Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Daluga, Talas Rawa Raksasa: Potensinya sebagai Pangan Fungsional dan Alternatif
1 Juli 2024 10:42 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari inaerlinawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ina Erlnawati, Ni Putu Sri Asih, dan Yuzammi
Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi – BRIN
ADVERTISEMENT
Jl. Raya Jakarta Bogor KM 46, Cibinong, Jawa Barat
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara mega biodiversitas karena memiliki wilayah hutan tropis dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, menempati urutan ketiga setelah Brazil dan Kongo. Keanekaragaman hayati tersebut meliputi keanekaragaman jenis, varietas, variasi, dan keunikan gen, serta keanekaragaman ekosistem tempat mereka tumbuh. Keberlimpahan keanekaragaman tumbuhan tersebut merupakan aset yang sangat berharga untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Indonesia, termasuk bahan pangan, obat-obatan, energi, lingkungan, dan bahan baku untuk berbagai produk lainnya (Maryanto et al. 2013). Pemanfaatan tumbuhan sebagai sumber pangan merupakan hal yang paling vital bagi kehidupan manusia.
Masalah pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia saat ini menjadi isu utama, dan prioritas yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, ditambah lagi dengan semakin meningkatnya konversi lahan pertanian menjadi areal perumahan, menyebabkan ketersediaan pangan Indonesia menjadi berkurang. Saat ini baru sekitar 20% jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai sumber pangan, sehingga Indonesia perlu terus mengembangkan program diversifikasi pangan. Penelitian mengenai umbi-umbian lokal dapat menjadi salah satu solusi untuk diversifikasi ketahanan pangan di masa depan. Banyak keunggulan yang dimiliki umbi-umbian antara lain, memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, kemudahan dalam hal budidaya, kemudahan untuk mendapatkannya, serta mempunyai daerah distribusi yang luas.
ADVERTISEMENT
Suku Araceae, atau populer dengan sebutan talas-talasan/keladi-keladian, merupakan salah satu suku tumbuhan yang anggotanya mempunyai umbi yang berpotensi sebagai sumber pangan, antara lain dari marga Alocasia, Amorphophallus, Colocasia, Cyrtosperma, dan Xanthosoma. Dari kelima marga tersebut, Cyrtosperma merupakan salah satu marga yang belum dikembangkan secara optimal, terutama di Indonesia. Anggota marga Cyrtosperma yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman pangan adalah Cyrtosperma merkusii (Hassk.) Schott., lebih dikenal dengan sebutan ‘daluga’ oleh masyarakat pulau kecil di wilayah Sulawesi Utara, seperti Siau, Sangihe, dan Talaud. Di daerah lain jenis ini juga disebut talas rawa raksasa, keladi rawa, keladi berduri, pulaka, puraka, keladi pari, dan birah hutan.
Bagi kita yang tinggal di wilayah Indonesia bagian barat, mungkin banyak yang belum pernah melihat tumbuhan yang diberi nama daluga ini. Tetapi bagi mereka yang tinggal di wilayah Indonesia bagian timur, khususnya pulau-pulau kecil di sekitar Sulawesi sudah tidak asing dengan daluga, terutama kalangan masyarakat dengan rentang umur menengah ke atas. Tumbuhan ini sekilas menyerupai talas yang sudah umum kita kenal. Perawakannya yang tinggi besar, bisa mencapai tinggi 4-6meter, dengan umbi berukuran besar hingga dapat mencapai berat 25 kg atau lebih, bahkan dapat mencapai 120 kg apabila dibiarkan selama bertahun-tahun. Jenis ini biasanya banyak ditemukan tumbuh di rawa-rawa, sehingga dinamakan juga sebagai ‘Talas Rawa Raksasa’, meskipun daluga dapat tumbuh dan hidup di darat. Umbi daluga ini sejatinya adalah kormus yaitu modifikasi batang yang mengandung banyak karbohidrat, dan dapat tumbuh menjadi batang baru. Perawakan dan kormus daluga bisa dilihat pada Gambar 1 berikut:
Umbi atau kormus daluga mempunyai kulit berwarna cokelat muda, bagian dalamnya berwarna putih, kekuningan, atau jingga. Daun daluga berjumlah 3–7, dengan susunan daun searah dengan arah jarum jam atau berlawanan dengan arah jarum jam, berbentuk memata panah atau memerisai dengan bagian tepinya rata atau berombak. Panjang helaian daun 25– 150 cm, lebar 70–100 cm. Bagian posterior daun mempunyai ujung membundar atau lancip dengan pangkal daun tumpang tindih atau tidak tumpang tindih. Tangkai daun berukuran 0,75– 2,49 m, terkadang berduri atau ada juga yang tidak berduri, dengan bagian ujung tangkai daun lurus, melengkung atau seperti leher angsa, dan bagian pangkalnya berwarna hijau, kekuningan atau keunguan, merah kecokelatan, berlurik atau tidak. Perbungaan hanya terdiri atas satu bunga dengan tangkai perbungaan lebih pendek dari panjang tangkai daun, berukuran 46,5–139 cm. Seludang bunga berwarna ungu, kuning atau hijau dengan lurik cokelat kemerahan atau lurik keunguan, berukuran panjang 23–43 cm. Tongkol bunga berwarna keunguan, kuning pucat hingga kuning dengan panjang 13–22,5 cm. Bunga terdiri atas enam bagian; bakal buah (l–)2-ovulate; benang sari keluar dari tepal pada saat penyerbukan. Buah berwarna jingga, menempel langsung pada tangkai tongkol, biji l(–2). Biji campylotropous, hampir bundar sampai bentuk ginjal, panjang 5–11 mm; selubung biji cokelat (Hay 1988; Erlinawati et al. 2019).
