Konten dari Pengguna

Rasionalitas Dosen Muda

Moch Imron Rosyidi
Dosen dan Peneliti di Ilmu Komunikasi FISIB Universitas Trunojoyo Madura
17 April 2023 17:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moch Imron Rosyidi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dosen Pria. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dosen Pria. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Alkisah di sebuah pagi yang cerah, dari diskusi dosen dan mahasiswa di kelas Pengantar Filsafat Ilmu Komunikasi. Ketika menjelaskan soal entimem dan premisnya, seorang peserta kuliah bertanya pada dosennya.
ADVERTISEMENT
Maka dengan menghela napas panjang, dosen yang sedang dalam masalah cinta dan duniawi tersebut, mulai berceramah.
Premis 1: Manusia dan dialektikanya. Akal sehat dan isi dada beradu mesra. Dia merasa dan dia berpikir maka ia ada sebagai manusia. Saya berpikir, saya merasa, maka saya manusia.
Premis 2: Manusia dan apa yang ia rasa. Rela memberi tanpa diminta. Melawan dialektika, Menawan logika. Kodrat manusia untuk mencinta. Manusia pasti mencinta.
Premis 3: Setiap manusia yang memiliki rasa akan ada. Cinta adalah rasa dan kata kerja. Cinta dirasa, dan di logika secara bersama. Hingga membentuk kalimat kerja, sebagai manusia saya pasti mencinta.
Entimem: Saya manusia, berlogika dan memiliki rasa. Manusia pasti mencinta. Sebagai manusia saya mencinta. Saya pasti mencinta karena saya manusia.
ADVERTISEMENT
Setelah penjelasan, kemudian kelas hening. Sepertinya logika mereka lelah, dan kata kerja satu ini, memang sangat sulit dilogika. Bahkan dengan cara yang paling mudah diterima.
Sebetulnya kebingungan dosen muda yang sedang dalam masalah cinta tersebut bukan karena masalah percintaan saja. Namun karena beban pikiran lain seperti mengurus pengakuan angka kredit dan kewajiban administratif.
Semalam dia tidak tidur, menghitung angka kredit dari kinerjanya yang tidak seberapa. Bahkan mungkin Malaikat Raqib dan Atid yang ditugaskan Tuhan menghitung amal perbuatan, kasihan melihat perhitungan kisanak ini.
Dalam benaknya, kampus sebagai pusat mimbar akademik tidak lagi menarik, bagi para pemuda bertalenta untuk berkarier di sana. Tentu tidak disebabkan karena status sosial sebagai akademisi bukan lagi idaman mertua.
ADVERTISEMENT
Namun lebih kepada ruang lingkup akademis yang jauh berbeda pada saat mereka kuliah dahulu. Jarang ada ruang argumentatif yang memadai, kreativitas yang dipandu oleh template, dalam dalih penyeragaman dan penertiban administratif. Bahkan untuk sekadar menulis di media massa sepertinya jauh lebih menarik menjadi joki jurnal ilmiah seperti yang baru-baru ini ramai diperdebatkan.
Iklim tersebut ditambah dengan kewajiban dosen untuk melaksanakan tridharma yang harus sesuai dengan angka kredit. Jatuhnya dosen muda yang idealisme membara kebingungan dengan fakta sosial, bahwa pekerjaan dosen saat ini lebih banyak di ruang administratif. Bukan soal mencapai pengembangan diri secara maksimal untuk kebermanfaatan mahasiswa dan masyarakat.
Selain itu untuk mencapai “sejahtera” dosen muda harus begadang untuk memenuhi angka kredit sebagai loncatan pertama mencapai sertifikasi dosen. Alhasil, menjelaskan kata sesederhana cinta saja lupa, karena dipenuhi oleh deretan angka publikasi ilmiah dan beban mengajar yang tak lagi wajar.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana masa depan pendidikan tinggi jika dosen muda bernasib begini?

Rasionalitas Angka Kredit

Ilustrasi membayar cicilan kartu kredit. Foto: Shutter Stock
Habermas dalam pemikiran sosialnya mengkritik rasionalitas instrumental Weber. Di mana orang mencapai pemahaman hanya berdasar pada instrumen-Instrumen sosial.
Habermas menilai bahwa dalam Teori Rasionalitas, Weber tidak cukup mampu memberikan penjelasan yang memuaskan tentang bagaimana rasionalitas dalam konteks ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka menurutnya diskursus untuk mencapai rasionalitas harus dibangun dalam ruang tanpa represi dan kekakuan.
Nyatanya melalui pengekangan angka kredit para dosen muda kebingungan mencapai rasionalitas dirinya sendiri bagaimana mereka bisa memicu rasionalitas mahasiswanya. Diskusi kelas menjadi lelah dan formal, ruang-ruang mimbar bebas hilang, sedang mahasiswa mengejar SKS dan dosen yang mengejar angka kredit.
Ujungnya, mahasiswa hanya akan menjadi instrumen pembangunan dan teknokrasi tanpa nyawiji dengan realitas dan rasionalitas sosial. Mahasiswa sibuk dengan kegiatan “di luar kampus” dan healing memenuhi beranda Instagram atau sosial media mereka. Karena dosennya juga sibuk mengurus angka kredit agar tidak hangus, meski sudah mendapat jaminan dari KemenPAN RB dan Kemendikbudristek bahwa angka kredit dosen tidak akan hangus.
ADVERTISEMENT
Tetap saja hal tersebut membingungkan bagi rasionalitas dosen muda. Jika terus begini bukan tidak mungkin kita akan kehilangan negarawan masa depan, yang mungkin sekarang sedang sibuk healing.

PermenPAN RB dan Rasionalitas Instrumental

Ilustrasi dosen wanita. Foto: Shutter Stock
Jika Iwan Fals menulis lagu Guru Oemar Bakrie mungkin kini agaknya lagu ini relate untuk nasib para dosen muda saat ini; Dosen Oemar Bakrie. Kemunculan PermenPAN RB No 1 2023 gaduh dalam kurun waktu sebulan terakhir. Karena kinerja dosen ASN sampai 31 desember 2022 dianggap hangus jika tidak dilaporkan sampai batas waktu yang ditentukan.
Faktanya bukan hanya poin di atas yang perlu dicermati ada poin baru dalam tridarma dosen selain pendidikan, penelitian, pengabdian dan penunjang ditambah poin kewajiban institusi. Poin ini rawan salah tafsir.
ADVERTISEMENT
Apalagi oleh dosen muda yang menafsirkan cinta saja kesulitan. Dosen yang seharusnya membangun jejaring di luar kampus sebagai sarana pendidikan dan penelitian rawan terhambat hanya karena dalih “kewajiban institusi”.
Selain itu, jenjang karier puncak sebagai guru besar dampak dari aturan ini semakin sulit dipahami dan mungkin dicapai. Ada interpretasi kemungkinan seorang dosen baru bisa mencapai guru besar di usia 70 tahun. Sedang menurut para pimpinan aturan ini tidak memberatkan dosen. Sungguh berat bagi dosen muda menafsirkan itu semua.
Akhir kata, beberapa dosen muda yang pesimistis dengan semua itu mendiskusikan nasib mereka di sebuah grup WhatsApp.
“Sekarang untuk menjadi guru besar, ndak cukup hanya mengajar dan meneliti, namun sehat wal afiat sampai usia 70 tahun, maka tutup bukumu dan tidur teratur lebih awal.”
ADVERTISEMENT
Sekali lagi rasionalitas mereka tidak berkembang dalam kekakuan rasionalitas instrumental.