Prospek Petahana terhadap Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) Lebak

Imron Wasi
Peneliti dan Manager Riset dan Advokasi Publik Netfid Indonesia
Konten dari Pengguna
31 Juli 2020 10:55 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imron Wasi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
KATA seorang sejarawan terkemuka, yang kebetulan juga dikenal sebagai tokoh sastrawan dan budayawan, pernah mendedahkan dalam salah satu studinya, bahwa ada politisasi di segala bidang. Menurutnya, politik menentukan lurah, camat, bupati, walikota, gubernur, izin siaran radio, dan televisi, tender pembangunan, izin pertunjukkan, dapat menghapus bangunan yang dilindungi, lokasi RS dan RSS, monopoli sebuah komiditi, persetujuan caleg, dan sebagainya. (Kuntowijoyo dalam Identitas Politik Umat Islam, penerbit IRCiSoD, Yogyakarta, 2018: 226).
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif tersebut, mungkin kita juga dapat mengasosiasikan sebuah pengertian yang telah diulas di muka oleh scholar dengan kondisi yang terjadi di wilayah yang terkenal dengan sebutan Multatuli ini, yaitu Kabupaten Lebak, Banten. Pada dasarnya, politik memang secara intensif akan selalu memengaruhi proses pengambilan keputusan (decision making), termasuk dalam sebuah badan/atau lembaga, yang sempat menjadi primadona masyarakat, yang diharapkan memiliki kinerja yang baik dalam mengawal pembangunan (development) di tingkat lokal, yaitu para komisioner KTP. Sebab, dalam menentukan atau memilih komisioner dari badan/atau lembaga tersebut, melalui pelbagai fase yang secara inheren melibatkan lembaga legislatif dalam upaya menguji. Dengan kata lain, ada sebuah fit and propert test terlebih dahulu. Dan, juga keterlibatan Bupati sebagai Kepala Daerah dalam rangka mengangkat/atau menetapkan setelah mendapat persetujuan dari DPRD. Hal ini juga tampak secara gamblang menunjukkan adanya sebuah mata-rantai politik, seperti yang telah didedahkan di muka.
ADVERTISEMENT
Komisi Transparansi dan Partisipasi
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa terdapat sebuah badan/atau lembaga yang berfokus terhadap sebuah penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan pembangunan, dalam bahasa lain, hal itu dicirikan dengan adanya sebuah asas transparansi dan partisipasi dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih. Dengan demikian, kehadiran badan/atau lembaga Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) ini juga diharapkan mampu menciptakan akuntabilitas yang relevan antarsatuan kerja perangkat daerah (SKPD)/atau OPD dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Secara umum, badan/atau lembaga ini juga terdiri dari 9 (sembilan) orang. Sebagaimana yang telah dimuat dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak. Dalam nomenklatur di atas, yang terdapat pada pasal 23 (2) dan (3), menjelaskan bahwa jumlah keanggotaan Komisi Transparansi dan Partisipasi terdiri dari 9 orang, di antaranya: Ketua merangkap anggota, Wakil Ketua merangkap anggota, Sekretaris merangkap anggota serta 6 (enam) orang anggota yang menangani wilayah kerja daerah.
ADVERTISEMENT
Keberadaan badan/atau lembaga ini juga pernah disebutkan oleh pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Lebak (petahana) pada saat debat kandidat/atau penyampaian visi-misi di salah satu siaran langsung di media massa, yakni televisi. Secara ekpslisit, ada sebuah kebanggaan, dan ungkapan ini juga mencerminkan bahwa badan/atau lembaga KTP ini ialah sebagai sebuah simbol dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih. Selain itu, keberadaan badan/atau lembaga ini juga menjadi diskursus khalayak publik. Namun, secara praksis, keberadaan badan/atau lembaga ini juga mendapatkan sorotan dari sejumlah kalangan. Pasalnya, keberadaan badan/atau lembaga ini juga secara kinerja belum optimal. Sehingga, banyak bermunculan kritik yang ditujukkan terhadap badan/atau lembaga KTP.
Kritik-kritik yang muncul itu mempersoalkan kinerja yang belum optimal. Karena, masyarakat/atau partisipan informasi juga tampak masih sukar memperoleh informasi di setiap instansi pemerintahan antarorganisasi perangkat daerah (OPD), minimnya pendidikan dan sosialisasi akan wewenang badan/atau lembaga ini, metode pengukuran seperti apa yang dilakukan oleh badan/atau lembaga KTP dalam menilai dan mengevaluasi, serta merekomendasikan sejumlah masukkan terhadap instansi-instansi. Harusnya, ada upaya penilaian dan evaluasi terhadap organisasi perangkat daerah ini, agar dalam menjalankan roda pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih dapat tercapai. Di sisi yang lain, KTP juga perlu melakukan penelitian terhadap indeks kepuasaan masyarakat dalam menilai kinerja instansi-instansi.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, masyarakat juga secara faktual perlu diikutsertakan dalam mengevaluasi sejumlah program yang telah dilakukan oleh organisasi perangkat daerah. Jangan sampai masyarakat hanya dijadikan objek semata dalam pembangunan. Padahal, sudah sangat terang sekali bahwa dalam membangun perlu partisipasi antarkomponen: baik itu pemerintah, akademisi, pengusaha, media, dan masyarakat sipil (civil society). Artinya, masyarakat juga perlu dijadikan subjek dalam membangun dan mewujudkan cita-cita negara-bangsa (nation-state). Ditambah, perlu juga melakukan kerja sama dengan para akademisi. Sebab, dalam Pasal 29 d, menyatakan bahwa KTP memiliki wewenang dalam mengadakan penyusunan kebijakan di bidangnya.
Lebih lanjut, dalam Pasal 29 tersebut, terdapat enam wewenang KTP sebagai salah satu badan/atau lembaga yang sudah didirikan sejak lama ini, yaitu: (a) meminta informasi dari pejabat Badan Publik yang bertanggung jawab atas penyediaan dan pelayanan informasi dengan atau tanpa pemberitahuan terlebih dahulu; (b) meminta dokumen atau bahan-bahan lain yang dimiliki oleh Badan Publik terkait dengan kewajiban berdasarkan Peraturan Daerah ini; (c) mengundang dan menghadirkan berbagai pihak terkait, baik dalam konsultasi maupun pertemuan lain yang diselenggarakan berkenaan dengan penerapan Peraturan Daerah ini; (d) mengadakan penyusunan kebijakan di bidangnya; (e) bertindak sebagai mediator atas sengketa informasi publik nonlitigasi; dan (f) membentuk PIW pada tiap kecamatan di Daerah.
ADVERTISEMENT
Dalam nomenklatur di atas juga terlihat perlu dibentuknya Pusat Informasi Warga (PIW) di setiap kecamatan. Masih dalam Peraturan Daerah ini juga dijelaskan bahwa Pusat Informasi Warga yang selanjutnya disingkat PIW adalah lembaga kemasyarakatan pada tingkat kecamatan yang bersifat mandiri dan mendukung terselenggaranya kaidah transparansi dan partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan pembangunan. Namun, dalam perjalananya, PIW juga yang berada di tingkat kecamatan masih dipertanyakan keberadaan, termasuk kinerjanya.
Di satu pihak, badan/atau lembaga KTP ini juga mengalami kekosongan komisioner/atau anggota. Karena, sudah habis masa kepengurusannya. Berdasarkan Pasal 42B, menyatakan bahwa dalam hal anggota Komisi Transparansi dan Partisipasi periode berjalan telah habis masa jabatannya tetapi belum dilantik anggota Komisi Transparansi dan Partisipasi yang baru, maka Bupati dapat memperpanjang masa jabatan anggota Komisi Transparansi dan Partisipasi periode berjalan paling lama 6 (enam) bulan. Artinya, apabila kepengurusan struktur badan/atau lembaga KTP ini berakhir, maka bisa diperpanjang apabila belum dilantiknya anggota Komisi Transparansi dan Partisipasi yang baru. Dengan catatan, selama 6 (enam) bulan.
ADVERTISEMENT
Padahal, sudah cukup lama telah terjadi kekosongan kepengurusan dalam badan/atau lembaga KTP ini. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda akan dibentuknya sejumlah panitia seleksi yang dilakukan oleh Bupati, sebagaimana yang terteta dalam Pasal 26. Bahkan, penulis melihat secara kasat mata beberapa hari yang lalu, di kantor KTP Lebak ada aktivitas renovasi atau membersihkan kantor tersebut. Akan tetapi, tampaknya, bukan dalam rangka mengaktifkan kembali badan/atau lembaga yang concern terhadap Transparansi dan Partisipasi ini. Pastinya, Pemkab Lebak akan memerhatikan, mengkaji, mendalami secara komprehensif sesuatu yang berasal dari seluruh komponen; baik itu secara perspektif yuridis, sosial, politik, dan lain sebagainya.
