Konten dari Pengguna

Tax Amnesty Jilid III: Mengulang Kesalahan atau Memberi Kesempatan?

Imelda Puspitasari
Mahasiswa Akuntansi Perpajakan D4 Universitas Pamulang
25 April 2025 11:30 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imelda Puspitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Tax Amnesty Foto: Imelda Puspitasari/Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Tax Amnesty Foto: Imelda Puspitasari/Kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah kembali melempar wacana pelaksanaan tax amnesty atau pengampunan pajak jilid III. Ini adalah kali ketiga Indonesia membuka pintu maaf bagi Wajib Pajak yang selama ini belum patuh terhadap kewajiban perpajakannya. Padahal, sebelumnya Menteri Keuangan, Sri Mulyani, secara tegas menyatakan tidak akan ada pengampunan pajak lagi.
ADVERTISEMENT
Dua edisi sebelumnya mencatat angka yang impresif. Tax amnesty jilid I pada 2016–2017 mengungkap harta Rp4.854 triliun dari hampir satu juta Wajib Pajak. Jilid II pada 2022 menyusul dengan pengungkapan harta sebesar Rp594 triliun dari lebih dari dua ratus ribu peserta. Namun, pertanyaannya: apakah angka besar itu benar-benar berdampak jangka panjang terhadap sistem perpajakan nasional?

Pemerintah kembali menggulirkan wacana Tax Amnesty jilid III, publik mempertanyakan keadilannya.

Pemerintah, melalui berbagai ahli seperti Danny Darussalam dan Yustinus Prastowo, menyebut pengampunan pajak sebagai sarana perluasan basis pajak dan peningkatan kepatuhan secara bertahap. Mereka menilai bahwa dengan memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang sebelumnya tidak patuh, negara bisa merangkul mereka ke dalam sistem.
Namun, kritik tajam datang dari ekonom seperti Faisal Basri dan Fithra Faisal. Bagi mereka, tax amnesty justru menciptakan ketidakadilan fiskal. Bagaimana tidak? Wajib Pajak yang selama ini taat tidak memperoleh keuntungan apa pun, sementara yang lalai justru diberi karpet merah. Hal ini berisiko merusak moral pajak dan menurunkan kredibilitas negara.
ADVERTISEMENT
Pengampunan yang dilakukan berulang kali juga menciptakan harapan semu. Jika pemerintah terus memberikan toleransi, maka akan muncul pola pikir bahwa menghindari pajak bukanlah masalah besar, karena pada akhirnya akan selalu ada jalan keluar berupa amnesti.
Lebih jauh lagi, efektivitas kebijakan ini dalam meningkatkan rasio pajak masih dipertanyakan. Data menunjukkan bahwa tax amnesty jilid I dan II belum secara signifikan mendorong peningkatan rasio penerimaan pajak terhadap PDB.
Di titik ini, kita perlu bertanya: apakah tax amnesty jilid III benar-benar solusi atau sekadar langkah instan yang berulang? Jika tujuannya adalah menyehatkan sistem perpajakan, maka pembenahan struktural, penegakan hukum yang tegas, serta edukasi wajib pajak seharusnya menjadi prioritas.
Memaafkan adalah tindakan mulia. Namun dalam konteks perpajakan, terlalu sering memaafkan bisa berarti membiarkan keadilan fiskal tergadaikan. Sebelum pemerintah mengetuk palu untuk tax amnesty jilid III, sudah saatnya publik dilibatkan dalam diskusi yang jujur dan terbuka, demi masa depan perpajakan Indonesia yang berkeadilan dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT