Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Relasi Eksekutif dan Legislatif di Aras Politik Lokal
10 September 2020 16:54 WIB
Tulisan dari Imron Wasi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Imron Wasi
BEBERAPA hari yang lalu, Senin, 7 September 2020, Kepala Daerah Kabupaten Lebak, dalam hal ini, Ibu Hj. Iti Octavia Jayabaya tampak emosi saat rapat paripurna. Berdasarkan catatan Kompas.com, Rabu, 9 September 2020, awal mula atau kronologis mengenai peristiwa marahnya Ibu Bupati itu dikarenakan ada salah satu anggota DPRD Kabupaten Lebak, Musa Weliansyah, yang berasal dari fraksi PPP melakukan interupsi dan menyatakan beberapa hal. Pertama, berdasarkan perspektif penulis yaitu pelayanan yang kurang diperhatikan oleh eksekutif terhadap legislatif. kedua, kader partai berlambang ka’bah itu pula menyoroti Program Lebak Sejahtera, terutama tentang adanya dugaan penggelapan dana disabilitas 2017-2019.
ADVERTISEMENT
Di berbagai layar kaca, masyarakat dapat memerhatikan peristiwa ini sebagai sesuatu yang tampak baru dalam kancah perpolitikan di aras lokal. Sebab, tidak biasanya anggota DPRD mendapatkan sorotan langsung dari eksekutif, terutama di Lebak, Banten. Dalam dasawarsa terakhir, perkembangan politik di aras lokal memang kurang menggairahkan bagi khalayak publik. Karena, secara umum, terlihat begitu monoton. Hal ini dapat dilihat karena check and balances yang kurang berjalan optimal atau bahkan hampir tidak ada dalam menjalankan roda pemerintahan. Padahal, dalam sistem politik di Indonesia, kekuasaan yang sudah diklusterkan menjadi beberapa badan/atau lembaga ini perlu check and balances yang optimal dan sistemik dilakukan. Namun, secara praksis riil masih belum berjalan dengan baik. Di satu sisi, para elite politik sering menyampaikan akan esensialnya konsolidasi demokrasi di tengah peradaban yang kompleks dan majemuk. Di sisi yang lain, sumber daya manusia tampak juga menjadi problematika dalam memajukkan suatu negara, termasuk daerah.
ADVERTISEMENT
Dalam literatur public administration dan public policy, sumber daya manusia merupakan hal yang paling krusial dalam pembangunan. Dengan kata lain, sumber daya manusia para elite lokal, dalam hal ini, para politisi juga perlu mempunyai kompetensi, kapasitas, dan kapabilitas yang baik. Sebab, dalam perspektif politik, kemampuan menjadi hal yang paling substantif. Dalam bahasa lain, institusi dan/atau birokrasi perlu memerhatikan asas meritokrasi sebagai perwujudan dari terbukanya era globalisasi.
Tulisan ini akan mencoba mengurai relasi antara eksekutif dan legislatif di aras lokal, dalam hal ini, penulis mengambil studi kasus di Kabupaten Lebak. Dan, akan mencoba menelaah pelbagai aspek yang berkelindan terhadap struktur kekuasaan.
Kompleksnya Otoritas Kontrol DPRD
Setelah reformasi politik bergulir, terdapat sejumlah transformasi yang secara signifikan telah dirasakan oleh khalayak publik. Namun, transformasi yang telah terjadi tidak secara langsung mengubah seluruh paradigma dan pembangunan. Pasalnya, hal ini masih berjalan tertatih-tatih. Pada saat yang bersamaan, berlangsungnya otonomi daerah juga membuka dan menciptakan para local strongmen di aras politik lokal. Terlebih, memunculkan para oligarki baru. Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Winters (2011:8), bahwa oligark adalah pelaku yang menguasasi dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya. Di samping itu, bagi para peneliti politik pertama, “unsur kekayaan biasa diakui sebagai syarat penting oligarki”. Dalam studi Winters (2011) juga mengemukakan ada tipologi empat jenis oligarki yang dominan sepanjang sejarah, yakni: oligarki panglima; oligarki penguasa kolektif; oligarki sultanistik; dan oligarki sipil.
