Konten dari Pengguna

Membela Demokrasi, Membela Kebebasan

Iman Amirullah
Mahasiswa S1 Hubungan Internasional di Universitas Amikom Yogyakarta. Saat ini menjadi National Coordinator untuk Students For Liberty Indonesia 2024/2025 dan Managing Editor untuk Suara Kebebasan.
29 Juli 2024 17:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iman Amirullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Rosemary Ketchum: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-orang-di-rally-1464224/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Rosemary Ketchum: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-orang-di-rally-1464224/
ADVERTISEMENT
Indonesia telah usai memasuki tahun politiknya kembali, agenda pemilu lima tahunan untuk memilih anggota parlemen dan presiden beserta wakil presiden telah usai terlewati meski ada banyak permasalahan yang menyertai. Berbagai keriuhan pemilu pun tak pernah ketinggalan menyertai. Mulai dari bendera dan baliho yang menjadi polusi visual, kampanye dan mobilisasi massa, iklan-iklan di televisi dan layar sosial media kita semua, hingga dugaan kecurangan pemilu dan intervensi pemerintah. Meski telah berhasil melewati pesta demokrasi, ada banyak masalah yang perlu dicermati. Salah dua yang menjadi indikator adalah tingginya angka golput dan terus menurunnya indeks demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Masalah pertama adalah tingginya angka golongan putih (golput) di Indonesia. Dalam pemilu 2019 lalu angka golput di Indonesia mencapai angka 19%. Sedikit lebih baik dibandingkan pemilu 2014 yang menyentuh nyaris 31%. Hal ini tentu menjadi masalah tersendiri yang menunjukan dua kemungkinan, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme demokrasi atau gagalnya sistem demokrasi yang ada dalam menyediakan hasil yang diinginkan oleh masyarakat (Teniwut, 2023).
Masalah kedua adalah terus menurunnya indeks demokrasi Indonesia. Usman Hamid, Direktur Amnesty Indonesia mencatat bahwa kebebasan sipil dan hak politik Indonesia terus menurun setiap tahunnya. Regresi besar-besaran terhadap kebebasan berbicara dan berekspresi di Indonesia terus terjadi. Hal ini menurut Hamid, diakibatkan oleh beberapa faktor. Menguatnya nasionalisme yang mengarah pada chauvinisme, menguatnya politik identitas, melemahnya gerakan sosial, hingga menguatnya represi negara (Andriansyah, 2022).
ADVERTISEMENT
Masalah-masalah ini tentu kerap kali memunculkan pertanyaan, perlukah kita terus mempertahankan demokrasi?
Demokrasi sejatinya tidak sempurna, bahkan masih sangat jauh dari sempurna. Namun, demokrasi menjadi alternatif terbaik yang paling memungkinkan untuk dipraktikan dalam sistem bermasyarakat dan bernegara (Mork, 2019). Demokrasi kerap dianggap melanggengkan sistem majority rules dan menciptakan populisme. Hal ini tentu tidak sepenuhnya salah. Demokrasi kerap kali menjadi legitimasi bagi mayoritaisme dan populisme. Namun, suka atau tidak suka, beberapa keputusan harus dibuat dalam skala besar. Kita tidak berada dalam ruang hampa atau ruang hayalan, jadi kita tidak bisa mengubur kepala kita di pasir dan mengatakan bahwa alternatifnya adalah tidak ada pemerintahan sama sekali. Lagi pula, tidak ada hal yang lebih buruk bagi kebebasan dibandingkan kekosongan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Masalah-masalah seperti melindungi hak properti, penyelesaian konflik skala menengah hingga besar, sampai masalah pertahanan wilayah tentu menjadi masalah yang suka tidak suka, hanya bisa disediakan oleh negara. Saya tidak berada dalam posisi dimana kita harus merayakan ketiadaan pemerintah sama sekali seperti yang terjadi di Somalia misalnya. Kita justru melihat kekacauan dan pembantaian dimana-mana. Saya berada dalam posisi bahwa keberadaan negara dan pemerintah mutlak diperlukan, namun berada dalam porsi yang terbatas dan memiliki mekanisme kontrol check and balance yang baik untuk dapat memastikan negara berada di rel yang seharusnya.
Demokrasi tidaklah sempurna, namun itu sejatinya manusiawi. Tanpa sistem checks and balances dalam kekuasaan pemerintah dan pemilu yang transparan, demokrasi secara teoritis bisa sama brutalnya dengan bentuk pemerintahan lainnya. Kita tentu menginginkan sebuah sistem yang sempurna dan tanpa cela. Namun dalam praktiknya, hal ini nyaris tidak memungkinkan. Kita hidup dan berhadapan dengan dunia nyata yang terus berputar setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Demokrasi dalam sejarahnya, berhasil terus bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan seperti perang dan konflik besar di nyaris seluruh belahan dunia. Meskipun begitu, seperti yang telah dijelaskan diawal, demokrasi tidak lah tanpa cela. Banyak masalah kita hari ini merupakan hasil dari demokrasi seperti menguatnya kekuasaan negara, kenaikan pajak, penutupan akses imigrasi, hingga populisme (Casey, 2022).
Pada akhirnya, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa hingga saat ini, demokrasi masih menjadi metode terbaik dalam menjaga dan memperluas kebebasan yang kita miliki. Pada tahun 1850, kurang dari 6 persen penduduk dunia hidup dalam sistem demokrasi, namun saat ini jumlahnya menjadi nyaris 62 persen. Pertumbuhan ini terjadi tentu bukan karena kekuatan ghaib dan jatuh tiba-tiba dari langit. Pertumbuhan ini terjadi melalui berbagai revolusi, demonstrasi, dan perjuangan. Hal ini menjadi mungkin karena demokrasi membantu masyarakat memecahkan masalah dan memperbaiki cara hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Demokrasi tidaklah sempurna, namun apa alternatif yang lebih baik dan tentunya tidak utopis?