Konten dari Pengguna

Aku dan Dia di Pesta Semalam

Muhammad Ibnu Shina
Mahasiswa Sastra Indonesia - Universitas Pamulang Tukang tidur, ngopi dan berkhayal.
18 Juli 2022 17:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ibnu Shina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar merupakan koleksi pribadi penulis.
zoom-in-whitePerbesar
Gambar merupakan koleksi pribadi penulis.
ADVERTISEMENT
Musik cinta menggema. Pesta semakin meriah. Wajah-wajah ceria serta tawa bahagia melekat pada diri orang-orang di sana. Makanan dan minuman melimpah tersedia di atas meja yang panjang. Kepulan asap tembakau mengudara tak beraturan. Sepasang manusia dengan wajah berseri-seri dipamerkan di muka umum bagaikan raja dan ratu yang duduk di singgasana kerajaan.
ADVERTISEMENT
Tamu-tamu berdansa ria seraya menikmati alunan musik pesta yang menjelma menjadi madat yang memabukkan. Suasana di sana mampu membuai siapa saja untuk turut bahagia seraya sejenak melupakan problematik kehidupan. Semakin larut malam, semakin terlarut juga tubuh-tubuh bernyawa itu menikmati pesta dan musik.
Aku menyaksikan itu dan pikiran jailku bertanya, “Apa orang-orang itu merasa dan berkelakuan sebahagia itu juga kala mereka menyembah Tuhan mereka?”
Lalu aku tertawa sendirian di dalam hati, “Seperti sudah jadi orang benar saja diriku ini.” Aku buang jauh-jauh pertanyaanku tadi.
Aku duduk di salah satu meja yang terdapat berbagai makanan ringan dan buah di atasnya. Sesekali, kucicipi makanan itu sembari menonton tarian dan mendengar nyanyian yang terdapat di sana. Musiknya memang melenakan, tanganku tergoda untuk sesekali mengetuk meja seraya mengikuti alunan musik yang terdengar. Kedua kakiku pun tak ketinggalan mengentak-entak seakan berusaha membuat tanah yang keras itu terbelah dua.
ADVERTISEMENT
Suasana ramai di sana pada nyatanya tak mampu menghilangkan kesunyianku. Sekali pun aku sudah berusaha menutupi dengan memasang wajah tenang, aku tak dapat berbohong di dalam hatiku bahwasanya wajah itu masih saja senantiasa tergambar nyata. Aku senantiasa melihat wajahnya kala melihat setiap wajah orang-orang yang ada di sana.
Musik yang bervolume tinggi itu nyatanya tak hanya sekadar menciptakan dentuman di dada, melainkan dentuman itu terus-menerus menyebut-nyebut namanya, semakin keras dentuman maka semakin nyaring pula namanya tersebut di dalam hati.
Bayang-bayang wajahnya tak hilang-hilang, biar pun aku sudah berusaha meleburkan diri dengan keramaian di sana. Semenjak kukenal, dalam hatiku dia tak pernah pergi dan semakin hari aku semakin tidak mengerti. Sebenarnya siapa dirinya?
ADVERTISEMENT
Sial! Di tengah pesta yang ramai nan meriah itu aku malah menjadi melankolis. Lampu-lampu pesta itu menjelma menjadi sorot mata tajam yang membuatku semakin terjun bebas masuk ke jurang kerinduan yang tak terukur dalamnya. Angin lembut malam itu membuatku diam seraya terjebak di dalam ruang hampa yang tak ada siapa-siapa lagi selain aku dan bayangan dirinya.
Musik semakin berisik, tapi aku kehilangan kemampuan untuk mendengar. Aku hanya bisa mendengar namanya yang terus-menerus disebutkan yang entah oleh siapa. Tak ada satu pun sesuatu yang ada di sana yang mampu mengusir dirinya pergi dari dalam diriku.
Rasanya, aku ingin meneriakkan namanya dengan sekeras-kerasnya saat itu juga. Meneriakkan namanya seraya menyirnakan lirik lagu dan alunan musik yang tengah berjalan penuh irama itu. Namun hal itu tak mungkin tentunya, kecuali aku mau dianggap gila oleh orang-orang di sana.
ADVERTISEMENT
Suasana semakin membuai tubuh-tubuh yang sebenarnya sudah lunglai itu. Namun tubuh-tubuh itu masih haus akan rasa bahagia nampaknya. Mereka masih terus berdansa. Aku pun sama seperti mereka. Namun, aku tak merasa haus akan rasa bahagia, melainkan merasa haus akan makna tentang dia.
Nyanyian di pesta itu semakin membuat nikmat telinga-telinga yang mendengarnya. Aku semakin jauh berpetualang mencari makna dirinya di dalam hati dan pikiran. Tetap saja, sejauh apa pun ku melangkah menembus jalan-jalan kemungkinan, aku tak jua sampai pada makna itu. Malahan, makna itu semakin samar bahkan gelap gulita.
Pesta belum usai, aku sudah beranjak pulang. Pulang ke pelukan sunyi yang menenangkan. Sunyi yang kuharapkan dapat memberikan jalan pintas menuju makna tersembunyi itu. Tetapi nahas, kesunyian malah semakin membuat rasa rindu semakin tak waras. Tak henti-hentinya nama itu disebut-sebut, tak henti-hentinya wajah itu terbayang-bayang. Ku pejamkan mata sejenak seraya masuk ke alam mimpi yang mana segala hal apa pun bisa terjadi di sana. Sialan! Di alam mimpi pun hanya kutemui wajahnya.
ADVERTISEMENT
Aku bangkit seraya menggelar lapik bergambar kuil suci dan duduk bersila memejamkan mata. Dengan segenap perasaan pasrah, kupanjatkan kalimat penuh harap yang kurang lebih berbunyi, “Segeralah perlihatkan wajahmu! Berikan aku jawaban dan singkapkan makna dirimu itu! Sungguh, Aku menyerah kalah!”