Revitalisasi Batasan Hak Asasi

Imamudin AL Fathir
Mahasiswa UIN Jakarta Prodi Manajemen yang tertarik pada bidang Ekonomi, Sosial, Politik, Budaya, Inklusifitas, Keberlanjutan Lingkungan Hidup
Konten dari Pengguna
20 Februari 2023 20:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imamudin AL Fathir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://unsplash.com/photos/P0JL8np1N6k
zoom-in-whitePerbesar
https://unsplash.com/photos/P0JL8np1N6k
ADVERTISEMENT
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu, 11 Januari 2023.
ADVERTISEMENT
Kurang lebih begitulah pernyataan sekaligus ungkapan simpati yang cukup bersejarah dari sang Presiden yang mengakui begitu banyak pelanggaran HAM berat terjadi di negaranya. Yang mana pelanggaran hak asasi tersebut belum pernah diselesaikan dengan tuntas, dan tak pernah mendapatkan penyelesaian hukum hingga sejauh ini.
Justru (tak jarang) hanya berputar pada benang merah yang melilit pemerintahan itu sendiri sehingga melahirkan begitu banyak konspirasi yang berkeliaran di masyarakat dan membuat mereka enggan mengakuinya.
Sungguh melegakan karena pelanggaran-pelanggaran itu sudah diakui oleh presiden dan (negara). Bahwasanya berbagai peristiwa kelam itu pernah terjadi dan pernah merugikan banyak warga Negara Indonesia yang menjadi korbannya.
Tapi jangan hanya sekadar diakui dan jadi bualan atau diplomasi politik belaka. Harapannya pemerintah bisa menyelesaikan masalah tersebut lalu memberikan serta memulihkan hak-hak korban dengan bijaksana.
ADVERTISEMENT
Sejarah memang mencatat sangat banyak pelanggaran HAM yang pernah terjadi bahkan dalam periode satu tahun bisa mencapai ribuan kasus yang dilaporkan dan kemungkinan besar akan terus berulang, meningkat hingga jadi semakin buruk. Hal itu terjadi salah satunya disebabkan oleh kekurangabsahan (rancunya) batasan hak asasi manusia yang sayangnya sering disalahartikan oleh banyak insan dan juga instansi.
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan, yang dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara.
Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
ADVERTISEMENT
Sejak kelahirannya di Bumi, manusia lahir dengan membawa hak-hak kodrat yang melekat integral dalam hidupnya. Dan pada dasarnya juga, manusia adalah makhluk bebas.
Kurang lebih begitulah definisi tentang hak asasi manusia yang sudah diperoleh sejak ia baru pertama kali melihat indahnya dunia dengan mata polosnya. Adapun definisi itu diperkuat dengan ciri-ciri HAM yang di antaranya bersifat hakiki dan tidak dapat dicabut—yang mungkin bisa diartikan tidak bisa hilang dalam kondisi apapun.
Tapi juga perlu diketahui HAM juga memiliki karakteristik "ketergantungan" dengan hak individu lain yang menjadikannya tambah rumit lagi membingungkan. Lalu, bagaimana bisa ada hak asasi manusia namun tidak ada kewajiban asasi manusia?
Dan jika hak berjalan tanpa sebuah kewajiban mungkin bisa diartikan seperti lagu tanpa kata (lirik) seperti syair tanpa aksara yang singkatnya seperti ada yang kurang juga janggal yang kemungkinan besar mampu mengurangi kenyamanan orang lain.
ADVERTISEMENT
Melihat hal ini, Saya setuju dengan pendapat Manfred Nowak yang menganggap HAM tidak bersifat mutlak, tetapi validitasnya bersifat relatif dalam kondisi tertentu (darurat), selama HAM itu masih diatur baik di dalam konvenan internasional yang relevan maupun di dalam konstitusi suatu negara yang mampu menjamin kemutlakannya.
