Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Prasangka dan Diskriminasi: Luka Sosial yang Terus Menganga
9 Mei 2025 13:27 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Imam Satria Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pernahkah kamu merasa dihakimi hanya karena penampilanmu? Atau malah kamu yang pernah langsung menilai orang lain dari caranya berpakaian, logatnya, gaya bicaranya, atau bahkan karena ia punya tato di tubuhnya?
ADVERTISEMENT
Kenyataannya, hal-hal seperti ini terjadi setiap hari di sekitar kita dan terkadang kita tidak sadar sedang melakukannya. Kita tumbuh dalam masyarakat yang penuh label. Label-label itu bukan cuma menyederhanakan, tapi juga bisa melukai. Dan di sinilah kita masuk ke dua kata penting: prasangka dan diskriminasi.
Apa Itu Prasangka dan Diskriminasi?
Prasangka (prejudice) adalah penilaian negatif terhadap seseorang atau kelompok yang muncul sebelum kita benar-benar mengenal mereka. Ini bisa soal apa saja: suku, agama, orientasi seksual, cara berpakaian, atau bahkan hobi.
Contohnya?
• “Orang bertato pasti urakan.”
• “Anak daerah pasti nggak modern.”
• “Cowok yang suka dandan pasti nggak ‘normal’.”
Sedangkan diskriminasi adalah saat prasangka itu berubah menjadi tindakan nyata, misalnya:
ADVERTISEMENT
• Menolak orang untuk melamar kerja karena penampilannya.
• Tidak mau duduk di sebelah orang dari kelompok tertentu.
• Memberi nilai rendah karena bias terhadap ras atau gender.
Jadi, kalau prasangka itu di pikiran, diskriminasi itu di aksi.
Kenapa Kita Sering Berprasangka?
Prasangka bukan cuma soal kejahatan hati. Banyak hal yang secara sosial dan psikologis memengaruhinya, seperti:
1. Sistem “kita vs mereka” (ingroup vs outgroup)
Secara alami, manusia lebih nyaman dengan kelompok yang sama: satu daerah, satu hobi, satu agama. Ini disebut ingroup. Sebaliknya, kelompok yang berbeda disebut outgroup dan sering kali langsung dicurigai atau dianggap “lebih rendah”.
2. Belajar dari lingkungan dan budaya
Sejak kecil, mungkin kita terbiasa dengar kalimat-kalimat seperti:
ADVERTISEMENT
• “Perempuan itu nggak cocok jadi pemimpin.”
• “Orang dari daerah sana pelit.”
• “Orang bertato itu pasti kasar.”
Tanpa sadar, kita menyerap semua itu sebagai ‘kebenaran’, padahal itu cuma stereotip, bukan fakta.
3. Pengaruh media dan pop culture
Film dan TV sering memperkuat prasangka. Karakter jahat sering digambarkan bertato, atau berlogat asing, atau dengan pakaian tertentu. Lambat laun, tanpa kita sadari, otak kita menghubungkan penampilan dengan kepribadian, padahal itu belum tentu benar.
Dampaknya Nggak Bisa Dianggap Remeh
Diskriminasi bukan cuma bikin orang sakit hati. Dampaknya bisa sangat luas, bahkan menghancurkan masa depan seseorang.
ada studi yang menyentuh soal ini:
Pemilik tato sering kali mengalami stigma dari lingkungan sekitar, keluarga, dan tempat kerja. Laki-laki yang bertato sering dianggap kriminal, sementara perempuan bertato dicap “tidak baik.” Mereka bahkan ditolak saat melamar kerja hanya karena penampilan, bukan kompetensi.
ADVERTISEMENT
Ini bukan cuma masalah pribadi. Ini adalah masalah sosial. Ketika banyak orang kehilangan kesempatan hanya karena tampilan luar, itu artinya kita membangun sistem yang tidak adil.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Berikut ini beberapa langkah yang bisa kamu mulai dari sekarang:
1. Refleksi Diri: Sadari Bias dalam Pikiranmu
Langkah awal adalah jujur pada diri sendiri. Pernahkah aku menilai orang hanya dari kulit luarnya? Kalau iya, itu bukan aib. Tapi penting untuk sadar, dan memperbaikinya.
2. Perluas Pergaulan dengan Orang yang Berbeda
Berinteraksi dengan orang dari latar belakang berbeda akan membuka pandangan. Kamu akan sadar bahwa label yang selama ini kamu yakini tidak benar.
3. Kritisi Informasi dan Media
Tanyakan pada diri: apakah aku percaya sesuatu hanya karena sering melihatnya di media? Apakah aku sudah cukup tahu sebelum menilai?
ADVERTISEMENT
4. Jadi Bagian dari Solusi
Kalau kamu melihat diskriminasi terjadi—baik itu di tongkrongan, kampus, atau sosial media—kamu bisa memilih untuk tidak diam. Nggak perlu marah-marah, tapi kamu bisa ajak diskusi atau beri sudut pandang lain.
Mari Jadi Generasi yang Lebih Sadar
Kita hidup di dunia yang kaya warna dan beragam. Tapi justru di situ letak keindahannya. Jangan biarkan ketidaktahuan kita menghilangkan kesempatan untuk mengenal orang yang luar biasa hanya karena penampilan luar mereka.
Mungkin kamu nggak bisa ubah dunia dalam semalam, tapi kamu bisa mulai dari dirimu sendiri. Jangan nilai buku dari sampulnya. Jangan nilai manusia dari jaketnya, tatonya, logatnya, atau pakaiannya.
Tiap orang punya cerita. Dan cerita itu layak didengar—kalau kita mau mendengarkan, bukan sekadar menilai.
ADVERTISEMENT