Konten dari Pengguna

Mengenang Hungaria dan Indonesia: Kala Kaum Muda Melawan Otoritarianisme

Iman Amirullah
Mahasiswa S1 Hubungan Internasional di Universitas Amikom Yogyakarta
29 Juli 2024 17:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iman Amirullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh cottonbro studio: https://www.pexels.com/id-id/foto/tangan-wanita-perempuan-kaum-wanita-4669113/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh cottonbro studio: https://www.pexels.com/id-id/foto/tangan-wanita-perempuan-kaum-wanita-4669113/
ADVERTISEMENT
Pada bulan ini, lebih dari enam puluh tahun lalu, gelombang pemberontakan yang digawangi oleh pemuda-pemuda miskin Hungaria menyapu jalanan ibu kota Hungaria, Budapest. Pemberontakan besar ini dimulai dari demonstrasi sekelompok mahsiswa dan intelektual universitas yang ditanggapi secara represif oleh rezim komunis Hungaria. Demonstrasi damai ini pada akhirnya berubah menjadi perang jalanan skala besar, gas air mata, granat, hingga peluru bertaburan. Pada puncaknya, puluhan atau bahkan ratusan tentara Hungaria membuang topi bintang merah mereka dan menyatakan desersi untuk bergabung dengan para demonstran. (Hellen, 1957) Gelombang demonstrasi ini semakin tidak terkendali, menyerang simbol-simbol kekuasaan komunisme, desersi tentara, hingga dukungan luas dari masyarakat Hungaria memaksa rezim untuk mengeluarkan senjata terakhirnya, permintaan intervensi militer Uni Soviet.
ADVERTISEMENT
23 Oktober 1956, Partai Rakyat Pekerja Hungaria secara resmi mengirim surat permintaan intervensi militer Uni Soviet untuk mengakhiri demonstrasi yang sudah semakin tidak terkendali. Keesokan harinya, Tentara Uni Soviet mulai memasuki Budapest dengan barisan kendaraan lapis baja dan pasukan infanterinya. Lebih dari 3000 demonstran anti pemerintah tewas selama 2 minggu demonstrasi dan perang jalanan di Hungaria. (Bercovitch & Jackson, 1997). Demonstrasi ini merupakan puncak perlawanan rakyat Hungaria terhadap otoritarianisme rezim Soviet Hungaria yang bertahta sejak 1949. Cita-cita kesejahteraan, kebebasan, dan kesetaraan yang dibawa oleh rezim komunis Hungaria nyatanya hanya ilusi belaka. Alih-alih kesejahteraan, mereka justru menghadapi kemiskinan ekstrem, korupsi, hingga berbagai aksi kekerasan terhadap mereka yang dianggap kontrarevolusioner –orang-orang yang dianggap membahayakan kekuasaan rezim.
ADVERTISEMENT
Meskipun berakhir dengan kekalahan tragis, pemberontakan ini memberikan pelajaran amat berharga bagi generasi masa depan. Otoritarianisme selalu memiliki celah untuk digoyahkan! Dan pada akhirnya bukan hanya Hungaria, tapi imperium Uni Soviet dan negara-negara satelitnya tumbang pada awal dekade 1990an. Selain Hungaria, kaum muda kerap menjadi motor utama berbagai demonstrasi besar baik yang berhasil maupun gagal untuk menggulingkan kediktatoran.
Kita tentu tidak asing dengan Musim Semi Arab yang menggulung banyak diktator di Timur Tengah hingga Reformasi 1998 yang menurunkan Soeharto dari tahta yang telah ia duduki sejak 1968. Kaum muda menjadi motor dalam gerakan besar menentang kediktatoran Soeharto, mahasiswa dari berbagai universitas dan daerah di Indonesia tumpah kejalanan, berbagai organisasi dan mimbar jalanan diciptakan, dan kekerasan meletus di banyak titik. Kemiskinan, kenaikan harga barang, korupsi, dan berbagai pelanggaran HAM berat menjadi bahan bakar kemarahan rakyat. Hingga pada akhirnya 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden dan dimulailah reformasi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Republik Sosialis Hungaria dan Indonesia tentu saja berbeda dalam nyaris segala aspek, namun keduanya memiliki kesamaan, yaitu kediktatoran dan penderitaan rakyat yang menyertainya. Hari ini kita melihat bahwa banyak diktator lalim telah dijungkalkan dari kekuasaan, meskipun masih banyak pula yang terus berkuasa dan tentunya secara kejam, Venezuela, Iran, Rusia, hingga Korea Utara misalnya.
Meskipun begitu, imaji tentang kebebasan masih bergelora diseluruh belahan dunia, kaum muda dan perempuan Iran masih terus berjuang demi kebebasan berekspresi, rakyat Ukraina menghadapi suramnya peperangan akibat invasi Rusia, jalanan Venezuela masih terus dipenuhi demonstran yang mengkehendaki kebebasan sipil dan ekonomi, dan tentunya Indonesia yang masih dihantui oleh korupsi, pelanggaran HAM, dan intoleransi. Kaum muda menjadi motor pergerakan dan perubahan, baik di jalanan maupun saluran-saluran resmi kekuasaan. Di Thailand misalnya, Move Forward Party yang digawangi oleh para aktivis dan kaum muda meraih kemenangan besar dalam Pemilu yang diadakan pada 14 Mei lalu. Dengan 158 kursi parlemen, Move Forward menjadi harapan banyak rakyat Thailand yang telah jengah dengan pengaruh militer dalam kehidupan mereka. (Smith, 2023) Meskipun gagal mengamankan posisi perdana menteri, keberhasilan ini masih patut untuk dirayakan sebagai bukti bahwa kaum muda punya kekuatan untuk bersuara dan menciptakan perubahan.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, kita telah usai memasuki tahun politik baru. Meski telah terlewati, kita bisa merefleksikan berbagai ketegangan akibat berbagai manuver elit politik yang banyak kita rasakan. Pembelahan di tengah masyarakat masih terjadi, politik identitas, ujaran kebencian, fitnah dan berita bohong masih bertebaran di jagad sosial media. Politik ide dan gagasan masih nampak jauh untuk bisa dirasakan, padahal kini generasi muda membentuk 56% pemilih dalam pemilihan umum mendatang. (Muhammad, 2023) Generasi yang lebih melek terhadap teknologi dan informasi, justru dihujani oleh derasnya ujaran kebencian dan berita bohong. Sudah saatnya kita kembali membaca kisah-kisah kaum muda seperti di Hungaria maupun saat reformasi 1998, dan menyadari bahwa kaum muda adalah tulang punggung perubahan, dan ini saatnya Indonesia untuk kembali ke politik ide dan gagasan demi Indonesia yang lebih baik.
ADVERTISEMENT