Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Realist Constructivism: Menyatukan Kekuasaan & Norma dalam Politik Internasional
21 April 2025 9:45 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Ilham Muhar Danny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam kajian hubungan internasional, teori realisme dan konstruktivisme sering diposisikan sebagai dua pendekatan besar yang bertolak belakang. Realisme fokus pada kekuasaan dan kepentingan nasional dalam sistem internasional yang anarkis, sementara konstruktivisme lebih menekankan pada peran norma, identitas dan konstruksi sosial. Namun, kenyataannya dunia tidak bekerja secara hitam-putih. Di sinilah relevansi pendekatan Realist Constructivism hadir sebagai jembatan yang menyatukan kedua paradigma tersebut.
ADVERTISEMENT
Realisme: Ketika Kepentingan Nasional dan Kekuasaan Jadi Panglima
Sebagai teori dominan dalam ilmu hubungan internasional, realisme telah menjadi fondasi pemahaman kita tentang dinamika global sejak era Perang Dingin hingga konflik kontemporer. Hans J. Morgenthau (1948) dalam Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace memberikan pandangan bahwa sistem internasional adalah anarkis - tidak ada otoritas tertinggi - dan negara sebagai aktor utama bertindak demi kelangsungan hidupnya.
Konsep national interest atau kepentingan nasional dilihat sebagai inti dari tindakan negara, dan kekuasaan (baik militer, ekonomi, maupun politik) menjadi alat utama untuk mempertahankannya. Morgenthau menyebut bahwa moralitas sering kali harus disisihkan demi memastikan keamanan negara - itulah realisme.
Namun, meskipun realisme telah menjadi sasaran kritik dari paradigma seperti liberalisme dan konstruktivisme, teori ini tetap menjadi “rumah utama” dalam kajian hubungan internasional. Alasannya sederhana: realisme memberikan kerangka kerja paling realistis untuk menjelaskan konflik, kompetisi kekuasaan, dan ketidakseimbangan global yang masih nyata terjadi sampai hari ini - dari invasi militer hingga sengketa wilayah.
ADVERTISEMENT
Konstruktivisme: Kritik terhadap Determinisme Realis
Konstruktivisme hadir sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan-pendekatan realis yang dianggap terlalu deterministik dan mengabaikan aspek sosial dari politik internasional. Bagi konstruktivis seperti Alexander Wendt, dunia internasional bukan sekadar arena kekuasaan, tetapi juga medan interaksi sosial yang sarat dengan norma, identitas, dan makna. Wendt (1992) terkenal dengan ucapannya, “Anarchy is what states make of it” - menandakan bahwa sekalipun sistem internasional bersifat anarkis, tidak semua negara meresponsnya dengan konflik, karena kepentingan itu sendiri merupakan hasil konstruksi sosial.
Selain itu, Friedrich Kratochwil (1991) dalam Rules, norms, and decisions: On the conditions of practical and legal reasoning in international relations and domestic affairs menjelaskan bahwa norma dan bahasa memiliki kekuatan mengatur tindakan negara. Ia menekankan bahwa negara tidak hanya bertindak demi kepentingan, tetapi juga menggunakan bahasa normatif untuk membenarkan tindakan tersebut - misalnya, intervensi yang dibungkus dengan istilah “perlindungan kemanusiaan” atau “stabilitas regional.” Di sisi lain, Theodore Hopf (1998) dalam The Promise of Constructivism in International Relations Theory mengangkat pentingnya identitas kolektif dalam membentuk kebijakan luar negeri. Negara bertindak bukan hanya karena logika kekuasaan, tetapi karena bagaimana mereka memandang diri sendiri dan bagaimana mereka ingin dipandang oleh komunitas internasional. Dalam hal ini, kepentingan negara tidak muncul begitu saja, tetapi dipengaruhi oleh sejarah, budaya dan pengakuan eksternal terhadap identitas tersebut.
