Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Nyatanya, Hubungan Internasional Berpengaruh terhadap Keseharian Kita
13 Februari 2025 22:16 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Ilham Muhar Danny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ketika membahas tentang hubungan internasional, maka yang pertama muncul dalam benak sebagian orang adalah bagaimana hubungan internasional merupakan studi yang membahas tentang bagaimana negara-negara di dunia berinteraksi. Tak jarang juga ada yang berpikiran bahwa hubungan internasional hanya dapat dipahami para diplomat, praktisi, akademisi, pejabat pemerintah atau orang-orang yang secara spesifik ingin memahami maupun mempelajarinya. Tak sedikit yang merasa jauh dengan hubungan internasional, baik secara pengetahuan umum maupun secara ilmu studinya. Namun, nyatanya, hubungan internasional berpengaruh terhadap keseharian kita.
ADVERTISEMENT
Barang-barang yang kita gunakan sehari-hari seperti ponsel, pakaian, makanan, maupun kebutuhan primer lainnya sering kali merupakan hasil dari perdagangan internasional. Tak hanya itu, harga barang yang dicantumkan dalam label harga di supermarket bahkan merupakan keputusan yang dibuat di tingkat global — yang memiliki dampak langsung pada kehidupan kita sehari-hari. Artikel ini berusaha untuk memberikan gambaran dan beberapa contoh mengapa hubungan internasional berpengaruh terhadap keseharian kita. Tak hanya itu, masih banyak hal lain dalam lingkup internasional yang tak kita sadari berdampak pada kehidupan sehari-hari kita.
Perdagangan Internasional: Mengatur Apa yang Kita Beli dan Konsumsi
Saat ini, kita menggunakan perangkat elektronik yang diproduksi dari luar Indonesia. Gawai yang kita gunakan saat ini merupakan hasil dari perdagangan internasional. Kita dapat menggunakan produk-produk teknologi karena negara-negara bekerja sama melalui perjanjian dagang yang memungkinkan kita mendapat produk dari seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Dalam studi ilmu hubungan internasional sendiri, perdagangan internasional sering kali dikaitkan dengan paradigma ekonomi politik global. Liberalisme ekonomi, menurut John Locke (1689) dalam Two Treatises of Government merupakan paradigma yang mempercayai bahwa perdamaian dunia dapat diwujudkan melalui kerja sama — baik itu dalam bentuk diplomasi, perdagangan internasional, maupun organisasi internasional. Pendapat Locke pun dikuatkan oleh Keohane & Nye (1977) dalam Power and Interdependence, di mana mereka menyebutkan bahwa perdagangan dan ketergantungan ekonomi antarnegara dapat menginisiasi perdamaian dan stabilitas dikarenakan negara-negara lebih ingin menghindari konflik ketika mereka secara ekonomi saling bergantung. Dengan ini, maka keterkaitan antarnegara meningkat dan risiko terjadinya konflik menurun.
Bentuk dari pandangan ini dibuktikan dengan eksisnya perusahaan multinasional seperti Apple dan Samsung yang memiliki rantai pasokan global — yang juga melibatkan banyak negara, sehingga keterkaitan ekonomi dan stabilitas global menguat. Namun, di sisi lain, ketergantungan ini juga menimbulkan tantangan, seperti ketika terjadi gangguan rantai pasok akibat pandemi COVID-19 yang menyebabkan kelangkaan barang dan kenaikan harga secara global.
ADVERTISEMENT
Pengaruh Politik Global Terhadap Media dan Informasi yang Kita Konsumsi
Selain berpengaruh terhadap ketersediaan barang yang kita gunakan saat ini, hubungan internasional juga mempengaruhi bagaimana kita menerima informasi. Platform media sosial yang kita gunakan saat ini seperti Facebook, Instagram, TikTok, Twitter (X), WhatsApp dan masih banyak lagi adalah produk dari dunia yang kini saling terhubung (interconnected). Ketika terjadi sesuatu yang besar, baik itu konflik atau hal lain dari luar negeri, berita tersebut dapat langsung menyebar ke seluruh dunia dalam hitungan menit.
Tak hanya itu, media juga dapat menjadi instrumen kekuatan lunak (soft power) dalam politik internasional. Negara-negara di dunia, terlebih lagi negara besar, kerap menggunakan media internasional untuk mempengaruhi opini publik secara global. Contoh nyata dari penerapannya adalah persaingan geopolitik antara Amerika Serikat dan Cina yang kini juga meluas ke bagaimana keduanya membentuk narasi global yang mendukung kepentingan politik mereka. Contoh lain adalah bagaimana dunia melihat konflik antara Israel dan Palestina yang tak kunjung usai, di mana opini publik global terhadap konflik ini terpecah.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini dapat dijelaskan dalam konteks komunikasi internasional. Marshall McLuhan (1964) dalam Understanding Media: The Extensions of Man berpendapat bahwa teknologi modern seperti televisi dan internet telah membuat dunia menjadi semakin kecil dan terkoneksi. Oleh karena itu, informasi dapat dengan mudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Ketika kita mengakses berita tentang konflik geopolitik maupun krisis ekonomi global melalui media massa, kita mendapatkan informasi dan juga dapat mengidentifikasi dampak dari peristiwa-peristiwa internasional yang ada terhadap kehidupan kita sehari-hari. Misalnya, krisis ekonomi di Amerika Serikat dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah dan menyebabkan inflasi di Indonesia.
Perubahan Iklim: Dampak Global yang Dirasakan di Kehidupan Sehari-hari
Jika kita menyadari, dampak perubahan iklim semakin nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai contoh, Bandung, yang dikenal sebagai kota yang sejuk, kini berangsur menjadi semakin panas. Tak sedikit orang yang mengeluhkan peningkatan suhu dan kelembapan (humidity) di Bandung serta wilayah lain saat ini. Perubahan iklim global menyebabkan fenomena cuaca ekstrem, seperti meningkatnya suhu, perubahan pola curah hujan, serta frekuensi bencana alam yang lebih tinggi dengan intensitas yang semakin besar. Hal-hal ini kemudian berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan, mulai dari kenyamanan dalam beraktivitas, kesehatan, hingga ekonomi.
ADVERTISEMENT
Meningkatnya gelombang panas di berbagai belahan dunia memaksa masyarakat untuk lebih bergantung pada sistem pendingin ruangan, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap peningkatan konsumsi energi di rumah tangga dan emisi karbon yang lebih tinggi. Tak hanya itu, perubahan cuaca yang tidak terduga, seperti hujan deras mendadak, menyebabkan gangguan terhadap mobilitas, infrastruktur dan sektor pertanian. Dalam skala yang lebih besar, bencana alam yang semakin sering terjadi tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi yang besar tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial serta mengancam ketahanan pangan dan sumber daya air.
Dalam hubungan internasional, masalah perubahan iklim kini telah menjadi salah satu topik utama dalam praktik diplomasi dan negosiasi antarnegara. Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) dan kesepakatan internasional seperti Paris Agreement mencerminkan kesepakatan global untuk menanggulangi krisis iklim dengan menurunkan emisi gas rumah kaca dan membatasi kenaikan suhu global hingga di bawah 1,5°C. Komitmen ini bukan sekadar isu lingkungan, melainkan juga berkaitan erat dengan stabilitas ekonomi, geopolitik dan kesejahteraan sosial di seluruh dunia. Namun, tantangan utama terletak pada implementasi di tingkat nasional, di mana keberhasilan Paris Agreement sangat bergantung pada efektivitas kebijakan domestik yang diterapkan masing-masing negara. Dengan kata lain, diskusi di tingkat internasional tentang perubahan iklim memiliki konsekuensi langsung terhadap kebijakan dalam negeri, seperti upaya efisiensi energi, pengurangan emisi industri, transisi ke energi terbarukan, serta penguatan program mitigasi bencana.
