Konten dari Pengguna

Serabi Solo, Ikon Kuliner yang Tak Lekang Waktu

Imaya Lubna
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta
1 Januari 2025 19:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imaya Lubna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gerai Serabi Notosuman Ny. Lidia di Jalan Mohammad Yamin, Surakarta. (sumber: dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Gerai Serabi Notosuman Ny. Lidia di Jalan Mohammad Yamin, Surakarta. (sumber: dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Surakarta, libur semester selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Setelah berbulan-bulan berkutat dengan tugas kuliah dan berbagai kesibukan lainnya, akhirnya tiba waktunya untuk kembali ke rumah dan berkumpul bersama keluarga. Pada libur semester kali ini, aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah saudara karena searah dengan jalan pulang. Tentunya tak lupa aku membawakan oleh-oleh khas solo dan pilihanku jatuh kepada Serabi Notosuman Ny. Lidia.
ADVERTISEMENT
Serabi Solo memang sudah ada sejak tahun 1923 dan masih mempertahankan resep tradisionalnya hingga sekarang. Kuliner ini terus dilestarikan oleh masyarakat sehingga peminatnya pun tidak pernah berkurang. Terbukti dari adanya beberapa outlet Serabi Notosuman selain milik Ny. Lidia di Surakarta, menjadikannya ikon kuliner Solo yang tak tergantikan.
Setelah mencari berbagai rekomendasi dari teman warlok maupun sosial media, aku tertarik dengan serabi solo dan mulai mencarinya di Google Maps. Hari itu, aku berangkat dari kos pukul 6.30 WIB dengan mengendarai sepeda motor menyusuri jalanan Kota Solo menuju ke lokasi Serabi Notosuman Ny. Lidia yang berada di Jalan Mohammad Yamin. Saat tiba, aroma khas serabi yang sedang dipanggang menguar pada sejuknya udara pagi itu. Toko masih sepi pembeli karena waktu juga belum genap pukul tujuh pagi. Pegawai cekatan dan ramah. Ada juga tukang parkir yang membantu memosisikan motorku, bahkan menjelaskan dengan sabar ketika aku menanyakan jalan ke arah kotaku.
ADVERTISEMENT
Di gerai ini, proses pembuatan serabi dilakukan secara terbuka sehingga pembeli bisa melihat langsung bagaimana adonan dituangkan pada cetakan kecil, ditutup, lalu dipanggang hingga matang. Saya membeli varian campur seharga berisi 5 buah varian original dan 5 buah varian coklat dengan harga yang sangat terjangkau untuk ukuran oleh-oleh legendaris. Dibungkus daun pisang yang sederhana dan segar, aroma gurih serabi langsung tercium meski sudah dimasukkan dalam kardusnya. Saat melihat para pegawai di tempat itu bekerja, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar memproduksi dan menjual makanan. Mereka terlihat sangat menghargai tradisi yang diwariskan. Hal itu menjadi bentuk penghormatan dan pelestarian terhadap resep leluhur dan warisan budaya.
Sesampainya aku di rumah saudara, serabi itu pun langsung kami nikmati bersama. “Wah kenapa repot-repot bawain serabi. Tapi alhamdulillah dapet oleh-oleh asli Solo,” gurau budeku. Kami menikmatinya sambil berbincang tentang pengalamanku selama kuliah di Solo. Saat gigitan pertama, rasa khas serabi seperti yang aku bayangkan terasa di lidah. Tekstur serabinya lembut, sedikit kenyal dengan tepian yang renyah. Ada rasa manis yang pas dari varian original, dan rasa coklat yang meleleh di tengah gulungan serabi itu. Setiap gigitan serabi membawa cerita tentang perjalanan, kuliah, dan kehidupanku di kota budaya ini. Bahkan, bude sempat berkomentar, “Serabi ini rasanya masih sama kayak yang dibikin dulu-dulu. Walaupun banyak jajanan baru, tapi yang namanya orang tua suka jajanan lawas gini”. Tidak hanya bude, aku pun merasakan hal yang sama. Jarang sekali aku menemukan warung yang menjual serabi, kecuali tempat yang memang menjual jajanan pasar dari hasil setoran produsennya. Rasanya pun tentu berbeda dengan yang khas dibuat oleh pusat oleh-oleh seperti Serabi Notosuman Ny. Lidia.
ADVERTISEMENT
Makanan tradisional seperti serabi ini juga memiliki kekuatan untuk menyatukan keluarga. Saat duduk bersama di teras sambil menikmati serabi, aku merasa lebih dekat dengan pakde dan bude karena mereka hanya tinggal berdua di rumahnya. Anak-anaknya yang sudah berkeluarga menjadi sebab mengapa rumah itu menjadi sepi dan terasa dingin. Kehangatan suasana kami bertiga saat itu membuatku menyadari betapa pentingnya melestarikan tradisi, tidak hanya untuk menjaga identitas budaya, tetapi juga untuk menciptakan momen-momen berharga bersama orang tercinta.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa serabi ini sangat terkenal di Solo dan hampir selalu diburu oleh wisatawan yang mencari oleh-oleh. Serabi Notosuman bukan sekedar makanan. Ia adalah simbol pelestarian tradisi dan cita rasa otentik Indonesia. Di tengah merebaknya makanan modern dan tren kuliner kekinian, eksistensi serabi ini menjadi bukti bahwa rasa tradisional masih memiliki tempat di hati masyarakat. Toko Serabi Notosuman Ny. Lidia berhasil mempertahankan kualitas dengan tetap setia pada proses pembuatan tradisional.
ADVERTISEMENT
Membawa oleh-oleh Serabi Solo tidak hanya tentang menyenangkan orang lain, tetapi juga cara untuk membawa pulang secuil rasa dan pengalaman dari kota ini. Solo adalah kota yang kaya akan budaya dan sejarah, dan Serabi Solo adalah salah satu buktinya. Kuliner ini tidak hanya berbicara tentang rasa, tetapi juga tentang nilai-nilai kesederhanaan, kehangatan, dan cinta terhadap tradisi. Di tengah kesibukan dan hiruk-pikuk dunia modern, ada sesuatu yang menenangkan dalam kesederhanaan serabi ini. Ia mengingatkanku bahwa kadang, kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal yang paling sederhana. Meski serabi ini telah melegenda, tidak dapat dipungkiri bahwa persaingan dengan jajanan modern menjadi tantangannya. Namun, serabi tetap bertahan dengan caranya sendiri, yaitu keautentikan rasanya yang tidak bisa ditemukan pada kuliner lain.
ADVERTISEMENT