ADVERTISEMENT
Realist Constructivism: Ketika Kekuasaan dan Norma Saling Melengkapi
Di sinilah Samuel J. Barkin (2003) menawarkan pendekatan alternatif yang menggabungkan dua dunia: Realist Constructivism. Barkin menyadari bahwa dalam praktik, negara tidak sepenuhnya realis atau konstruktivis. Negara mengejar kekuasaan dan kepentingan nasional, tetapi juga melakukannya dalam kerangka norma dan narasi yang diakui secara internasional.
Realist Constructivism melihat bahwa kepentingan nasional memang penting, tetapi cara negara menyusun, mengartikulasikan dan melegitimasi kepentingan tersebut dipengaruhi oleh struktur sosial dan norma internasional.
Dengan kata lain: kekuasaan tetap penting, tapi bagaimana kekuasaan itu dipraktikkan juga sangat ditentukan oleh konteks normatif dan identitas negara tersebut.
Kasus Filipina vs Tiongkok di Laut Cina Selatan: Implementasi Nyata
Pendekatan ini sangat relevan dalam menjelaskan strategi Filipina dalam menghadapi klaim sepihak Tiongkok di Laut Cina Selatan, sebagaimana saya teliti dalam skripsi saya.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara yang lebih kecil secara militer dan ekonomi, Filipina tidak punya cukup material power untuk menghadapi dominasi Tiongkok secara langsung. Namun, Filipina berhasil menggunakan normative power dengan menggugat Tiongkok melalui Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2013, dan menang dalam putusan tahun 2016. Putusan ini menegaskan bahwa klaim historis Tiongkok melalui nine-dash line tidak memiliki dasar hukum berdasarkan UNCLOS 1982.
Di sinilah Realist Constructivism bekerja. Filipina menggabungkan dua pendekatan:
• Dari sisi realisme, Filipina memperkuat aliansi militernya dengan Amerika Serikat melalui Mutual Defense Treaty (1951) dan Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA 2014) sebagai bentuk external balancing terhadap kekuatan Tiongkok.
• Dari sisi konstruktivisme, Filipina menjalankan diplomasi normatif dan pembentukan legitimasi internasional melalui berbagai cara. Setelah kemenangan di PCA, Filipina membawa hasil putusan ini ke forum-forum internasional, seperti Sidang Umum PBB dan ASEAN, untuk memperkuat dukungan global dan membentuk konsensus bahwa klaim Tiongkok melanggar rules-based order.
ADVERTISEMENT
Salah satu bentuk konkret diplomasi normatif ini adalah pernyataan Presiden Duterte di Sidang Umum PBB 2020 yang menyebut putusan PCA 2016 sebagai bagian dari hukum internasional yang "beyond compromise." Langkah ini mempertegas komitmen Filipina terhadap hukum internasional dan memosisikan diri sebagai aktor yang patuh pada norma.
Filipina membentuk dan memanfaatkan norma internasional untuk mengimbangi kekuatan Tiongkok yang secara militer dan ekonomi jauh lebih unggul. Dari penguatan citra sebagai negara yang patuh terhadap hukum (law-abiding state), pelibatan aktor-aktor internasional, hingga penggunaan diplomasi publik yang membingkai Tiongkok sebagai pelanggar hukum internasional - semuanya menjadi bagian dari upaya membangun legitimasi internasional atas klaim maritim Filipina.
Dalam hukum internasional, terdapat asas hukum Pacta Sunt Servanda, yang berarti bahwa klausula yang tertuang dan sudah disepakati dalam perjanjian internasional harus dipatuhi. Negara-negara harus tunduk pada hukum internasional yang telah diratifikasi. Asas Pacta Sunt Servanda mewajibkan para pihak untuk menaati isi perjanjian dengan iktikad baik (good faith). Filipina, sebagai pihak yang menyetujui dan meratifikasi UNCLOS 1982 sebagai hukum laut internasional yang sah, menerapkan asas hukum Pacta Sunt Servanda. Asas hukum ini juga dijadikan landasan Filipina dalam usaha diplomasi normatif dan pembentukan legitimasi internasional.
