Wajah Cahaya Pembunuh Bunyi

Muhammad Ibnu Shina
Mahasiswa Sastra Indonesia - Universitas Pamulang Tukang tidur, ngopi dan berkhayal.
Konten dari Pengguna
8 September 2022 13:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ibnu Shina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari demi hari telah terlewati tanpa memandang wajah itu. Rasa rindu senantiasa menyerang jiwa setiap harinya. Namun, nampaknya semakin lama semakin terbiasa tanpanya. Hingga akhirnya rasa ini seakan mati. Iya, aku telah mati rasa. Kenyataan pun mengatakan bahwasanya hatinya telah terpaut dengan hati seorang insan di sana. Aku pergi, menembus kegelapan dan bersemayam lama di sana sendirian.
ADVERTISEMENT
Apakah cinta telah berhasil dibunuh oleh waktu? Apakah cinta akhirnya kalah oleh keadaan? Aku terus bertanya-tanya setiap malam. Sekilas cinta terlihat tak seagung yang dibicarakan para pujangga. Cinta yang begitu diagung-agungkan oleh para pecinta nyatanya tak semulia yang dibayangkan.
Aku sampai pada titik dimana menganggap cinta hanyalah omong kosong, atau mungkin anggapan itu muncul sebab aku yang pada hakikatnya belum tersentuh oleh cinta yang hakiki nan sejati, aku tak tahu. Imajinasiku tentang cinta tak ada lagi, aku terbungkam dalam kelam.
Wajah itu nampaknya telah datang kembali. Wajah ayu itu sudah kembali menghiasi hari-hari. Tak terasa, ternyata sudah lama sekali tak bersua. Kepergiannya yang tiba-tiba saat itu sekilas kembali hadir di dalam ingatan. Tak pernah terlupakan rasa kecewa di senja hari itu. Hati kehilangan daya kala melihat senyumnya yang terakhir dalam suasana jingga itu. Hati termenung seraya terus membentuk bendungan kokoh untuk menahan derasnya arus rindu yang amat kuat di dalam hati.
ADVERTISEMENT
Aku terus berusaha menepis jemari-jemari cinta yang mencoba untuk menyentuh hati agar aku bergerak datang menyapa wajah itu. Suara rayuan yang entah dari mana terus terdengar dengan iming-iming bahwasanya cahaya cinta sejati akan segera tiba.
Aku masih tak bergerak, tak keluar dari gua persembunyian yang gelap dan sunyi. Suaraku tak terdengar, ragaku tak terlihat. Aku sendiri, menikmati berbagai suasana hati. Tenggelam dalam lautan perasaan yang terwujud dalam lamunan. Aku tak berbunyi, dalam lisan maupun tulisan.
Malam syahdu datang bertamu, menarik-narik jiwaku keluar dari kegelapan seraya terus merayu untuk menikmatinya dengan menyapa wajah itu. Aku masih keras kepala pada awalnya, ada semacam tarik-menarik yang dilakukan oleh dua hal yang berlawanan memperebutkan jiwaku untuk dipaksa patuh padanya.
ADVERTISEMENT
Aku kalah seraya keluar dari kegelapan, terus melangkahkan kaki menuju cahaya cantik itu diiringi gerimis yang menjelma menjadi puisi dari bibir langit. Rasa melankolis membuat langkahku menjadi sedikit berirama. Suara bising berubah menjadi bahasa-bahasa cinta yang tak bermakna, sebab rasa-rasanya makna itu hanya akan kudapat dari bahasa cinta yang keluar dari bibir cantiknya.
Cahaya yang berwujud wajah cantik itu kini ada dihadapanku. Aku sedikit menyipitkan mata sebab cahayanya yang terlampau terang. Cahaya itu sedikit teduh kala sebuah senyum manis terlukis menghiasi wajahnya tertangkap oleh mata yang hina ini. Kokohnya bendungan di dalam jiwa akhirnya runtuh jua kala suaranya menyapa telingaku. Arus rindu yang amat deras kini membanjiri jiwa, aku tenggelam.
ADVERTISEMENT
Perasaanku terasa bangkit dari kematian, perlahan-lahan sunyiku berganti ramai. Tetapi aku masih tak berbunyi. Bunyiku telah mati terbunuh oleh cahaya yang terpancar dari wajah cantiknya. Tetapi Biarlah, sebab cinta terkadang melampaui kata-kata dan diam adalah jalannya.