ADVERTISEMENT
Kemudian, setelah berlangsungnya kontestasi politik yang diperhelatkan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sekaligus berkembangnya otonomi daerah pada saat yang bersamaan telah menciptakan dinamika politik yang lebih kompleks. Secara umum, seperti diketahui bahwa konstitusi hasil amandemen tidak hanya memperkuat kelembagaan sistem presidensial. Akan tetapi, mengubah pola relasi struktur kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, termasuk merubah pola klasik dan klise pada dasawarsa yang lalu, yaitu eksekutif tidak terlalu dominan dalam mengaktualisasi sejumlah wewenangnya, tidak seperti pada dekade yang lalu atau dalam sehari-hari kita menyebutnya sebagai executive heavy. Selain itu, reformasi politik telah juga menciptakan kekuatan yang besar terhadap otoritas legislatif. Pada saat yang sama, dalam literatur politik dikatakan sebagai legislative heavy. Sebagai contoh, mengikuti Syamsuddin Haris (2014:167) yang mengemukakan bahwa dalam konteks fungsi legislasi, jika sebelumnya locus fungsi pembentukan undang-undang di tangan Presiden atas persetujuan bersama dengan DPR, maka dalam konstitusi hasil amandemen locus itu beralih ke DPR meskipun tetap harus melalui persetujuan Presiden. Begitu pun berlaku di aras pemerintahan lokal.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, DPRD juga memiliki hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat sebagai perwujudan dalam mengontrol dan mengawasi jalannya roda pemerintahan. Dan, mempunyai sejumlah wewenang, menilik peraturan perundang-undangan yang ada; salah satu dari wewenang dan tugas itu yakni, “dapat mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian.
Hal ini menumbuhkan dan menciptakan check and balances antara struktur kekuasaan yang telah dibagi ke dalam trias politica. Trias politica yang digunakan di Indonesia, seperti apa yang telah dikemukakan oleh Montesquieu, yaitu: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan demikian, terciptanya pembagian kekuasaan itu semestinya dapat berjalan secara bersamaan dalam mengejawantahkan sejumlah program dan/atau kegiatan yang relevan sesuai problematika kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Sebagai lembaga eksekutif dan legislatif yang dipilih secara langsung oleh masyarakat secara demokratis, tentunya, harapan khalayak publik begitu amat besar kepada lembaga negara yang disebutkan di muka. Namun, dalam diskursus khalayak publik, secara gamblang ada yang meragukan komitmen atas kinerja para politisi yang masuk ke dalam struktur lembaga negara; aneka persoalan yang hari ini belum selesai juga di aras lokal, masih perlu mendapatkan sejumlah evaluasi. Agar public policy benar-benar dapat terwujud dengan optimal. Meskipun, dalam studi public policy, sebagaimana yang telah diungkap oleh Nugroho (2004:54-55), bahwa kebijakan publik adalah hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan.
Selain itu, seperti yang telah diulas oleh para scholar bahwa lembaga negara memiliki fungsi untuk menentukan formulasi kebijakan (legislasi), kemudian pembahasan anggaran, dan pengawasan. Kembali ke awal, secara konstitusi, apa yang telah dilakukan oleh anggota DPRD Kabupaten Lebak, Musa Weliansyah, dalam rapat paripurna adalah perwujudan haknya dalam menyampaikan pendapat. Secara iklim politik di aras lokal, ini adalah langkah yang cukup baik untuk menghidupkan dinamika perpolitikan lokal. Namun, di sisi yang lain, penulis rasa semestinya ada agenda krusial yang dapat dijadikan sebagai alat diskursus pada saat rapat paripurna. Dengan kata lain, lebih mengutamakan kepentingan masyarakat secara umum, terlebih dalam situasi wabah pandemi yang belum mereda, justru wabah ini malah mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
ADVERTISEMENT
Lembaga perwakilan semestinya sebagai watchdog terhadap sejumlah aktivitas roda pemerintahan dan mengawasi kebijakan yang telah dilakukan haruslah mengutamakan kepentingan khalayak publik. Meksipun, tidak menutup kemungkinan, banyaknya sejumlah kepentingan-kepentingan lainnya. Oleh karena itu, pada dasarnya, yang lebih inheren dalam mengelola daerah yaitu memerhatikan pelaksanaan dari kebijakan yang bermuara terhadap sejumlah program dan kegiatan daripada membuat keriuhan yang tidak memiliki implikasi bagi masyarakat secara umum. Padahal, melihat studi kasus pada saat rapat di parlemen beberapa hari yang lalu bisa dengan perkara komunikasi yang baik juga bisa dengan bermusyawarah apabila tidak menemui titik-terang.