Terlebih kita juga harus mengingat bahwa Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum yang mana harus memberikan jaminan perlindungan HAM bagi setiap (seluruh) individu, sekali lagi harus dipertegas bagi seluruh individu, bukan hanya untuk satu individu.
Adanya perlindungan terhadap HAM mengandung arti bahwa negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang membatasi hak dan kebebasan setiap warga negara, terlebih terhadap HAM tergolong dalam jenis non-derogable right (hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya dalam keadaan darurat sekalipun).
ADVERTISEMENT
Tetapi tetap ada satu pengecualian, misalnya ketika negara dalam keadaan darurat yang sudah mengancam kehidupan bangsa, hajat hidup orang banyak dan telah dideklarasikan oleh presiden secara langsung, maka tidak semua pelaksanaan HAM dapat dipenuhi.
Salah satunya HAM yang tergolong dalam jenis derogable rights (hak-hak yang boleh dibatasi pemenuhannya dalam keadaan darurat) yang terdiri dari, hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk bergerak, hak untuk berkumpul, dan hak untuk berbicara.
Jaminan pemenuhan terhadap HAM yang dikategorikan seperti di atas dapat dibatasi ataupun ditunda pemenuhannya. Pembatasan kegiatan masyarakat dalam berkegiatan sosial (PSBB/PPKM) ataupun lockdown di masa Pandemi menjadi salah satu contoh yang terdekat.
Apabila suatu negara menghadapi ancaman yang membahayakan eksistensi atau kedaulatan sebagai negara merdeka atau membahayakan keselamatan warga negaranya, negara tersebut dianggap dapat bertindak apa saja, terlepas dari persoalan legalitas cara-cara yang ditempuh.
ADVERTISEMENT
Namun, tindakan-tindakan pembatasan terhadap HAM, bagaimanapun harus ditentukan batas-batasannya yang jelas beserta ukuran-ukuran yang tidak membuka peluang terjadinya penyalahgunaan dengan merugikan kepentingan kemanusiaan yang lebih luas.
Syarat-syarat pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur di atas diterjemahkan secara lebih detail di dalam Prinsip-prinsip Siracusa. Prinsip ini menyebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak itu sendiri.
Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak, prinsip ini juga menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang.
Pembatasan HAM hanya bisa dilakukan jika memenuhi kondisi atau bertujuan untuk melindungi ketertiban umum, kesehatan publik, moral publik, keselamatan publik, keamanan nasional, dan menjaga hak serta kebebasan orang lain.
Photo by <a href="https://unsplash.com/@lanjohnson?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Lan Johnson</a> on <a href="https://unsplash.com/photos/aHlZv23P8YQ?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Unsplash</a>
Tapi lagi-lagi pada praktiknya pemberlakuan pembatasan hak asasi ini masih sering disalahpahami sekaligus sulit untuk ditegakkan dengan adil, merata, lagi bijaksana yang menurut kaum proletariat lebih menguntungkan pemangku kepentingan dan cenderung merugikan juga menindas mereka.
ADVERTISEMENT
Tak jarang, pembatasan hak asasi ini sering terlewat batas yang justru terkesan merampas seluruh hak seorang manusia dari apa yang telah ia peroleh dari Tuhannya sejak lahir. Lebih parahnya, HAM ini sudah bukan lagi hanya digunakan untuk alat membela diri sewaktu haknya terancam untuk dirampas tapi justru banyak yang menjadikan HAM sebagai senjata yang sangat seksis untuk menyerang orang lain demi kepentingan diri sendiri.
Maka dari itu, karena ketidakjelasan, ketidabsahan batasan batasan Hak asasi serta inkonsistensi pemberlakuannya yang kurang terkalibrasi maka sangat diperlukan revitalisasi, restrukturisasi (atau apapun namanya) yang berkaitan tentang penataan ulang teori atau gaagasan tentang hak asasi manusia agar tidak merugikan (membahayakan) manusia lain, lebih masuk akal, lebih jelas dan absolut yang harapannya kedepan dalam penegakannya lebih adil dan tepat sasaran.
ADVERTISEMENT