ADVERTISEMENT
Menghadapi tantangan ini, peran individu, komunitas, dan pemerintah menjadi semakin krusial. Kesadaran akan dampak perubahan iklim harus diiringi dengan aksi nyata, baik dalam skala kecil maupun besar. Dari penggunaan energi yang lebih efisien, pengurangan limbah, hingga mendukung kebijakan berkelanjutan, setiap langkah memiliki kontribusi dalam memperlambat laju perubahan iklim. Dengan kolaborasi yang erat antara masyarakat, sektor swasta dan pemerintah, ada harapan bahwa solusi yang lebih inovatif dan inklusif dapat diimplementasikan untuk melindungi lingkungan dan memastikan keberlanjutan hidup bagi generasi mendatang
Krisis Kemanusiaan Global yang Berpengaruh Terhadap Kehidupan Masyarakat Sehari-hari
Di berbagai belahan dunia, krisis kemanusiaan sering kali terjadi dan muncul akibat konflik bersenjata, bencana alam, ketidakstabilan politik, hingga diskriminasi etnis dan agama yang terjadi pada suatu negara. Hal-hal tersebut kemudian memaksa jutaan orang untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan mengungsi ke negara lain. Salah satu contoh nyata adalah konflik Rohingya di Myanmar yang telah menyebabkan ratusan ribu pengungsi melarikan diri ke negara-negara tetangga, dengan hak asasi mereka yang terus terancam dan tanpa kewarganegaraan yang jelas. Dampak krisis kemanusiaan bukan hanya dirasakan oleh para pengungsi yang kehilangan tempat tinggal dan akses terhadap kehidupan yang layak, tetapi juga memengaruhi negara-negara penerima pengungsi. Ketika pengungsi Rohingya mencari tempat berlindung di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia, tantangan dalam menyediakan tempat tinggal, pekerjaan serta akses terhadap layanan publik dapat menimbulkan ketegangan antara komunitas lokal dan pengungsi. Hal ini berpotensi memicu isu xenofobia dan diskriminasi yang dapat mengancam kohesi sosial serta stabilitas politik di negara tujuan.
ADVERTISEMENT
Negara-negara ASEAN bertanggung jawab untuk mengatasi krisis ini, terlebih karena blok regional ini memiliki prinsip non-intervensi yang sering kali menghambat keterlibatan aktif dalam konflik internal suatu negara. Namun, situasi yang dihadapi oleh pengungsi Rohingya telah memicu perdebatan di antara negara-negara Asia Tenggara tentang batasan non-intervensi, serta urgensi untuk mengambil tindakan nyata. Indonesia, Malaysia dan Thailand menjadi negara yang paling terdampak oleh gelombang pengungsi, sehingga diperlukan mekanisme diplomasi yang lebih konkret untuk menangani isu ini secara kolektif. Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan dan perdebatan tentang perlunya ASEAN mengadopsi pendekatan baru dalam menangani krisis pengungsi di kawasan. Thomas G. Weiss (2016) dalam Humanitarian Intervention menekankan bahwa ketika negara gagal melindungi warganya dari pelanggaran HAM, maka komunitas internasional — termasuk ASEAN — memiliki kewajiban moral dan politik untuk bertindak. Intervensi dalam kasus Rohingya bisa berbentuk tekanan diplomatik terhadap Myanmar, pemberian bantuan kemanusiaan yang lebih sistematis, serta penciptaan mekanisme regional untuk menangani pengungsi secara berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Alex de Waal (2015) dalam The Real Politics of the Horn of Africa menjelaskan bahwa krisis kemanusiaan tidak cukup hanya ditangani dengan bantuan darurat, tetapi juga harus disertai dengan upaya negosiasi damai dan penyelesaian konflik di akar permasalahannya. Dalam konteks Rohingya, negara-negara ASEAN tidak bisa hanya bersikap reaktif terhadap krisis, tetapi harus berperan aktif dalam mendorong Myanmar untuk mengakhiri kebijakan diskriminatif terhadap etnis Rohingya. Amartya Sen (2009) dalam The Idea of Justice juga menekankan pentingnya solidaritas global. Dalam hal ini, tindakan ASEAN untuk merespons krisis Rohingya tidak boleh hanya didasarkan pada kalkulasi politik semata, tetapi juga harus mencerminkan nilai kemanusiaan dan keadilan. Berkaca dari krisis ini, negara-negara ASEAN harus merancang strategi jangka panjang yang tidak hanya fokus pada bantuan pengungsi, tetapi juga berupaya mencegah terulangnya krisis serupa di masa depan. Mary Kaldor (1999) dalam New and Old Wars menjelaskan bahwa konflik modern — seperti yang terjadi dalam kasus Rohingya — sering kali melibatkan aktor non-negara, mulai dari milisi bersenjata hingga kelompok ekonomi yang mengambil keuntungan dari ketidakstabilan tersebut. Oleh karena itu, menurut Kaldor, upaya penyelesaian konflik tidak cukup hanya mengandalkan negara, tetapi harus melibatkan berbagai aktor internasional, termasuk organisasi kemanusiaan dan masyarakat sipil.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, kehadiran pengungsi Rohingya telah mendorong perubahan dalam kebijakan sosial, terutama terkait penanganan pengungsi dan alokasi sumber daya. Meskipun Indonesia bukan negara yang menandatangani Konvensi Pengungsi 1951, pemerintah tetap berupaya memberikan perlindungan sementara bagi pengungsi Rohingya dengan dukungan dari organisasi internasional. Namun, kebijakan ini sering kali menghadapi tantangan, terutama dalam hal keterbatasan anggaran serta dinamika sosial di daerah yang menjadi tempat penampungan pengungsi. Masyarakat di daerah tempat pengungsi ditampung mungkin mengalami perubahan dalam layanan publik, yang dapat menimbulkan resistensi terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani krisis ini. Ketika negara menghadapi tantangan dalam menyediakan bantuan bagi pengungsi, prioritas terhadap masalah domestik seperti kemiskinan, pengangguran dan akses pendidikan juga dapat terdampak.