Tentunya, sejumlah kalangan menilai keberadaan KTP dari dua sisi mata uang. Ada yang menilai keberadaannya secara positif dan ada pula yang menilai keberadaanya secara negatif. Selain itu, muncul juga wacana pembubaran badan/atau lembaga ini yang dinilai kurang optimal dalam melakukan wewenang atau tugas, pokok, dan fungsinya. Bahkan, menjadi abstrak. Karena, adanya Komisi Informasi sesuai regulasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Alih-alih hendak menciptakan kualitas pelayanan prima dalam melaksanakan roda pemerintahan, terutama dalam Transparansi dan Partisipasi, justru malah menjadi dilema. Karena, adanya sebuah regulasi yang secara hierarki lebih tinggi, yaitu Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
Salah satu pertanyaan yang hilir-mudik di sejumlah kalangan yaitu kenapa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak belum melakukan pembentukan panitia seleksi badan/atau lembaga KTP?
Hadirnya Komisi Informasi
Dengan demikian, hadirnya Komisi Informasi yang sesuai dalam nomenklatur Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, secara perlahan juga tampak mengikis wewenang dari badan/atau lembaga KTP yang keberadaanya sudah cukup lama. Dengan kata lain, menghilangkan wewenangnya. Karena, pada dasarnya, memang rasional, hal ini bisa dilihat secara hierarki peraturan perundang-undangan, Undang-Undang memang berada di atas Peraturan Daerah (Perda). Jadi, Undang-Undanglah yang dapat dijadikan rujukan sebagai landasan hukum yang tertinggi apabila dibandingkan dengan Peraturan Daerah (Perda) dalam mengoptimalkan seluruh kebijakan dan program pemerintah, terutama yang berkelindan terhadap upaya memberikan pelayanan prima, yakni memegang utuh asas transparansi dan partisipasi.
ADVERTISEMENT
Meminjam perspektif peraturan perundang-undangan, yang menyebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 1 poin 4, menjelaskan bahwa Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaanya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonligitasi.
Dan, apabila menilik dari aspek wewenang pada dasarnya memang tidak jauh berbeda. Namun, dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 27 (1) e, terdapat kode etik, yang secara gamblang bisa membuat kode etik yang diumumkan kepada publik sehingga masyarakat dapat menilai kinerja Komisi Informasi. Lebih lanjut, dalam hal-ikhwal pertanggungjawaban, KI kabupaten/kota bertanggung jawab kepada bupati/walikota dan menyampaikan laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. (baca: Pasal 28 (3)). Di sisi yang lain, laporan lengkap Komisi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) bersifat terbuka untuk umum. (baca: Pasal 28 (4)).
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, akses informasi yang melaporkan hasil laporan lengkap KI bisa diakses atau diperoleh oleh masyarakat. Sebab, sudah tertuang secara ekslusif bahwa laporan itu bersifat terbuka untuk umum. Selanjutnya, anggota KI kabupaten/kota berjumlah 5 (lima) orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat. Salah satu faktor/atau rasionalisasi yang dapat diterima pemerintah belum melanjutkan pembentukan panitia seleksi KTP karena Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak juga mengacu kepada peraturan tertinggi dalam menjalankan roda pemerintahannya, yaitu Undang-Undang. Semestinya, dalam hal ini, diperlukan upaya-upaya tegas dari pemerintah, antara melanjutkan pembentukan pansel untuk KTP atau mencabut Peraturan Daerah (Perda) tersebut. Karena, kalau tidak diambil keputusan secara cepat dan tepat, sudah barang tentu, akan bermuara terhadap keefektifan dan keefesienan dalam mengaktualisasikan transformasi pelayanan di birokrasi.
ADVERTISEMENT
Terakhir, di satu pihak, komisioner KTP sebanyak 9 orang apabila mengacu pada Peraturan Daerahnya. Namun, di pihak yang lain, dalam KI hanya ada 5 orang. Selisihnya, hanya 4 orang komisioner atau sebutan serupa lainnya. Dan, tentunya, hal ini juga akan berimplikasi terhadap kekuatan keuangan daerah.
Foto: Imron Wasi, Peneliti di Banten Institute for Governance Studies (BIGS) sekaligus penulis buku, "Politik, Partai Politik, dan Perempuan: Frontstage and Backstage, Sebuah Catatan (segera terbit)