ADVERTISEMENT
Dukungan internasional yang diperoleh Filipina pun signifikan:
• Tiga negara Eropa - Prancis, Jerman dan Inggris (E3) - mengeluarkan note verbale pada 2020 kepada PBB yang menyatakan klaim Tiongkok bertentangan dengan UNCLOS dan menyatakan dukungan terhadap putusan PCA 2016.
• Uni Eropa, melalui kerangka Partnership and Cooperation Agreement (PCA) dengan Filipina yang berlaku sejak 2018, telah membentuk subkomite kerja sama maritim dan terus menyuarakan dukungan terhadap keputusan arbitrase PCA. Dalam pertemuan Komite Bersama di Brussel (2023), Uni Eropa kembali menegaskan bahwa penghormatan terhadap hukum internasional, khususnya UNCLOS, adalah syarat utama bagi stabilitas kawasan.
• Dalam aspek diplomasi publik, Filipina aktif melibatkan media internasional untuk menyebarkan narasi bahwa Tiongkok melanggar norma internasional. Misalnya, publikasi aksi swarming oleh kapal-kapal milisi maritim Tiongkok di Whitsun Reef oleh Penjaga Pantai Filipina - ditujukan untuk menciptakan tekanan global dan memperkuat persepsi bahwa Filipina adalah korban pelanggaran hukum internasional.
ADVERTISEMENT
Diplomasi normatif Filipina tidak hanya bersifat retoris, tetapi juga institusional. Melalui mekanisme seperti Komite Bersama UE–Filipina dan kerja sama multilateral seperti Maritime Cooperative Activity bersama AS, Jepang dan Australia pada 2024, Filipina memperkuat citra sebagai negara yang menjunjung supremasi hukum, sekaligus membentuk jaringan aliansi yang mendukung penegakan hukum laut internasional.
Peran Filipina sebagai Norm Entrepreneur: Finnemore & Sikkink dalam Aksi
Untuk memahami lebih jauh strategi diplomasi normatif Filipina, kita bisa melihat kerangka norm life cycle dari Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink (1998) dalam International Norm Dynamics and Political Change, yang menjelaskan bagaimana norma internasional terbentuk dan menyebar melalui tiga tahap: norm emergence, norm cascade dan internalization.
Dalam konteks ini, Filipina memosisikan dirinya sebagai norm entrepreneur, yakni aktor yang aktif memperkenalkan dan mendorong penerimaan norma baru dalam masyarakat internasional. Norma yang dibawa Filipina adalah bahwa putusan PCA 2016 harus dihormati sebagai bagian dari prinsip UNCLOS 1982 dan bahwa penyelesaian konflik maritim harus dilakukan secara damai dan berdasarkan hukum internasional.
ADVERTISEMENT
Pada tahap norm emergence, Filipina memperkenalkan norma ini melalui forum-forum internasional, seperti Sidang Umum PBB, ASEAN, dan berbagai dialog bilateral. Filipina membingkai tindakannya sebagai sesuatu yang sah secara hukum dan pantas secara moral, sementara memperlihatkan tindakan Tiongkok sebagai pelanggaran terhadap norma internasional.
Tahap berikutnya, norm cascade, terlihat dari mulai adanya dukungan internasional yang signifikan terhadap posisi Filipina - misalnya melalui note verbale negara E3 (Prancis, Jerman dan Inggris), serta penguatan kerja sama dengan Uni Eropa melalui subkomite maritim dalam kerangka Partnership and Cooperation Agreement.
Filipina juga berperan aktif dalam membentuk persepsi bahwa menghormati keputusan PCA dan menjunjung UNCLOS adalah bentuk kepatuhan terhadap rules-based order. Dalam KTT ASEAN ke-43 pada tahun 2023 di Indonesia, Presiden Ferdinand Marcos Jr. secara eksplisit menolak narasi bahwa konflik ini sekadar perebutan pengaruh antara kekuatan besar dan menegaskan bahwa negara kecil pun punya hak untuk menegakkan kedaulatan berdasarkan hukum.