ADVERTISEMENT
Jika krisis ini tidak dikelola dengan baik, maka potensi konflik sosial akan semakin meningkat, yang pada akhirnya dapat memicu ketidakstabilan politik dan ekonomi. Dalam konteks ini, seperti yang dijelaskan oleh Joseph Nye (2004) dalam Soft Power: The Means to Success in World Politics, penanganan krisis kemanusiaan yang berbasis pada prinsip kemanusiaan dan diplomasi dapat menjadi instrumen untuk membangun reputasi positif suatu negara di mata dunia. Sebagai contoh, keterlibatan aktif Indonesia dalam menangani pengungsi Rohingya telah memperkuat citra negara sebagai pemimpin diplomasi kemanusiaan di kawasan.
Sebagai penutup, krisis Rohingya bukan hanya masalah Myanmar, tetapi juga tanggung jawab komunitas internasional — terutama ASEAN — untuk menemukan solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan. Tanggung jawab ini harus dipikul untuk membangun mekanisme perlindungan yang lebih kuat bagi pengungsi, sembari juga menekan Myanmar agar menghentikan tindakan diskriminatif terhadap etnis Rohingya. ASEAN harus mampu menyeimbangkan kepentingan politik dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam menangani krisis ini. Harus ada solusi yang tidak hanya terfokus pada bantuan jangka pendek, tetapi juga menangani akar konflik agar pengungsi Rohingya dapat hidup dengan martabat dan tanpa ketakutan di tanah mereka sendiri. Ini termasuk upaya diplomasi yang lebih tegas, dukungan hukum internasional, serta mekanisme regional yang menjamin hak-hak dasar mereka untuk kembali ke Myanmar dengan aman dan bermartabat.
ADVERTISEMENT
Penutup
Kesimpulannya, hubungan internasional bukanlah sesuatu yang abstrak atau hanya relevan bagi para diplomat dan pemimpin dunia. Setiap aspek keseharian kita — dari barang yang kita beli, teknologi yang kita gunakan, hingga kebijakan lingkungan dan keamanan — semuanya dipengaruhi oleh dinamika global. Oleh karena itu, memahami hubungan internasional bukan sekadar wacana akademik, tetapi sebuah kebutuhan agar kita dapat lebih sadar, kritis dan responsif terhadap dunia yang terus berubah.
Dengan memahami hubungan internasional, kita dapat lebih sadar akan bagaimana dunia saling terhubung dan bagaimana peristiwa global mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Selain itu, kita tidak hanya menjadi penonton dalam arus globalisasi, tetapi juga dapat berperan aktif dalam membentuk masa depan yang lebih adil, stabil dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Referensi
de Waal, A. (2015). The Real Politics of the Horn of Africa. Cambridge: Polity Press
Friedman, G. (2018, Juni 13). Diplomacy as a Work of Art. Geopolitical Futures. Diakses dari https://geopoliticalfutures.com/diplomacy-work-art/
Kaldor, M. (1999). New and Old Wars. Cambridge: Polity Press
Keohane, R. & Nye, J. (1977). Power and Interdependence: World Politics in Transition. Boston, Massachusetts: Little, Brown
Locke, J. (1689). Two Treatises of Government. London: Cambridge
Marshall, M. (1964). Understanding Media: The Extensions of Man. London: McGraw-Hill
Nye, J. (2004). Soft Power: The Means to Success in World Politics. New York: PublicAffairs
Sen, A. (2009). The Idea of Justice. Cambridge: Harvard University Press
United Nations Climate Change. The Paris Agreement. Diakses dari https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement
ADVERTISEMENT
Weiss, T. G. (2016). Humanitarian Intervention. Cambridge: Polity Press