Dalam perspekif Islam, musyawarah itu diwajibkan. Dalam studi Kuntowijoyo (2018) dikemukakan bahwa musyawarah disebut secara bersamaan dengan shalat. Dengan demikian, secara eksplisit hal ini menggambarkan bahwa musyawarah begitu krusial. Dalam salah satu firman Allah Swt., yakni dalam Surah Ali ‘Imran (3): 159, yang menyatakan bahwa:
ADVERTISEMENT
“Maka disebabkan karena rahmat Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (peperangan) itu." Selain itu, firman Allah Swt., tentang musyawarah juga dapat dibaca pada Surah Asy-Syura (42): 38.
Peta Politik di Tingkat Lokal
Hasil proses elektoral 2019 yang lalu menunjukkan bahwa yang memenangkan konstelasi politik lokal dalam institusi parlemen yakni Partai Gerindra. Partai Gerindra merepresentasikan sejumlah kadernya sebanyak 9 orang. Kemudian, diikuti oleh Partai PDI-P dan Demokrat, yang masing-masing mewakili kadernya sebanyak 7 orang. Disusul PKB dan Golkar sebanyak sebanyak 6 orang. Partai NasDem dan PKS masing-masing 5 orang. Selanjutnya, PPP memperoleh kursi 4 orang. Dan, 1 orang lagi berasal dari Partai Perindo.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadi pendulum awal dalam mencermati persoalan yang beberapa hari yang lalu membuat heboh khalayak publik. Semula, pada Pilkada Serentak 2018 yang lalu, pasangan Iti-Ade diusung oleh sejumlah partai politik. Seperti, Partai Demokrat, PDI-P, Golkar, PKB, PPP, PKS, Gerindra, Hanura, NasDem, PAN, dan PBB. Dengan kata lain, pasangan Iti-Ade ‘memborong’ sejumlah partai politik yang ada. Dalam bahasa lain, mendapatkan ‘rekomendasi’ dari DPP parpol masing-masing. Akibatnya, perjalanan pada Pilkada 2018 silam tidak begitu terjal atau dapat dikatakan berjalan dengan mulus.
Kemudian, pemilihan legislatif yang dilakukan 2019 juga tampak memengaruhi koalisi pemerintahan. Namun, tampak masih begitu kuat dan kokoh dengan jumlah dukungan mayoritas. Dalam sistem politik di Indonesia, memang bersatunya parpol dalam mengusung pasangan calon pada proses elektoral, tidak berbanding lurus dengan ketika masuk dalam koalisi pemerintahan. Tentunya, hal ini merupakan problematika dalam sistem presidensial yang sekaligus melaksanakan sistem multi-partai. Mengikuti Scott Mainwaring (1993), dalam Wasi (2020: 95) yang menggambarkan bahwa terdapat tiga alasan mengapa kombinasi institusional semacam itu bermasalah. Pertama, sistem presidensial berbasis multipartai cenderung menghasilkan kelumpuhan akibat kebuntuan eksekutif-legislatif, dan kebuntuan itu berujung pada instabilitas demokrasi. Kedua, sistem multipartai menghasilkan polarisasi ideologis ketimbang sistem dua-partai, sehingga seringkali menimbulkan problem komplikasi ketika dipadukan dengan presidensialisme. Terakhir, kombinasi presidensial dan multipartai berkomplikasi pada kesulitan membangun koalisi antarpartai dalam demokrasi presidensial, sehingga berimplikasi pada rusaknya stabilitas demokrasi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, dalam sistem presidensialisme di satu sisi, dan sistem multi-partai di sisi yang lain, yang secara bersamaan diterapkan dalam praktiknya itu tidak akan menjamin kesetiaan dalam koalisi. Ditambah, biasanya the winner takes all. Selain itu, apabila melihat relasi antara eksekutif dan legislatif di dalam ruang lingkup pemerintahan Kabupaten Lebak juga berbeda; eksekutif berasal dari Partai Demokrat dan PDIP. Di lain pihak, parlemen berasal dari Partai Gerindra. Namun, sampai tulisan ini dicatat, sementara pengambilan keputusan di DPRD Lebak berasal dari Partai Demokrat, sebagai Wakil Ketua I untuk mengisi kekosongan pimpinan. Hal ini menggambarkan secara jelas bahwa tampaknya akan semakin baik hubungan antara eksekutif dan legislatif. Artinya, dapat harmonis, meskipun mendapatkan kritik dari politisi parpol lain.
ADVERTISEMENT