Kisah Lelaki Kurus yang Murung

Muhammad Ibnu Shina
Mahasiswa Sastra Indonesia - Universitas Pamulang Tukang tidur, ngopi dan berkhayal.
Konten dari Pengguna
6 Agustus 2022 19:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ibnu Shina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Lelaki itu diam saja dengan tatapan kosong. Tubuh kurusnya duduk di bangku paling ujung di kedai kopi milikku. Aku baru melihatnya lagi hari ini. Semenjak hari itu, di suatu sore yang mendung satu bulan yang lalu, kala lelaki kurus itu duduk di bangku yang sama. Angin sore ini mendayu seraya menerpa wajahnya yang berwarna putih pucat. Rokok ia hisap, lalu dihembuskannya asap itu ke udara bersama isi pikirannya yang nampaknya dapat aku ketahui.
ADVERTISEMENT
Aku tahu betul bahwa lelaki kurus itu sedang merasakan rindu yang amat hebat. Dari sorot matanya aku dapat melihat jelas bahwasanya ia tak melihat apa-apa selain wajah perempuan itu yang terlihat ada dimana-mana. Perempuan yang sebulan lalu masih duduk dihadapannya dengan dua buah gelas yang berisi kopi dan susu diantara mereka. Kini lelaki itu sendiri, bahkan tak lagi dengan segelas kopi sekalipun.
Wajahnya yang kini murung amat sangat berbeda dengan wajahnya di satu bulan lalu, yang mana ia tak henti-hentinya tersenyum penuh gairah. Senyum yang dapat kubaca jelas menggambarkan bahwa lelaki itu sedang jatuh hati.
Aku senantiasa melihat senyumnya menjadi lebih merekah saat matanya memandangi wajah perempuan manis itu. Aku tahu mata lelaki itu selalu terlena kala menatap langsung sepasang mata yang cantik itu. Semua tampak jelas, bahkan mungkin semut-semut yang berjalan di atas toples gula pun menyadari itu semua. Si lelaki kurus benar-benar sedang mabuk cinta. Aku memang tak tahu isi hati manusia, tetapi tetap aku punya perasaan yang terkadang dapat merasakan perasaan manusia lain.
ADVERTISEMENT
Sore ini, tak kulihat lagi senyum menghiasi wajah tirusnya. Tak terlihat lagi mata yang sayu sebab terlena oleh keindahan. Rasa yang penuh gairah cinta dari lelaki itu tak lagi kurasakan. Semua berganti lara serta kerinduan seiring dari kabar perempuan itu yang tak jua datang. Aku merasakan kesedihannya dan rasa ibaku perlahan terbit.
Aku menghampiri lelaki itu seraya duduk dihadapanya. Mata kami saling bertemu, dan semakin jelas kurasakan kerinduan yang tengah ia rasakan. Wajahnya tetap datar seraya menanti kata-kata yang akan kusampaikan. Aku pun diam, terus mencoba masuk lebih dalam ke hati yang pilu itu. Lelaki itu pun mengusap wajah lalu tersenyum juga.
“Kau jatuh hati pada perempuan itu?” Tanyaku.
Lelaki kurus itu diam seraya terus menatap mataku. Ia tidak menjawab, lalu kembali membakar rokoknya yang entah sudah batang ke berapa. Sejenak, ia melirik cicak di langit-langit kedai kopi lalu menghembuskan asap rokoknya ke atas sana.
ADVERTISEMENT
“Perempuanmu itu baik-baik saja, dan ia akan segera kembali.” Ucapku sembari menepuk bahunya yang keras.
Tiba-tiba binar matanya menyala terang bagaikan matahari di tengah hari yang terik. Jiwanya seakan terisi kembali, terlihat jelas dari wajahnya yang menahan senyum penuh bahagia. Kemilau harapan telah berhasil menyelimuti kerinduan di dalam hatinya yang kelabu itu. Laranya hilang berganti menjadi mabuk kepayang.
“Kapan dia akan datang, tuan?” Lelaki itu bertanya setengah berteriak.
“19 hari lagi.” Jawabku.
Seketika lelaki kurus itu menciumi punggung tanganku. Tak sepatah kata pun ia ucapkan, namun terlihat jelas ia begitu berterima kasih atas kabar yang kubawa untuknya. Setelah ia puas menciumi punggung tanganku bagai budak yang memohon ampun, ia berdiri seraya beranjak pergi.
ADVERTISEMENT
“Mau ke mana?” Tanyaku padanya.
Ia menoleh lalu berkata, “Aku mau pergi ke rumah Tuhan. Aku ingin berdoa sepanjang malam kepada-Nya agar sudi memanjangkan umurku untuk dapat sampai ke 19 hari ke depan agar dapat kembali melihat wajah indah itu lagi.”
Aku mengangguk perlahan seraya memandangi tubuh kurus itu yang terus mengayunkan langkah membawa sejuta harapan di dadanya. Kudoakan pula dirinya agar harapannya tak berujung pada rasa kecewa. Sebab, mana tahu 19 hari lagi perempuan itu kembali dengan cincin emas yang telah melekat di jari manisnya.
Aku tak pernah tahu, begitu pun lelaki itu.