Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Riset Lokomotif Pembangunan Negara
7 Agustus 2021 12:05 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Imron Wasi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia akan menghadapi sebuah peradaban baru, terutama sejak akan menghadapi usianya yang mencapai 1 (satu) abad, tepatnya pada tahun 2045, yang secara harfiah disebut-sebut sebagai generasi emasnya Indonesia. Dalam bahasa yang lebih modern, pada 2045 mendatang, Indonesia akan sampai pada puncak kemajuan yang secara holistik dapat meningkatkan kesejahteraan warga negara. Oleh karena itu, pemerintah sedang bergulat menyusun skema dan konsep yang apik dalam rangka mencapai asa di atas.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, dalam perjalanan tersebut tentu banyak sekali beragam tantangan dan/atau hambatan yang harus dilalui untuk mewujudkannya. Salah satu tantangan yang sudah terjadi, salah satunya adalah yang sedang menerpa negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, yaitu, adanya wabah yang sangat mematikan seperti Covid-19. Wabah pandemi Covid-19 ini telah meluluhlantakkan struktur sosial kemasyarakatan di Indonesia, dan secara eksklusif juga berkelindan terhadap sektor-sektor lainnya. Hal ini membuat dan menggoyahkan pula ekonomi di Tanah Air.
Bahkan, hal ini diafirmasi oleh Badan Pusat Statistik dalam laporannya pada bulan Mei yang lalu, sebagaimana yang sudah tercatat dalam laporan tersebut, yakni angka pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I 2021 adalah -0,74%. Secara faktual menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia belum merangkak atau beranjak ke tingkat yang lebih positif sejak 3-4 kuartal sebelumnya. Dalam bahasa lain, masih berada dalam posisi juram, meminjam istilah modern yakni masih belum bisa keluar dari resesi.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, secara realitas pada kuartal sebelum-sebelumnya, tampak juga memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional berada dalam minus, seperti, pada kuartal II 2020 yang minus 5,32%, kemudian diikuti pada kuartal III 2020 minus 3,49%. Kontraksi pada pertumbuhan ekonomi nasional ini juga terjadi pada kuartal IV 2020 yaitu pertumbuhan ekonomi pada saat yang sama minus 2,19%. Akan tetapi, sejak data mutakhir yang telah disampaikan oleh Badan Pusat Statistik mengumumkan bahwa ekonomi Indonesia pada kuartal II sebesar 7,07 persen secara year on year.
Hal ini mengkonfirmasi bahwa telah terjadi transformasi yang signifikan, karena merangkak dan mengarah ke arah yang lebih baik. Meski demikian, di satu pihak, hal ini merupakan kabar baik. Namun, di sisi yang lain, peningkatan ini juga harus diiringi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, terutama di tengah melandanya Covid-19. Artinya, sudah keluar dari aspek resesi yang masih koheren pada beberapa kuartal sebelumnya. Sementara itu, dengan indeks peningkatan ekonomi nasional ini juga pada saat yang sama semestinya dapat menjaga mobilitas ekonomi di aras lokal (grassroots) di tengah kebijakan PPKM Level yang sudah diterapkan di berbagai daerah di Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Tantangan
Dalam konteks tersebut, hal ini terjadi akibat dahsyatnya wabah yang sangat mematikan ini, dan tentunya berdampak pada sebagaian besar sektor ekonomi. Padahal dalam salah satu jurnal yang bertajuk, “Kajian Kebijakan dan Arah Riset Pasca-Covid-19,” yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia yang sudah mencapai jalur menuju status negara berpendapatan menengah-tinggi terancam runtuh dan harus dimulai lagi (restart) seperti kondisi 10-20 tahun lalu. (Sumner, Hoy and Ortiz-Juarez, 2020; Suryahadi, Al Izzati and Suryadarma, 2020).
Dengan kata lain, seperti sudut pandang atas teori yang sudah dikemukakan di atas, tampaknya sebagai klien (warga negara) kita harus dapat merekonstruksi kembali khazanah keilmuan kita, termasuk dalam meningkatkan pendapatan agar perekonomian Indonesia juga pada saat yang bersamaan kembali ke tren yang lebih positif. Sebagai warga negara, kita harus mampu melakukan transformasi besar, meskipun di satu sisi kita sedang menghadapi Covid-19 dan varian barunya.