ADVERTISEMENT
Meskipun norma ini belum mencapai tahap internalization penuh (karena Tiongkok tetap menolak), strategi Filipina menunjukkan bahwa norma dapat digunakan sebagai alat diplomatik untuk menciptakan tekanan internasional. Bahkan, jika tipping point tercapai - misalnya lebih banyak negara besar dan institusi multilateral ikut mengakui dan menegaskan putusan PCA - maka internalisasi norma ini tinggal menunggu waktu.
Dengan kata lain, Filipina bukan hanya memainkan peran sebagai pengikut aturan, tetapi juga berusaha menjadi pembentuk aturan - sesuatu yang jarang dimiliki oleh negara-negara kecil dalam sistem internasional.
Penutup: Belajar dari Strategi Cerdas Negara Kecil
Realist Constructivism mengajarkan bahwa dalam dunia yang tidak sempurna, negara tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan - tetapi juga harus cerdas dalam membentuk narasi dan menggunakan norma sebagai alat diplomasi. Bagi negara kecil seperti Filipina, ini adalah bentuk survival yang elegan: bertahan bukan hanya dengan kekuatan, tapi dengan legitimasi dan jaringan internasional.
ADVERTISEMENT
Dan bagi kita, ini adalah pengingat bahwa dalam hubungan internasional, tidak semua hal bisa dijelaskan dengan tank dan kapal perang. Terkadang, satu dokumen hukum dan satu narasi diplomatik bisa menciptakan pengaruh yang jauh lebih besar daripada seluruh armada militer.
Referensi
Al Jazeera. (2023, Desember 3). Philippines accuses Chinese vessels of ‘swarming’ reef off its coast. Al Jazeera News: South China Sea. Diakses dari https://www.aljazeera.com/news/2023/12/3/philippines-accuses-chinese-vessels-of-swarming-reef-off-its-coast
Barkin, J. S. (2003). Realist Constructivism. International Studies Review. 5(3). 325-342
EEAS. (2023, Juni 30). Philippines: Third Joint Committee with the European Union takes place in Brussels. European Union External Action. The Diplomatic Service of the European Union. Diakses dari https://www.eeas.europa.eu/eeas/philippines-third-joint-committee-european-union-takes-place-brussels_en
EEAS. (2025, April 4). The European Union and the Philippines. Delegation of the European Union to the Philippines. Diakses dari https://www.eeas.europa.eu/philippines/european-union-and-philippines_en?s=176#:~:text=Manila%2C%20December%202024)-,Political%20Relations,refugees%20and%20internally%20displaced%20persons;
ADVERTISEMENT
Finnemore, M., & Sikkink, K. (1998). International Norm Dynamics and Political Change. International Organization. 52(4). 887–917
Hopf, T. (1998). The promise of constructivism in international relations theory. International security. 23(1). 171-200
Kratochwil, F. V. (1991). Rules, norms, and decisions: On the conditions of practical and legal reasoning in international relations and domestic affairs (No. 2). Cambridge University Press
Morgenthau, H. J. (1948). Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Knopf
Reganit, J. C. (2023, September 6). Rules-based approach on SCS row shows PH commitment to UNCLOS. Philippine News Agency. Diakses dari https://www.pna.gov.ph/articles/1209330
Strangio, S. (2020, September 23). In UN Speech, Duterte Stiffens Philippines’ Stance on the South China Sea. The Diplomat. Diakses dari https://thediplomat.com/2020/09/in-un-speech-duterte-stiffens-philippines-stance-on-the-south-china-sea/
ADVERTISEMENT
Tomacruz, S. (2020, September 17). More Western powers join US in pressuring China over sea claims. Rapplers: Global Affairs. Diakses dari https://www.rappler.com/world/global-affairs/more-western-powers-join-united-states-pressuring-china-over-sea-claims/
Wendt, A. (1992). Anarchy is what states make of it: the social construction of power politics. International organization. 46(2). 391-425.