Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
EMPAT KISAH RINGAN KEHIDUPAN RASULALLAH SAW
8 Januari 2018 20:27 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Inayatullah Hasyim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
EMPAT KISAH RINGAN KEHIDUPAN RASULALLAH SAW
Oleh Inayatullah A. Hasyim
ADVERTISEMENT
Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor.
Saudaraku, kehidupan Rasulallah SAW adalah teladan bagi kita. Pada kesempatan kali ini, saya akan kutipkan empat kisah ringan yang menunjukan kemuliaan akhlak dan perilaku beliau SAW.
***
Suatu hari, Rasulallah SAW meminta Ibnu Mas’ud untuk membacakan al-Qur’an baginya. Ibnu Mas'ud berkata, ”bagaimana aku bacakan al-Qur'an padamu sementara ia turun untukmu?” Rasulallah SAW menjawab, ”Aku senang mendengarnya dari orang lain”.
Mulailah Ibnu Mas'ud memperdengarkan bacaannya. Demi mendengar bacaan Ibnu Mas'ud itu, Rasulallah SAW menitikan air mata, menyuruhnya berhenti seraya berkata, “barangsiapa yang ingin membaca al-Qur'an seperti saat ia diturunkan, bacalah seperti bacaan Ibnu Umi Abdi (Ibnu Mas'ud)”.
Saudaraku, tahukah ayat apa yang membuat Rasulallah SAW menangis dan menyuruh Ibn Mas'ud berhenti? Ayat itu adalah “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”. (QS An-nisa: 41)
ADVERTISEMENT
Rasulallah SAW menangis saat mendengar ayat itu karena kelak di negeri akherat beliau SAW menjadi saksi bagi kita semua. Rasulallah SAW menangis karena terbayangkan tentang umatnya; tentang kerinduan bertemu dengan para pengikutnya. Maka, sepantasnya kita rindu untuk bertemu dengannya.
Karena itulah, sungguh pelit orang yang tak mau mengucapkan shalawat ketika disebut nama baginda Rasulallah SAW
***
Orang bijak mengatakan, wanita dapat bersikap tenang dalam kondisi apapun, kecuali saat dia dibakar api cemburu. Suatu hari, Aisyah, isteri Rasulallah SAW pernah berkeringat dingin merasakan itu. Pasalnya, Sofiyah, isteri Rasulallah SAW lainnya, mengirimkan makanan pada Rasulallah SAW saat beliau berada di rumah Aisyah. Saking cemburunya, Aisyah sampai memecahkan wadah makanan kiriman Sofiyah itu.
ADVERTISEMENT
Rasulallah SAW kemudian memerintahkan Aisyah dengan berkata, “bejana harus diganti dengan bejana yang sama, makanan harus diganti dengan makanan yang sama pula” (HR-Nasai').
Dalam riwayat lain diceritakan, Rasulallah SAW tahu persis kapan Aisyah senang padanya, kapan pula Aisyah kesal, sampai Aisyah bertanya, “Bagaimana engkau tahu (hal itu)?” Rasulallah SAW menjawab, “jika sedang ridha, engkau berkata “Tidak, demi tuhan Muhammad,” dan jika sedang kesal engkau berkata, “Tidak, demi Tuhan Ibrahim”. Apakah itu berarti Aisyah pernah membangkang pada suaminya, Rasulallah SAW? Tidak. Pernyataan Aisyah berikutnya sungguh romantis. Katanya, “Aku tidak pernah membangkang (padamu, ya Rasulallah) kecuali hanya namamu saja”.
Betapa indah kehidupan Rasulallah SAW dan keluarganya. Segala hal menjadi teladan bagi kita. Bahkan dalam keadaan sang isteri dibakar cemburu, Rasulallah SAW tetap memberi contoh bagaimana seharusnya seorang suami bersikap.