ADVERTISEMENT
Di sisi yang lain, agar kita cepat memulihkan kembali berbagai sektor, seharusnya kita mampu mengatasi ini semua dengan penanganan yang bersifat satu komando dan gotong royong. Satu komando di sini dapat dimaknai sebagai keterlibatan kepala negara dan kepala pemerintahan dalam memberikan instruksi kepada K/L dan badan-badan pemerintah lainnya beserta stakeholders yang koheren dalam permasalahan yang kompleks ini yang tentunya akan bermuara pada terciptanya komunikasi dan koordinasi yang efektif, termasuk pula sedari awal semestinya pemerintah mempunyai berbagai indikator yang sangat ilmiah dalam decision making.
Indikator yang sarat dengan nilai-nilai yang lebih substansial, yaitu menjadikan metode riset ilmiah sebagai salah satu instrumen dalam memformulasikan dan mengaplikasikan kebijakan yang akan diterapkan, agar pelaksanaan secara praksis riil mampu menjawab permasalahan yang ada.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, setelah berlalu-lalangnya Covid-19 selama kurun waktu 1 tahun lebih ini, terlihat kebijakan yang diaplikasikan belum terlalu mengutamakan kebijakan yang berbasis riset. Padahal, pemerintah memiliki agenda dalam pembentukan kelembagaan riset dan inovasi. Hal ini selaras dengan prinsip mewiraswastakan birokrasi pemerintah, yakni pemerintah harus berorientasi pada misi dan hasil.
Riset dan Inovasi
Sebagai warga negara yang melihat debat kandidat capres dan cawapres pada Pemilu 2019, di antara berbagai tahapan debat, salah satu yang menarik yaitu ketika debat kandidat yang ketiga. Di sana, KH. Ma’ruf Amin menegaskan akan mengoptimalkan riset-riset dan akan berkoordinasi mengenai riset melalui rencana induk riset nasional. Pada saat yang sama, pemerintah telah mewujudkannya, termasuk memisahkan antara Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Kementerian Riset dan Teknologi.
ADVERTISEMENT
Pada mulanya, wacana pemisahan ini menuai kontroversi karena terdapat interpretasi yang berbeda mengenai pemisahan Badan Riset ini dari Kementerian. Terlepas dari itu semua, secara gamblang menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi mengemukakan bahwa penyelenggaraaan ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu untuk menjalankan pendidikan, penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi serta yang lainnya.
Dengan demikian, diharapkan BRIN mampu menjawab segala persoalan yang ada di Indonesia di tengah kemelut kontroversi yang terjadi. Karena, pada dasarnya hal ini merupakan suatu kerangka yang ekstensif, tinggal pelaksanaannya. Sebab, secara yuridis hal ini sudah tertuang. Meskipun, biasanya, dalam penerapannya sering mengalami kesukaran. Meminjam perspektif dari Wilson, salah satu mantan Presiden AS yang pernah menyatakan bahwa melaksanakan konstitusi itu lebih sulit ketimbang membuatnya.
ADVERTISEMENT
Spektrum BRIN juga semestinya dapat dikembangkan di daerah, misalnya, dengan menciptakan serta lebih mengoptimalkan Dewan Riset Daerah (DRD). Sebab, di tengah berlangsungnya desentralisasi, daerah juga harus memiliki kemandirian dalam mengembangkan daerahnya, terutama dalam perumusan produk politik yang berbasis riset ilmiah, terutama dalam penanganan Covid-19 ini.
Dengan demikian, orientasi pemerintah pada misi dan hasil mampu diterapkan sampai ke aras lokal. Kelembagaan riset sudah barang tentu akan memberikan sejumlah rekomendasi, masukkan, dan saran dalam hal ihwal untuk pembangunan nasional. Selain itu, gotong royong juga perlu melibatkan komponen-komponen lainnya, misalnya, akademisi, perguruan tinggi, media, dan lain sebagainya, agar kebijakan yang dibuat sesuai dengan kondisi faktual yang ada.
Terakhir, dalam menghadapi pelbagai arus utama tantangan peradaban mutakhir, pemerintah sedari awal harus segera memformulasikan role model yang akan menjadi kerangka acuan kerja yang secara spesifik yang mengarah kepada pembaruan-pembaruan yang bersifat komprehensif.
ADVERTISEMENT