Konten dari Pengguna

Jalan Terjal Mengakhiri Diskriminasi Terhadap Para Penghayat Kepercayaan

Iman Amirullah
Lulusan S1 Hubungan Internasional di Universitas Amikom Yogyakarta. Former National Coordinator Students For Liberty Indonesia 2024/2025 dan Fellow of Indonesia School on Internet Governance (IDSIG)
1 April 2025 12:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iman Amirullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Ditta Alfianto dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-laki-laki-lelaki-orang-orang-13529791/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Ditta Alfianto dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-laki-laki-lelaki-orang-orang-13529791/
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara yang mendasarkan diri pada Pancasila, yang dimana salah satu nilai didalamnya adalah kebebasan dan penghormatan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk memilih dan menjalankan agamanya masing-masing, masalah ini juga diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Namun nampaknya masalah-masalah tersebut belum berjalan sesuai keharusan, masih banyak diskriminasi yang bahkan mengarah pada kekerasan terjadi terhadap kelompok minoritas. Misalnya pada periode pertama kepresidenan Joko Widodo saja telah terjadi 846 kejadian pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan keyakinan.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, mayoritas masyarakat Indonesia menganggap bahwa hanya ada enam agama saja yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Katolik, kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Hal ini timbul dari salah tafsir terhadap Undang Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/Atau Penodaan Agama, Tap MPR No.II/MPR/1978 tentang GBHN, dan Undang Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, dan diperparah dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 yang mengatur tentang agama-agama yang diizinkan masuk pada kolom agama administrasi kependudukan. Akibat dari kesalahan-kesalahan inilah yang memunculkan efek berantai berupa diskriminasi terhadap para penganut diluar enam agama “yang diakui” seperti Bahai, Yudaisme, hingga penghayat kepercayaan.
Para penghayat kepercayaan adalah salah satu kelompok minoritas yang kerap kali mendapatkan diskriminasi dan tindakan intoleransi, lebih jauh lagi, negara juga kerap kali menjadi aktor dari berbagai tindakan intoleransi terhadap para penghayat kepercayaan. Misalnya pada 2012 lalu, sekelompok penghayat kepercayaan Sapta Darma harus dirintangi oleh negara dalam memperoleh haknya atas KTP, bahkan anak-anak penghayat kepercayaan juga dipersulit dalam kegiatan belajar di sekolah, mereka dipaksa harus memilih satu dari enam agama yang “diakui” di Indonesia. Bukan hanya saat masih hidup, saat sudah meninggal pun para penghayat kepercayaan masih harus menghadapi diskriminasi seperti nasib seorang penghayat Sapta Darma di Brebes yang ditolak oleh pengurus desanya untuk dikuburkan di TPU di wilayah ia tinggal.
ADVERTISEMENT
Proses diskriminasi ini juga bukan sekali dua kali terjadi, dan semakin sulit untuk ditelusuri lebih jauh karena banyak dari para penghayat ini memilih mencantumkan agama mayoritas di kolom agama KTPnya. Pada 2017 lalu tercatat ada 187 organisasi dengan 12 juta jumlah penghayat kepercayaan, namun ini juga bukan angka valid mengingat banyaknya penghayat yang memilih untuk menyembunyikan identitasnya.
Tanggal 7 November 2017 menjadi tonggak awal pemenuhan negara atas hak-hak yang dimiliki oleh para penghayat kepercayaan, pada tanggal tersebut Mahkamah Konstitusi menerima gugatan para penghayat atas masalah administrasi kependudukan. Keputusan ini menegaskan bahwa para penghayat kepercayaan kini berhak untuk mengisi kolom agama di KTP dan Kartu Keluarganya dengan “Penghayat Terhadap Tuhan YME”. Namun keputusan ini juga bukan tanpa halangan, begitu keputusan ini diterbitkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menolak hasil keputusan MK ini karena dianggap merusak kesepakatan politik pendirian Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tantangan juga hadir dari sistem birokrasi kependudukan, seperti yang disampaikan Bonie Nugraha, Ketua Presidium MLKI kota Bandung, tidak semua petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mengetahui aturan baru mengenai kolom agama bagi para penghayat, dan bahkan ada yang tidak mengetahui apa itu penghayat kepercayaan. Walaupun begitu, pengakuan negara terhadap hak-hak para penghayat ini merupakan hal yang patut diapresiasi dan harus terus diawasi agar berjalan sesuai dengan keharusannya.
Secara formal, negara telah melakukan langkah besar dalam melakukan pemenuhan terhadap hak-hak warga penghayat kepercayaan. Walaupun begitu, langkah besar ini belumlah cukup untuk menciptakan penerimaan terhadap para penghayat secara luas. Negara juga tampaknya juga belum siap dalam melakukan implementasi keputusan-keputusan terbaru MK dengan masih terjadinya kesulitan bagi para penghayat untuk mengganti kolom agama di surat-surat kependudukannya, lebih jauh lagi masih banyak para penghayat yang belum mengetahui atau bahkan enggan untuk mengganti kolom agamanya karena kesulitan dalam menghadapi sistem birokrasi atau takut mengalami diskriminasi. Hal ini menunjukan bahwa masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk menghapus diskriminasi terhadap para penghayat kepercayaan.
ADVERTISEMENT