ADVERTISEMENT
Daluga merupakan salah satu jenis dari marga Cyrtosperma yang tersebar luas dan memiliki persebaran di Peninsular Malaysia, Singapura, Borneo, Filipina, Kepulauan Natuna, Sumatera, Jawa, Kepulauan sekitar Papua New Guinea dan Pasifik, namun tidak ditemukan di Sulawesi, Maluku dan daratan utama New Guinea (Hay 1988). Jenis tersebut mempunyai habitat di kolam-kolam dan tempat-tempat basah, di hutan hujan tropis yang lembap, di daerah rawa (Mayo et al. 1997), hingga di tempat-tempat berbatu, juga di lahan-lahan budidaya (Manner 2011). Di Indonesia, daluga banyak tersebar di daerah kepulauan Siau, Sangihe, dan Talaud, Sulawesi Utara. Pada umumnya, masyarakat setempat baru terbatas memanfaatkan daluga untuk pembuatan kue tradisional, seperti ketang-ketang (gambar 2) atau dibikin kolak. Namun saat ini daluga mulai dijadikan bahan dasar untuk pembuatan kue-kue yang lebih modern, seperti brownish, bakpao, dan kue bolu lainnya. Yang terbaru, saat ini kormus daluga sudah dapat dijadikan beras analog, namun belum dikembangkan secara luas.
ADVERTISEMENT
Daluga selain memiliki umbi yang berukuran besar, juga mempunyai kandungan gizi yang tinggi. Menurut Dingan et al. (1994), dalam 100 gram kormus daluga mengandung: air 75 g, energi 308 kkal (75 kJ), protein 0.5 g, lemak total 0.2 g, karbohidrat 18 g, serat 2.8 g, sodium 72 mg, potassium 67 mg, kalsium 182 mg, magnesium 21 mg, besi 0.6 mg, seng 2.1 mg, vitamin A total 5 μg, β-carotene 30 μg, thiamine 0.03 mg, riboflavin 0.02 mg, vitamin C sebesar 15.7 mg dan vitamin E sebanyak 2 mg. Ukuran kormus yang sangat besar ditambah dengan kandungan gizi yang tinggi, menjadikan daluga sangat cocok diangkat sebagai kandidat sumber pangan fungsional, disamping sebagai pangan alternatif pengganti beras, sehingga dapat menunjang program pemerintah untuk meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan, khususnya di pulau-pulau kecil di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Daftar Referensi
Dingan, C.A., B.A. Burlingame, J.M. Arthur, R.J. Quigley & G.C. Milligan. 1994. The Pacific Island Food Composition Table. South Pacific Commission.
Erlinawati, I., Abinawanto, A. Salamah, Rugayah. 2019. A phenetic analysis of morphological traits on Daluga (Cyrtosperma merkusii (Hassk.) Schott) in Siau, Sangihe and Talaud Islands, North of Sulawesi. AIP Conference Proceedings 2120, 030014 (2019): https://doi.org/10.1063/1.5115618.
Hay, A. 1998. The Genus Alocasia (Araceae-Colocasieae) in West Malesia and Sulawesi. Garden’s Bulletin Singapore 50: 221–234
Manner, H.I. 2011. Farm and Forestry, Production and Marketing Profile for Giant Swamp Taro (Cyrtosperma chamissonis). In: Elevitch CR (ed) Specialty Crops for Pacific Island Agroforestry. Permanent Agriculture Resources (PAR), Holualoa (revised): 1 – 18. http://agroforestry. net/scps.
ADVERTISEMENT
Maryanto, I., J.S. Rahajoe, S.S. Munawar, W. Dwiyanto, D. Asikin, S.R. Ariati, Y. Sunarya & D. Susiloningsih (ed.). 2013. Bioresources untuk Pembangunan Ekonomi Hijau. LIPI Press. Jakarta: xix + 229 hlm.
Mayo, S.J., J. Bogner & P.C. Boyce. 1997. The Genera of Araceae. The Trustees, Royal Botanic Garden, Kew: xi+370 pp.