Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Langkah Perbankan Indonesia untuk Menjawab Tantangan Keberadaan Fintech
25 Juni 2020 10:02 WIB
Tulisan dari Imas Adilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2016, transaksi non tunai (cashless) sudah mulai menjadi tren masyarakat Indonesia dan terus meningkat hingga tahun 2020. Terlebih karena pandemi covid-19 yang mengharuskan masyarakat Indonesia untuk melakukan social distancing, membuat sebagian masyarakat beralih ke transaksi non tunai. Nampaknya cashless society mulai terbentuk pada masyarakat Indonesia. Lalu apa dampak cashless society bagi perekonomian Indonesia?
ADVERTISEMENT
Sebenarnya pada tahun 2006 pihak Bank Indonesia, Bambang Pramono dan kawan-kawan, sudah melakukan penelitian tentang transaksi non tunai tersebut. Dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dengan transaksi non tunai akan meningkatkan produktifitas dan efisiensi keuangan untuk mendorong kegiatan sektor riil, dimana peningkatan konsumsi dari sektor riil tersebut akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB). Peningkatan PDB dapat mengindikasi terjadinya pertumbuhan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Berkaca pada dampak positif yang timbul, pemerintah mendukung kegiatan non tunai untuk mendongkrak perekonomian. Contoh bentuk kebijakan pemerintah yaitu diterapkannya penggunaan kartu elektronik pada beberapa transportasi umum, seperti Kereta Rel Listrik (KRL), Mass Rapid Transit (MRT), bus-bus Transjakarta, dan penggunaan kartu e-toll. Dengan intervensi tersebut, masyarakat mau tidak mau menyesuaikan diri untuk beralih ke transaksi non tunai.
ADVERTISEMENT
Salah satu bentuk transaksi non tunai yang sedang digandrungi kaum milenial saat ini adalah e-wallet. Bukan hanya bank yang memanfaatkan peluang ini, namun industri Financial Technology (fintech) pun tidak mau kalah. Pada survey yang dilakukan oleh iPrice Group berkolaborasi dengan analis data App Annie, ditunjukkan bahwa 6 dari 10 e-wallet terbesar di Indonesia di duduki oleh perusahaan fintech. Mengapa ini bisa terjadi?
Menurut Deputi Komisioner OJK, Sukarela Batunanggar, per April 2019 baru sekitar 60% penduduk dewasa di Indonesia yang memiliki rekening bank. Perusahaan fintech memanfaatkan kondisi ini untuk menjadi peluang bisnisnya. Dengan menawarkan kemudahan yaitu hanya perlu smartphone dan data internet, serta tanpa terlibat regulasi yang rumit, fintech mampu menarik minat semua kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dengan meluasnya penggunaan fintech di masyarakat, OJK segera mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan sebagai regulasi dan pengawasan terhadap fintech. Jenis fintech sendiri terbagi menjadi 4 jenis yaitu payment, e-aggregator, manajemen resiko dan investasi, serta peer to peer lending (P2P). Jenis fintech yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia yaitu peer to peer lending (P2P) dengan laju pertumbuhan majemuk tahunan atau CAGR tahun 2016 – 2018 bertumbuh sebesar 739%.
Jenis fintech kedua yang paling banyak digunakan milenial saat ini adalah e-payment atau bisa disebut e-wallet. Perusahan e-wallet terbesar di Indonesia masih diduduki oleh Go-Pay anak perushaan Gojek dan diikuti pesaingnya yaitu OVO. Kedua perusahaan ini memberikan voucher secara cuma - cuma untuk menarik masyarakat, atau yang biasa disebut strategi bakar uang. Strategi ini bisa dikatakan cukup berhasil untuk menarik minat masyarakat. Dan inilah faktor lain mengapa perbankan merasa mendapat tantangan dari keberadaan fintech. “Bank kudu berubah berupaya bikin nasabah lebih mudah dan nyaman. Saya kira tidak hanya BNI tapi bank juga terganggu dengan fintech, dalam arti tertantang untuk berikan layanan lebih," tutur Direktur Bisnis Menengah BNI 2017 Putrama Wahyu Setiawan.
ADVERTISEMENT
Langkah apa harus diambil bank Indonesia dalam menjawab tantangan tersebut? Bank di Indonesia bisa memilih alternatif dalam menghadapi tantangan menjamurnya fintech di Indonesia, yaitu menggunakan strategi Kompetitif atau Kolaborasi.
Dengan strategi kompetitif, berati perbankan harus meningkatkan performa pelayanan kepada masyarakat serta membuat inovasi baru yang relevan dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Untuk dapat mengikuti kebutuhan masyarakat pada zaman digital ini, perbankan harus sudah beralih menyediakan fasilitas transaksi berbasis teknologi seperti e-banking atau m-banking. Dengan memanfaatkan digital banking tersebut perbankan juga harus meningkatkan interaksi dengan masyarakat, seperti menambahkan informasi-informasi mengenai dunia keuangan baik mengenai investasi atau tips-tips menabung untuk membeli rumah. Hal tersebut akan meningkatkan daya tarik masyarakat terhadap dunia perbankan karena masyarakat akan merasa bank dapat mengerti kebutuhannya.
ADVERTISEMENT
Selain inovasi, perbankan juga harus menggencarkan kegiatan marketingnya mengingat statement Sukarela Batunanggar mengenai masih rendahnya minat masyarakat dengan dunia perbankan. Bisa mengadopsi prinsip yang diambil oleh fintech, yaitu bank bisa mencari kelompok masyarakat yang belum teredukasi dengan dunia perbankan dan tentunya dengan menyajikan kemudahan dan penawaran yang menarik. Seperti contoh, memberi edukasi di universitas atau Sekolah Menengah Atas (SMA) mengenai pentingnya menabung sejak dini. Lalu memberi fasilitas bagi siswa atau mahasiswa tersebut untuk melakukan registrasi ditempat dengan persyaratan mudah dan setoran pertama yang sesuai dengan kantong mahasiswa.
Alternatif yang kedua adalah melakukan kolaborasi. Hal ini berati bank memilih untuk melakukan kerjasama dengan perusahaan fintech di bidang keuangan. Kolaborasi yang bisa dilakukan bank, contohnya adalah akuisisi dan Loose Partnership.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dikatakan Putrama Wahyu Setiawan, menggunakan strategi anorganik atau akuisisi dapat dilakukan jika memang perusahaan fintech tersebut terbukti bagus. Meskipun membutuhkan dana yang tidak sedikit namun resiko kegagalannya sudah diminimalisir. Untuk skema akuisisi ini adalah pihak bank akan memberikan dana kepada anak usahanya modal ventura, kemudian anak usaha ini akan memilih fintech yang sesuai untuk mendukung bisinisnya
Jenis kombinasi lain adalah Loose Partnership, yaitu bank akan menajadi pemodal bagi perusahaan fintech. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Investree dengan Bank Sulut Gorontalo. Jadi bank daerah ini menjadi pemodal di platform fintech lending ini.
Oleh : Imas Adilah, Mahasiwa PKN STAN