarah pada masa Orde Baru, berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China yang dikeluarkan Presiden Soerharto di masa Orde Baru, ketika etnis Tionghoa dibatasi dalam melakukan kegiatan peribadatan secara mencolok. Selama 32 tahun lamanya etnis Tionghoa hanya dapat melakukan kegiatan peribadatan dalam lingkup keluarga saja. Keputusan itu dikeluarkan karena etnis Tionghoa dinilai dapat mengganggu asimilasi masyarakat pribumi. Pada saat itu juga etnis Tionghoa juga diharuskan mengganti identitas menggunakan nama Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keputusan itu menunjukkan bahwa pada era Orde Baru, masyarakat Indonesia masih kurang bersikap toleran dalam keadilan sosial terutama dalam hal kebebasan beragama. Bahkan hingga saat ini, di beberapa tempat masih sering terjadi diskriminasi terhadap kaum minoritas, seperti sulitnya izin membangun tempat ibadah bagi agama minoritas.
Dengan dikeluarkannya (Keppres) Nomor 6 Tahun 2006, Gus Dur mematahkan pemikiran Presiden Soeharto pada seperti yang tertuang dalam (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967. Gus Dur juga menegaskan etnis Tionghoa juga merupakan bagian dari Indonesia, maka dari itu mereka harus mendapatkan perlakuan yang setara terutama dalam melakukan kegiatan peribadatan. Pengakuan Gus Dur terhadap etnis Tionghoa dan penetapan Kong Hu Chu sebagai agama yang resmi di Indonesia membuat Gus Dur dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa. Gus Dur juga menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai libur nasional. Berkat jasa Gus Dur itu masyarakat Tionghoa kini dapat merayakan Imlek dengan bebas tanpa ada peraturan yang mengikat mereka.
ADVERTISEMENT
Semua orang yang hidup di dunia berhak mendapatkan keadilan sosial, terutama keadilan dalam melakukan peribadatan. Indonesia memiliki banyak keanekaragaman budaya, suku, maupun agama, maka untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan, masyarakat Indonesia harus menerapkan keadilan sosial dalam segala aspek masyarakat, toleransi terhadap sesama. Kita bisa belajar dari Gus Dur bahwa semua orang berhak mendapatkan keadilan, tidak memandang dari suku, agama, budaya apa mereka berasal. Jangan sampai kita mengulang lagi sejarah yang sama yang membuat masyarakat Indonesia terkesan tidak toleran dan diskriminatif dan membuat Indonesia menjadi terpecah belah.