Kerumitan Konsepsi Keagamaan dan Ketuhanan

Imamudin AL Fathir
Mahasiswa UIN Jakarta Prodi Manajemen yang tertarik pada bidang Ekonomi, Sosial, Politik, Budaya, Inklusifitas, Keberlanjutan Lingkungan Hidup
Konten dari Pengguna
11 Desember 2022 22:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imamudin AL Fathir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
By Sage Friedman via unsplash https://unsplash.com/photos/HS5CLnQbCOc
zoom-in-whitePerbesar
By Sage Friedman via unsplash https://unsplash.com/photos/HS5CLnQbCOc
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernahkah kita diam termenung, memikirkan beberapa pertanyaan yang sangat rumit untuk dijawab, bahkan hanya sekadar dijabarkan. Bagi seorang religius, baik dia seorang “pemeluk agama” ataupun bukan, pasti pernah merasa bahwa kehidupannya adalah sebuah masalah. Fakta bahwa dia telah dilahirkan pasti memunculkan satu pertanyaan skeptis, mengenai Tugas (untuk apa) dia dilahirkan? Apakah alasan dia dilahirkan hanya berlandaskan pada kebetulan dan bersifat acak?
ADVERTISEMENT
Tugas yang paling terdepan untuknya adalah menemukan jawaban untuk pertanyaan itu, jawaban yang bukan hanya dalam pemikiran, ataupun sekadar menggunakan dasar-dasar materialisme, dialektika, logika. Tetapi, dia harus menemukan jawaban yang mencakup keutuhan dirinya dalam caranya menjalani sebuah kehidupan.
Munculnya pertanyaan itu justru sering jadi pemantik konflik (untuk melahirkan) pertanyaan-pertanyaan baru yang jauh lebih rumit untuk dijawab oleh akal dan logika manusia biasa. Ya, berbagai pertanyaan yang tidak lain tidak bukan itu pasti mengenai “konsep keagamaan dan ketuhanan”, tentang siapa yang menciptakannya? Siapa yang menurunkannya ke Bumi untuk menjalani kehidupan yang semu (tidak kekal) ini? Bagaimana dia diciptakan? dan mengapa ada begitu banyak agama dan Tuhan?
Berbagai pertanyaan itulah yang mendorong seorang manusia untuk mengembara, menemukan jati dirinya, hingga rela masuk ke dalam samudra makrifat, menyelam lebih dalam ke palung hakikat yang segalanya terangkum dalam "perjalanan spiritualitas".
ADVERTISEMENT
Perjalanan spiritual itu mampu mengantarkan manusia ke berbagai macam aliran, dan jalan bercabang. Ada yang kelelahan (kebingungan, hanya berputar pada satu titik) lalu memutuskan kembali menjadi manusia biasa, ada yang terhembus ke jurang karena diterpa hembusan angin kencang, tetapi juga ada yang berhasil menembus hingga ke Jalur Sufistik bahkan mencapai ke tingkatan Sastrajendra Hayunimgrat Pangruwating Diyu setelah melewati ancaman berjuta dan cobaan yang memaksanya.
Dalam proses perjalanan spiritual itu sering dianalogikan seperti Roller Coaster, di mana manusia itu bisa atau mungkin penasaran dan ingin mencari juga bertemu dengan orang yang memiliki perbedaan pendapat, yang terkadang mampu menjawab teka-teki yang berenang di kepalanya tetapi di sisi lain bisa membuatnya lebih bingung. Misal saja, dia bertemu dengan seorang ahli agama yang juga sedang mengalami kebingungan dalam mencari ilahinya. Sebagai contoh, dia bertemu dengan ahli agama (pendeta) yang masih belum percaya bahwa Jesus adalah penjelmaan manusiawi dari Tuhan meski tak menganggapnya membawa ajaran yang salah, yang menganggap Muhammad membawa kebenaran, ataupun Budha Gautama membawa Jalan Darma.
ADVERTISEMENT
Belum lagi jika kita bertemu dengan seseorang yang memiliki argumen kuat untuk menyangkal keberadaan Tuhan dengan begitu tertata dan solid, Salah satu contohnya adalah Dawkins. Richard Dawkins yang merupakan penulis buku "The God Delusion" yang di dalamnya mencoba mematahkan banyak argumen skolastik tentang wujudnya Tuhan, mulai dari argumen ontologis, teleologis hingga kosmologis.
Dan tak jarang, perjalanan spiritualitas bisa membuat manusia itu menyerah hingga yang paling buruk mengakibatkan kegilaan, yang disebabkan tidak mampunya akal sesorang menampung atau menyerap apa yang menurutnya (suatu sebab) ketidak seimbangan Dunia, meski faktanya adalah hal itu berlawanan dari anggapannya, “Paradoks”.
By cshong via unsplash https://unsplash.com/photos/PbC0AkpoIZM
“Coba lihat segitiga itu, mari kita tarik alas segitiga itu ke atas. makin ke atas, sudut benar dan sudut salah itu makin dekat. Hingga pada puncaknya sudut itu lenyap (bertubruk/bersatu). Dan itulah titik Tuhan”.
ADVERTISEMENT
Titik ketuhanan itu memang ada, tetapi titik sudutnya itu sudah lebih dahulu kabur (buram) yang disebabkan proses perjalanannya yang panjang, dan tak bisa dilihat oleh mata telanjang, karena mungkin saja titik itu berada di puncak Himalaya atau yang lebih jauh lagi berada di langit ketujuh tempatnya (Tuhan) bersemayam, terlebih adanya sinar ultraviolet yang terpancar dari sang surya, yang mampu membuat kita kepanasan hingga terbakar ketika ingin menggapainya, atau bahkan hanya sekadar meniliknya.
Konsepsi juga masalah keagamaan dan ketuhanan memang Rumit, karena sains dan ilmu pengetahuan tidak akan bisa membuktikan (tolak ukur) perwujudan Tuhan. Mungkin sengaja dibuat Rumit oleh Tuhan, agar kita terus dituntut untuk senantiasa berada dalam proses pencarian hakikat sang ilahi, meski itu sangat sulit (bahkan, tidak akan mungkin) pernah tercapai. Dan mungkin Tuhan hanya ingin melihat Upaya manusia, bukan lagi hasil capaiannya yang Mutlak.
ADVERTISEMENT
Untuk soal perbedaan keimanan dan agama yang juga menyerupai kebingungan ilahi mungkin saja perlu dialami untuk memaksa kita agar bisa mengeluarkan segala hal terbaik yang bersemayam dalam diri kita.