Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Warisan Kelam Sang Presiden
30 Juli 2024 6:32 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Imam Samudra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, majalah Tempo menerbitkan laporan khusus tentang Nawa Dosa Presiden Joko Widodo. Laporan tersebut mengulas 18 dosa Jokowi selama menjabat sepuluh tahun sebagai presiden. Salah satu dosa Jokowi adalah terkait dengan maraknya komersialisasi pendidikan yang terjadi hampir di semua sektor.
ADVERTISEMENT
Komersialisasi Pendidikan di berbagai tempat terlihat semakin menggurita. Legasi buruk Sang Presiden selama satu dekade meninggalkan sejarah kelam dalam sistem pendidikan, dan melahirkan beberapa dampak serius yang masih belum terselesaikan.
Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kebijakan yang dibuat. Pertama, komodifikasi Perguruan Tinggi. Satu tahun setelah Jokowi dilantik pada periode pertama atau pada tahun 2015 ia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). PP ini mengatur mekanisme PTN-BH dalam menetapkan tarif biaya kuliah, diantaranya membahas terkait pembiayaan mahasiswa.
Melalui aturan tersebut kampus memiliki kontrol penuh terhadap pengelolaan keuangan, sumber daya, dan tenaga kerja kependidikan. Yang dapat membuat kampus semena-mena dalam menentukan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
ADVERTISEMENT
Misalnya di Universitas Riau (UNRI) dengan menerapkan UKT di sejumlah Program Studi (Prodi), diantaranya Prodi Agribisnis dan Teknik Mesin sebesar Rp. 20 juta dan Prodi Pendidikan Dokter yang mencapai Rp. 115 juta.
Akibatnya banyak mahasiswa yang mengundurkan diri dari kampus karena tidak mampu membayar UKT. Sebanyak 50 calon mahasiswa baru (camaba) yang lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) dari UNRI mengundurkan diri karena tidak sanggup membayar UKT.
Mahalnya biaya pendidikan membuat seseorang tidak dapat merasakan manisnya pendidikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari 275 juta penduduk Indonesia hanya 10 persen yang dapat mengakses perguruan tinggi, atau setara dengan 27,5 juta orang saja.
Padahal pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung proses pembangunan sumber daya manusia. Pendidikan sendiri memiliki tujuan sebagai sebuah sarana untuk menggali ilmu pengetahuan, meningkatkan keterampilan, berkompeten dalam menghadapi masalah dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, melalui PP tersebut kampus juga dapat menarik uang mahasiswa dengan menerbitkan Surat Keterangan Rektor (SK Rektor), dengan cara menaikan harga parkir. Misalnya di kampus Universitas Indonesia (UI) yang menerapkan biaya parkir per jam dengan harga Rp. 5.000 sampai 20.000 rupiah.
Tak hanya itu, dampak lain dari PTN-BH adalah kampus dapat mengkomodifikasi dan menyulap fasilitas kampus yang tadinya gratis menjadi berbayar. Misalnya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kampus mengubah Aula Madya menjadi kantin dengan dalih otonomi kampus.
Legasi buruk yang kedua adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 Tentang Komite Sekolah. Aturan ini membolehkan komite sekolah untuk menarik sumbangan kepada seluruh siswa untuk menutupi kekurangan biaya operasional dan kegiatan yang diadakan sekolah.
ADVERTISEMENT
Keputusan ini membuat para oknum guru mengatasnamakan kepentingan sekolah untuk memeras siswa-siswanya. Seperti oknum kepala sekolah yang terjadi di Palangkaraya, SA dan dua oknum menerima uang sejumlah Rp. 1,5 juta diduga uang tersebut adalah pungutan liar (pungli) yang dilakukan oknum untuk kepentingan pribadi.
Artinya dengan adanya kebijakkan ini ada kemungkinan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu kebijakan yang diberikan kepada Komite Sekolah harus di perhatikan dengan seksama agar tidak terjadi pungli oleh oknum-oknum tertentu.
Ketiga, Badan Legislasi mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dalam Pasal 65 Ayat 1 berbunyi: “Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan…”
Kebijakan ini membolehkan pemberian izin membuat lembaga untuk meraup cuan sebanyak yang mereka inginkan (melalui perizinan usaha). Dengan adanya izin seperti ini membuat lembaga sesuka hati mereka menentukan harga untuk masuk ke dalam lembaga pendidikan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dampak negatif dari UU Ciptaker ini dinilai lebih menguntungkan korporasi. Dan merugikan anak buruh, nelayan, dan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini karena kenaikan biaya pendidikan tak sebanding dengan upah atau penghasilan yang didapatkan oleh orang tua.
Biaya pendidikan yang mahal menyebabkan banyaknya anak-anak putus sekolah. Berdasarkan Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) ada 75.843 juta siswa dari tingkat SD-SMA yang putus sekolah.
Ini sungguh memprihatinkan karena banyaknya anak-anak yang seharusnya sekolah malah tidak dapat merasakan nikmatnya sebuah pendidikan. Padahal pendidikan adalah kebutuhan paling penting untuk membantu mengembangkan bakat dan potensi seseorang. Selain itu, pendidikan juga dapat membantu manusia meningkatkan kesejahteraan hidup serta membantu mengentaskan kebodohan dan kemiskinan di negara ini.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya adalah pemerintah yang baru seharusnya dapat lebih baik dan perlu memperbaiki kebijakan terkait pendidikan dan membuat keputusan yang baik agar tidak merugikan masyarakat. Melalui pendekatan inklusif dan kolaboratif, melibatkan berbagai pihak dalam pembuatan dan implementasi kebijakan, akan membantu memastikan bahwa sistem pendidikan di Indonesia dapat merata dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Jangan sampai Nawa Dosa Presiden Jokowi ini terus dilestarikan dan dikembangkan oleh pemerintahan selanjut. Kita berharap pemerintahan baru dapat menuntaskan persoalan ini dan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.