28 Ramadhan 1446 HJumat, 28 Februari 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Menyongsong Era Baru Demokrasi Tanpa “Presidential Threshold”

Iman Amirullah
Mahasiswa S1 Hubungan Internasional di Universitas Amikom Yogyakarta. Saat ini menjadi National Coordinator untuk Students For Liberty Indonesia 2024/2025 dan Managing Editor untuk Suara Kebebasan.
2 Maret 2025 14:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iman Amirullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Irgi Nur Fadil dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-orang-masyarakat-rakyat-manusia-9470041/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Irgi Nur Fadil dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-orang-masyarakat-rakyat-manusia-9470041/
ADVERTISEMENT
Salah satu isu kontroversial yang kerap muncul dalam wacana politik Indonesia adalah ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau “presidential threshold”, Ketentuan ini mengharuskan partai atau koalisi partai memiliki minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Sejak diberlakukan, aturan ini memicu perdebatan sengit mengenai dampaknya terhadap demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Presidential threshold” awalnya bertujuan menyederhanakan sistem politik dan mencegah terlalu banyak calon presiden yang dapat memecah suara rakyat. Namun, dalam praktiknya, aturan ini justru menciptakan berbagai hambatan struktural yang mengkerdilkan demokrasi. Hambatan ini juga mencegah munculnya demokrasi yang lebih inklusif, kompetitif, dan mewakili keberagaman aspirasi masyarakat.
Ketentuan ini telah menimbulkan dampak negatif bagi dinamika politik Indonesia. Pertama, aturan ini mempersempit peluang munculnya kandidat alternatif di luar lingkaran elite politik. Dalam beberapa pemilu terakhir, masyarakat dihadapkan pada pilihan kandidat yang terbatas, sering kali dari partai-partai besar yang mendominasi. Akibatnya, ruang bagi figur independen atau kandidat dari partai kecil menjadi sangat sempit.
Kedua, “presidential threshold” mendorong praktik politik transaksional. Partai-partai kecil sering kali dipaksa untuk bergabung dalam koalisi dengan partai besar demi memenuhi ambang batas pencalonan. Hal ini menciptakan hubungan yang tidak sehat antara partai, yang lebih didasarkan pada kepentingan pragmatis daripada visi ideologis.
ADVERTISEMENT
Ketiga, aturan ini berpotensi memarginalkan suara rakyat. Partai-partai kecil yang memiliki dukungan signifikan di daerah tertentu menjadi tidak mampu mengajukan calon pemimpin nasional karena kekurangan kursi atau suara secara nasional. Padahal, keberagaman politik di Indonesia seharusnya menjadi kekuatan, bukan justru dikebiri oleh aturan ambang batas.
Angin Segar Demokrasi di Indonesia
Untungnya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No.62/PUU-XXII/2024, menyatakan bahwa keberadaan “presidential threshold” bersifat inkonstitusional sehingga harus dihapuskan. Penghapusan “presidential threshold” ini diharapkan dapat membawa banyak dampak positif bagi kemajuan demokrasi Indonesia. Pertama, penghapusan aturan ini akan membuka ruang kompetisi yang lebih luas. Kandidat dari berbagai latar belakang partai politik dapat turut serta dalam kontestasi politik. Hal ini tidak hanya memperkaya alternatif pilihan bagi rakyat, tetapi juga mendorong diskursus politik yang lebih dinamis.
ADVERTISEMENT
Kedua, tanpa “threshold”, partai-partai kecil dapat berkontribusi lebih besar dalam politik nasional. Mereka tidak lagi hanya menjadi “pelengkap” dalam koalisi, tetapi memiliki kesempatan nyata untuk mengajukan calon presiden atau wakil presiden. Dengan demikian, aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk yang selama ini kurang terwakili, dapat lebih diperjuangkan.
Ketiga, penghapusan “presidential threshold” dapat mengurangi politik transaksional yang seringkali mengorbankan kepentingan rakyat demi kesepakatan elite. Dengan kompetisi yang lebih terbuka, kandidat akan lebih fokus menawarkan program yang relevan dan solutif, daripada sekadar mengamankan dukungan partai koalisi.
Terakhir, penghapusan “presidential threshold” akan mendorong kaderisasi dan pendidikan politik yang lebih masif di internal partai politik. Keberadaan “presidential threshold” selama ini kerap dianggap sebagai biang kerok matinya proses pendidikan dan kaderisasi politik di internal partai politik karena mengubah orientasi partai politik ke arah populisme sempit. Populisme sempit ini kemudian meminggirkan banyak kader dan kandidat potensial karena dianggap kurang memiliki elektabilitas untuk dijual dan membentuk koalisi.
ADVERTISEMENT
Tantangan dan Peluang
Tentu saja, penghapusan “presidential threshold” bukan tanpa tantangan. Salah satu kekhawatiran utama adalah munculnya terlalu banyak kandidat yang dapat memecah suara dan menyulitkan proses pengambilan keputusan. Namun, tantangan ini dapat diatasi dengan memperkuat mekanisme pemilu dua putaran yang sudah diterapkan di Indonesia. Sistem ini memungkinkan kandidat dengan dua suara terbanyak untuk bersaing di putaran kedua, sehingga tetap menjamin legitimasi presiden terpilih.
Selain itu, diperlukan reformasi sistem politik yang lebih komprehensif. Misalnya, meningkatkan akuntabilitas partai politik dan memperbaiki pendidikan politik bagi masyarakat. Dengan kata lain, partai politik harus didorong untuk melakukan reformasi kelembagaan internalnya, termasuk dalam hal menyiapkan kader dan rekrutmen untuk nominasi kepemimpinan nasional dalam kontestasi politik.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, rakyat dapat lebih cerdas dalam memilih kandidat yang benar-benar kompeten dan sesuai dengan aspirasi mereka. “Presidential threshold”, meskipun awalnya dimaksudkan untuk menyederhanakan sistem politik, telah menjadi penghambat bagi demokrasi yang sehat di Indonesia. Aturan ini membatasi kompetisi politik, mendorong praktik transaksional, dan mengabaikan keragaman aspirasi rakyat.
Menghapus “presidential threshold” bukanlah langkah mundur, melainkan upaya untuk memperkuat fondasi demokrasi. Dengan membuka ruang kompetisi yang lebih inklusif dan adil, serta proses kebijakan dan juga penyelenggaraan pemilu yang transparan dan akuntabel, Indonesia dapat mendorong terciptanya pemimpin-pemimpin yang benar-benar mewakili suara rakyat. Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia harus menunjukkan bahwa keberagaman dan inklusivitas adalah kekuatan, bukan kelemahan. Inilah saatnya bagi kita untuk mereformasi sistem politik demi masa depan yang lebih demokratis.
ADVERTISEMENT