Konten dari Pengguna

Komisi IX: Kewenangan BPOM Diperluas

3 Desember 2017 19:56 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iman Rosidi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jakarta – Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengawasan Obat dan Makanan yang diusulkan Komisi IX untuk dimasukkan dalam prolegnas 2018 perlu memberikan kewenangan lebih kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang selama ini masih menjadi sub-ordinat dari Kementerian Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Menurut Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay, Undang-Undang ini dapat menjadi wahana untuk memperbaiki tata kelola obat, makanan, dan kosmetika di Indonesia.
“Kita berharap, RUU ini nanti dapat memperjelas kewenangan BPOM dan Kemenkes dalam hal pengawasan dan distribusi obat dan makanan di Indonesia. Selama ini, BPOM seakan menjadi sub-ordinat Kemenkes. Itu nanti yang akan kita tata secara benar”, ujarnya.
Menurutnya, BPOM adalah lembaga negara yang memiliki fungsi penting dan strategis dalam perlindungan masyarakat. Seluruh makanan, obat, dan kosmetika yang beredar di masyarakat harus dipastikan sehat dan baik untuk dikonsumsi. Walau tugasnya begitu penting dan strategis, selama ini dasar hukum yang menjadi payung hukumnya masih setingkat perpres.
“Perkembangan teknologi yang begitu cepat, mengharuskan BPOM untuk berbenah dan memperkuat diri. Pasar online yang semakin meluas dan melintasi batas-batas ruang dan waktu, perlu diantisipasi. Peredaran barang dan jasa, tentu saja makanan, obat, dan kosmetika dapat masuk dari berbagai belahan dunia. Belum tentu semua produk itu sehat dan baik bagi masyarakat kita,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Saleh menambahkan, meski ada Perpres No. 80/2017 tentang BPOM yang substansinya ada semangat untuk memperkuat BPOM, lembaga ini masih memerlukan payung hukum yang lebih kuat dalam bentuk Undang-Undang.
“Hal itu juga sudah disampaikan secara resmi oleh kepala BPOM dalam rapat-rapat di komisi IX. Kewenangan BPOM perlu diperluas sampai penindakan namun tidak tumpang tindih dengan kepolisian.”
Kebijakan satu pintu
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI), Adhi S. Lukman. Menurutnya, Undang-Undang ini bisa menjadi kebijakan satu pintu untuk keamann pangan di Indonesia sehingga menjadi terkoordinasi.
"Selama ini wewenang dan kebijakan keamanan pangan tersebar di banyak kementerian dan lembaga. Kewenangan BPOM sekarang untuk pangan olahan, dan itu pun pangan olahan menengah besar dan berisiko tinggi. Sedangkan pengawasan untuk makanan olahan dari usaha kecil, hasil produksi rumah tangga itu pada Dinas Kesehatan yang berada di bawah pemerintah daerah dan bukan di bawah BPOM. Jadi pengawasan terpecah. Dan ini menyebabkan terkadang kebijakan tidak sinkron,” kritiknya.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, tambah Adhi, BPOM punya yang namanya penyidik pegawai negeri sipil. Namun mereka biasanya karena memiliki kewenangan terbatas, bila ada kasus dilimpahkan ke kepolisian dan kemudian masuk ke pengadilan.
“Di sini kadang memang hukuman sangat ringan dan bahkan banyak sekali pelaku hanya diberi hukuman percobaan. Kalau bisa dimasukkan dalam Undang-Undang yang baru ini, kewenangan dan penindakan ini tentu jadi kekuatan dan pengawasan BPOM”, ungkapnya.
Attachments area