Konten dari Pengguna

Orkestrasi Penundaan Pemilu 2024

Imron Wasi
Peneliti dan Manager Riset dan Advokasi Publik Netfid Indonesia
17 Maret 2022 10:49 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imron Wasi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Imron Wasi
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Imron Wasi
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini ada sesuatu yang cukup menggelisahkan publik, terutama dalam wacana penundaan dan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Wacana ini muncul dan disampaikan oleh salah satu Menteri dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin. Dalam hal ini, Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia pada Januari yang lalu. Ia menyebutkan bahwa usulan ini muncul dari para pengusaha. Pasalnya, menurut Bahlil, agar Indonesia dapat memulihkan ekonomi nasional yang terdampak oleh Covid-19.
ADVERTISEMENT
Semula, isu yang dimunculkan di ruang publik ini juga sempat terisolasi dari percakapan khalayak publik. Akan tetapi, tak berselang lama, wacana ini kemudian digulirkan kembali oleh para elite politik di negeri ini. Hal ini terkonfirmasi dari sejumlah statement politik elite politik lainnya mengenai penundaan dan perpanjangan masa jabatan presiden ini.
Di samping itu, seperti yang sudah disampaikan di atas bahwa wacana penundaan pemilu juga bergulir kembali, yakni saat ini muncul dari partai politik koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Golkar. Sebagaimana yang sudah disampaikan oleh Muhaimin Iskandar dan Airlangga Hartarto.
Terakhir, wacana ini juga muncul dan dilontarkan oleh ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan. Namun demikian, wacana terkait penundaan pemilu ini juga mendapatkan kritik tajam dari para penggiat demokrasi, termasuk dari entitas modern lainnya seperti PDI-P, Nasdem, Demokrat, PKS dan PPP. Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan kepala negara ini juga secara eksplisit sangat kontradiktif dengan konstitusi UUD 1945. Karena, dalam konstitusi telah dimuat sejumlah aturan mengenai pembatasan masa jabatan. Artinya, sudah sangat jelas hal ini akan melanggar konstitusi.
ADVERTISEMENT

Kehendak Rakyat

Dalam sistem demokrasi menghendaki adanya rotasi kekuasaan, agar siklus roda pemerintahan dapat berjalan sesuai ketetapan konstitusi. Dengan demikian, regenerasi kepemimpinan nasional akan terus berlanjut secara sistemik. Sehingga akan tercipta pemimpin transformasional yang diharapkan publik.
Selain itu, terciptanya rotasi kekuasaan juga akan menciptakan aksesibilitas publik. Tak hanya itu, dalam aspek kekuasaan meniscayakan perlunya distribusi dan alokasi. Pada dasarnya, dalam iklim yang bersifat demokratis ini mengutamakan kedaulatan rakyat sebagai salah satu instrumen yang sangat esensial dari demokrasi.
Dengan demikian, kedaulatan rakyat ini sangat tercermin dari keterlibatan publik dalam pembangunan, termasuk politik. Kemudian, keterlibatan publik dalam politik, misalnya, bisa terlihat secara gamblang ketika salah satunya ada proses elektoral, dalam hal ini pemilihan umum.
ADVERTISEMENT
Karena, selama proses elektoral tersebut, publik memberikan kepercayaannya kepada para kontestan yang sedang melakukan pergulatan dalam kompetisi politik. Dengan kata lain, kompetisi politik ini harus tetap terjaga, karena menjaga kompetisi politik dalam ekosistem demokrasi juga bisa dikatakan merawat nilai-nilai demokrasi.

