Konten dari Pengguna

Hari Buruh Internasional: Saatnya Buruh Bersatu, Bersuara dan Berkuasa

Ilham Muhar Danny
Baru saja meraih gelar sarjana dari program studi Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Pasundan.
1 Mei 2025 14:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Muhar Danny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi demo buruh. Di-generate oleh penulis dengan menggunakan aplikasi Canva.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi demo buruh. Di-generate oleh penulis dengan menggunakan aplikasi Canva.
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 1 Mei, jalanan Indonesia dipenuhi oleh suara, spanduk dan langkah kaki buruh dari berbagai sektor. Hari Buruh Internasional bukan sekadar momentum memperingati sejarah perjuangan kelas pekerja, tapi juga pengingat bahwa buruh adalah kekuatan sosial dan politik yang sangat besar, meski seringkali tak disadari, bahkan oleh buruh itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Menurut data Badan Pusat Statistik terbaru (Agustus 2024), jumlah buruh/karyawan/pegawai di Indonesia mencapai 58.050.000 orang, atau sekitar 20,6% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 281.603.800 jiwa pada pertengahan tahun 2024 (Badan Pusat Statistik, 2024). Dalam sistem politik demokratis, angka ini menjadikan buruh sebagai potensi kekuatan elektoral yang luar biasa besar. Jika satu dari lima orang bekerja adalah buruh, maka merekalah lumbung suara yang seharusnya menentukan arah kebijakan nasional.
Namun kenyataannya, suara buruh kerap terserak dan tercerai. Dalam dunia politik, buruh di Indonesia belum mampu menjadi penentu arah kebijakan secara konsisten. Tidak seperti di negara-negara seperti Brasil, di mana partai berbasis buruh berhasil melahirkan kepala pemerintahan seperti Luiz Inácio "Lula" da Silva, buruh Indonesia masih terjebak dalam fragmentasi dan lemahnya solidaritas internal.
ADVERTISEMENT
Dari Buruh ke Puncak Kekuasaan: Kisah Lula da Silva
Lula da Silva mungkin adalah contoh paling ikonik dari transformasi buruh menjadi pemimpin negara. Lahir dalam kemiskinan dan hanya berpendidikan hingga tingkat dasar, Lula memulai kariernya sebagai tukang poles sepatu, lalu menjadi buruh metal di kawasan industri São Paulo. Dari sinilah ia aktif di serikat pekerja dan mendirikan Partai Pekerja (Partido dos Trabalhadores). Setelah perjuangan panjang, ia terpilih sebagai Presiden Brasil pada tahun 2003.
Kepemimpinannya dikenal lewat program Bolsa Família, bantuan tunai bersyarat yang menurunkan angka kemiskinan dari lebih dari 34% menjadi di bawah 23% dan mendorong sekitar 29 juta warga masuk ke kelas menengah (Boucher et al., 2013). Namun tak hanya itu, Lula juga memperlihatkan bahwa pemimpin dengan akar buruh bisa menjadi pionir dalam isu lingkungan global.
ADVERTISEMENT
Pada masa pemerintahannya, Lula meluncurkan Plan for the Prevention and Combating of Deforestation in the Amazon (PPCDAM) dan meresmikan Amazon Fund (Boucher et al., 2013). Hasilnya, tingkat deforestasi di hutan Amazon menurun hampir 75% dibandingkan rata-rata tahunan 1996–2005, bahkan mencapai rekor terendah sepanjang sejarah Brasil pada 2012 (Jackson, 2015). Ini adalah capaian luar biasa mengingat hutan Amazon adalah paru-paru dunia yang sangat vital dalam mengatasi krisis iklim global.
Potensi Buruh Indonesia: Ada, tetapi Masih Tertidur
Indonesia sebagai negara demokrasi mestinya memberi ruang yang besar bagi suara buruh. Namun sejauh ini, potensi itu masih belum termobilisasi secara efektif. Kendala utama adalah fragmentasi internal antar serikat buruh, dikotomi "buruh kerah putih" vs "buruh kerah biru," serta lemahnya konsolidasi di tingkat nasional. Di sisi lain, data BPS per 2024 menunjukkan bahwa 59,17% pekerja Indonesia berada di sektor informal memperparah situasi: suara buruh teredam oleh kerentanan struktural, tanpa perlindungan hukum maupun representasi politik yang kuat.
ADVERTISEMENT
Lebih ironis lagi, kesadaran kelas di kalangan pekerja sendiri masih lemah. Sebuah contoh yang sering terjadi: ketika buruh pabrik turun ke jalan untuk menolak regulasi yang dianggap merugikan, seperti UU Cipta Kerja, banyak pekerja kantoran yang justru mengeluh, “Demo buruh bikin macet!” - padahal, mereka sendiri adalah buruh dalam arti sesungguhnya. Padahal, hak mereka sedang diperjuangkan di jalan. Mereka pun terkena dampak kebijakan yang sama, tetapi karena merasa “berkerah putih” dan duduk di AC, mereka lupa bahwa mereka tetap menjual tenaga dan waktu demi upah.
Fragmentasi identitas ini-antara buruh ‘berdasi’ dan buruh ‘berhelm’ - menjadi penghalang utama terbentuknya solidaritas kolektif. Buruh pabrik menuntut upah layak, buruh kantoran diam; buruh informal menjerit tanpa jaminan sosial, buruh formal sibuk di balik layar. Dalam sistem demokrasi yang menghitung suara, keterpecahan seperti ini membuat buruh kehilangan kekuatannya yang sejatinya sangat besar.
ADVERTISEMENT
Alih-alih bersatu dan memperjuangkan kepentingan bersama, buruh Indonesia masih berkutat pada identitas semu yang diciptakan oleh sistem ekonomi dan budaya hierarkis. Akibatnya, meski mereka adalah mayoritas dalam struktur kerja nasional, mereka tetap minoritas dalam arena politik.
Hari Buruh: Refleksi untuk Kekuatan Nyata
Hari Buruh seharusnya bukan sekadar hari libur atau ajang demonstrasi tahunan. Ini adalah waktu yang tepat untuk bertanya: Mengapa buruh Indonesia belum punya Lula sendiri? Mengapa jutaan pekerja belum bisa menggerakkan agenda politik yang berpihak pada mereka?
Hari Buruh seharusnya bukan sekadar hari libur atau ajang demonstrasi tahunan. Ini adalah waktu yang tepat untuk bertanya: Mengapa buruh Indonesia belum punya Lula sendiri? Mengapa jutaan pekerja belum bisa menggerakkan agenda politik yang berpihak pada mereka? Setiap langkah buruh di jalanan, setiap seruan di depan gedung-gedung pemerintahan, harusnya menjadi momentum untuk membangkitkan kesadaran kolektif bahwa buruh bukan sekadar elemen yang terabaikan, melainkan kekuatan besar yang mampu mengubah wajah politik Indonesia. Tanpa konsolidasi, tanpa solidaritas, suara mereka akan terus terpecah, terhapus oleh sistem yang lebih mendengarkan suara para elit. Namun, jika buruh bersatu, melampaui batas-batas sektoral dan identitas semu, maka kekuatan mereka bisa menjadi pilar utama dalam memajukan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat. Hari Buruh adalah panggilan untuk itu-untuk membangkitkan potensi besar yang selama ini terpendam. Dengan bersatu dan terorganisir, buruh tak hanya bisa menuntut hak, tapi juga menjadi aktor politik utama. Karena seperti yang ditunjukkan Lula di Brasil, seorang pemimpin yang memahami penderitaan buruh bisa menjadi pemimpin yang menyelamatkan bangsanya dan bahkan, dunia.
ADVERTISEMENT
Sementara angin sepoi-sepoi Hari Buruh meniupkan harapan dan protes di jalan-jalan, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah suara buruh akan tetap teredam dalam riuhnya hiruk-pikuk dunia yang terus berputar? Atau akankah mereka bangkit, menjulang tinggi, menentang semua hambatan yang mencoba menundukkan mereka? Kekuatan buruh bukanlah secuil wacana yang terabaikan, melainkan sunyi yang menunggu untuk diteriakkan, sebuah lagu perjuangan yang menggetarkan langit-langit istana dan ruang parlemen. Mungkin, hanya dengan membangun persatuan, buruh Indonesia bisa menemukan kekuatan sejati mereka-kekuatan yang akan melahirkan pemimpin yang bukan hanya memerintah, tapi juga membebaskan.
Referensi
Badan Pusat Statistik Nasional. (2024). Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun (Ribu Jiwa), 2022-2024. Diakses dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTk3NSMy/jumlah-penduduk-pertengahan-tahun--ribu-jiwa-.html
Badan Pusat Statistik Nasional. (2024). Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,91 persen dan Rata-rata upah buruh sebesar 3,27 juta rupiah per bulan. Diakses dari https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2024/11/05/2373/keadaan-ketenagakerjaan-.html
ADVERTISEMENT
Boucher, D., Roquemore, S., & Fitzhugh, E. (2013). Brazil’s success in reducing deforestation. Tropical Conservation Science. 6(3). https://doi.org/10.1177/194008291300600308
Jackson, R. (2015). A Credible Commitment: Reducing Deforestation in the Brazilian Amazon, 2003-2012.