Frontstage Politics

Sebagaimana yang sudah dikemukakan di awal bahwa dalam demokrasi diperlukan siklus kepemimpinan atau dalam term lain dikenal sebagai rotasi kekuasaan. Perspektif ini tampaknya secara praksis riil dilegitimasi dalam studi Heywood (2014) yang mengemukakan bahwa salah satu ciri utama dari demokrasi adalah prinsip tentang kesetaraan politik.
Dalam perspektif tersebut, dapat diketahui bahwa dalam iklim demokrasi seperti Indonesia, di mana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat menghendaki adanya proses pergantian kepempimpinan.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa lain, mengutamakan asas kesetaraan, karena dalam kesetaraan politik, menurut Heywood itu merupakan pembagian secara merata kekuasaan dan pengaruh politik. Artinya, tercipta suatu distribusi kekuasaan, terlebih dalam distribusi kekuasaan ini juga akan berimplikasi terhadap pengaruh yang akan diperoleh.
Dalam distribusi kekuasaan tersebut, tentu sudah ada mekanismenya, terlebih dalam sebuah sistem demokrasi. Bahkan, dalam perspektif demokrasi liberal, kesetaraan politik ini juga menyoroti hak-hak politik, seperti hak untuk memilih, hak untuk maju dalam pemilihan, dan seterusnya.
Oleh karena itu, statement politik yang koheren terhadap penundaan dan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden sangatlah tidak relevan. Sebab, sedari awal sangat kontradiktif dengan cita-cita demokrasi yang meniscayakan adanya kesetaraan politik, salah satunya hak-hak politik.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, apabila wacana ini menjadi riil dalam politik mutakhir di Indonesia, tentunya akan menjadi titik kulminasi dan preseden buruk bagi demokrasi. Bukan hanya menciderai rakyat sebagai pemilik kedaulatan rakyat. Akan tetapi, jauh daripada itu, yakni dapat dikatakan mengkhianati konstitusi negara.
Padahal, elite-elite politik di Indonesia, seringkali bicara akan melakukan konsolidasi secara sistemik. Namun, secara faktual justru sangat jauh panggang dari api. Sementara itu, kebebasan politik rakyat sebagai raja dan ratu dalam demokrasi akan terancam, sehingga hal ini akan menimbulkan resonansi di ruang publik yang akan berdampak pada terancamnya stabilitas sosio-politik domestik.
Koalisi dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin juga tampak mengalami keretakan dalam merespons wacana ini, sehingga memunculkan faksi-faksi baru, seperti, sikap partai politik terhadap wacana penundaan dan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden juga berbeda. Secara umum, terutama sejak reformasi bergulir tampaknya faksionalisasi yang ada di internal partai politik bisa menghasilkan friksi, termasuk dalam konteks ini.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang sudah diuraikan di awal, misalnya PKB, PAN, dan Golkar mencoba memprakarsai wacana ini. Namun, mendapatkan respons yang berbeda dari NasDem, Demokrat, PPP, Gerindra, PKS, termasuk PDI-P yang notabene merupakan partai yang telah menjadi jembatan bagi Jokowi menjadi pemimpin nomor satu di Indonesia.
Di samping itu, elite-elite politik juga tampaknya sudah membangun berbagai upaya agar wacana ini berhasil, misalnya, kunjungan ketua umum Golkar ke ketua umum Nasdem, Surya Paloh, kemudian yang mutakhir adanya pertemuan antara Muhaimin Iskandar dengan komisioner KPU-Bawaslu.
Para elite politik tampaknya sudah mencoba menciptakan konsolidasi atau dalam asumsi publik disebut sebagai operasi politik. Kegaduhan politik ini ditambah saat pertemuan Muhaimin Iskandar dengan para komisioner KPU-Bawaslu. Sebagai warga negara, tentu hal ini memunculkan kecurigaan, karena Cak Imin, sapaan akrabnya, salah satu aktor yang mengusulkan wacana tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, publik juga cukup dikejutkan dengan adanya pernyataan salah satu Menteri yang menyatakan memiliki big data terkait penundaan pemilu. Akibatnya, pernyataan politik ini juga menuai protes dari publik, karena sejumlah lembaga survei merilis hasil surveinya bahwa publik menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan.
Klaim big data juga memunclkan asumsi baru, apakah yang dimaksud big data ini hasil dari keinginan para oligarki atau dari masyarakat? Apabila dari masyarakat tentunya hasil rilis survei lainnya menunjukkan bahwa publik menolak akan wacana ini. Lantas, kalau bukan muncul dari masyarakat, muncul dari mana?

Backstage Politics

Dalam sebuah pentas, termasuk panggung politik akan selalu memunculkan sejumlah orkestrasi, sebagaimana yang sudah dilakukan oleh para elite politik di Indonesia dalam mewacanakan dan merespons wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Orkestrasi tersebut tentunya sangat beragam, dan tak mungkin hanya dijalankan oleh satu aktor, biasanya akan diperankan oleh para aktor lainnya, seperti yang sudah didedahkan di awal.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, publik masih tidak mengetahui sejumlah argumentasi rasional dari para elite politik hendak menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan. Dan, publik hanya bergulat dalam tataran percakapan politik permukaan saja, tanpa mengetahui sejumlah kepentingan lainnya di layar belakang. Misalnya, wacana tersebut hadir dan berasal dari para pengusaha, kemudian dalam rangka memperbaiki ekonomi yang masih dilanda covid-19, dan argumentasi lainnya.
Namun, sampai saat ini, argumentasi tersebut juga bersifat klise dan irasional. Karena, sebelum wacana ini digulirkan, Indonesia sudah melaksanakan pemilihan kepala daerah secara serentak yang dilaksanakan di tengah masih mencekamnya covid-19 ini. Dalam sebuah panggung politik belakang (backstage politics), biasanya para elite politik tidak pernah menampilkan wajah aslinya. Artinya, kepentingannya tidak dapat diakses oleh publik secara mudah, berbeda halnya dengan panggung depan politik yang selalu ditampilkan dengan sangat apik.
ADVERTISEMENT
Agar semua mematuhi dan taat pada konstitusi, sebagaimana yang sudah tertuang dalam regulasi diperlukan komitmen bersama (mutual commitment), menciptakan pemahaman bersama (mutual understanding), dan saling memiliki kepercayaan (mutual trust) satu sama lain agar sama-sama mengawal pemilu 2024 mendatang, agar sesuai blue print yang sudah ditetapkan.
Imron Wasi mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, peneliti di Banten Institute for Governance Studies (BIGS)