ADVERTISEMENT
***
Pada perang Hunain, suku Hawazin menyerah, sedangkan suku Tsaqif melarikan diri ke Thaif. Di kota itu, terjadi ketegangan selama 20 malam. Suku Tsaqif mengutus para tokoh untuk menemui Rasulallah SAW agar membebaskan tawanan wanita dan mengembalikan harta mereka.
Di antara delegasi itu, Rasulallah SAW melihat wajah yang lamat-lamat dikenalinya. Ya, dia adalah Halimatus Sa’diyah, ibu angkatnya sendiri. Rasulallah SAW menyambutnya dengan kehangatan, dan menghamparkan selimut untuknya. Rasulallah SAW bahkan memenuhi permintaannya. Seluruh tawanan wanita dibebaskan dan harta pampasan perang dikembalikan.
Keputusan Rasulallah SAW mengejutkan para sahabat, terutama kaum Anshar Madinah. Mereka mulai terhasut bahwa Rasulallah SAW memihak pada masyarakat Makah, tanah kelahirannya. Untuk apa bersabung nyawa jika pampasan perang dikembalikan pada kaumnya sendiri?
ADVERTISEMENT
Suara-suara sumbang semakin santer terdengar terutama saat Rasulallah SAW juga memberikan harta pampasan perang kepada Ikrimah, anak Abu Jahal..
Akhirnya Saad bin ‘Ubadah datang menghadap Rasulallah SAW. Seakan protes, Saad berkata, “kemenangan ini bertumpu pada orang-orang Anshar Madinah, tetapi mereka telah dibuat kecewa hatinya dengan pembagian pampasan perang. Engkau bagikan pampasan perang pada kaummu sendiri, sementara Anshar tak mendapat apa-apa”
“Kemana arah pembicaraanmu, Saad?” tanya Rasulallah.
“Aku ini penyambung lidah kaumku, ya Rasulallah!”
Rasulallah SAW kemudian mengumpulkan seluruh kaum Anshar. Dengan suara bergetar beliau SAW berkata, “Wahai Anshar, tidak relakah kalian jika orang-orang itu kembali ke rumah mereka dengan membawa isteri, budak dan harta mereka sendiri. Sedangkan kalian kembali ke Madinah dengan (membawa) Rasulallah? Demi Allah, seandaianya orang-orang berjalan di suatu bukit, dan kaum Anshar berjalan di bukit yang lain, niscaya aku berada dalam barisan yang dilalui orang-orang Anshar itu”.
ADVERTISEMENT
Para sahabat Anshar terdiam, lalu menitikan airmata. Mereka telah salah mengira maksud Rasulallah SAW sebab tak lama setelah itu, para pemuka suku Tsaqif menyatakan keislamanannya.
***
Betapapun Rasulallah SAW seorang yang sangat gagah di medan perang, beliau (SAW) tetaplah seorang ayah yang tak kuasa menahan duka saat puteranya, Ibrahim, dipanggil oleh Allah SWT. Ibunda Ibrahim, Maria al-Qibtiyah, pun tak kuasa menahan tangis. Ibrahim menghembuskan nafas terakhir di pangkuannya. Selesai dikafankan, Rasulallah SAW membawa puteranya ke pemakaman. Sepanjang jalan, beliau SAW hanya terdiam dan berlinang air mata. Para sahabat terheran, bukankah yang meninggal itu hanya seorang anak kecil sedangkan Rasulallah SAW telah berusia enam puluh tahun.
Lalu, Abdurrahman bin Auf mendekat dan berkata, “bukankah engkau melarang kami menangis?” “Bukan tangis yang aku larang, tetapi meraung-raung meratapi kematian”. Rasulallah SAW lalu meratakan kuburan puteranya, berdoa dan matahari nampak murung. Bahkan matahari ikut berduka, para sahabat bergumam. Mendengar itu, Rasulallah SAW pun berkata, “sesungguhnya, matahari dan bulan adalah dua tanda dari kebesaran Allah. Tidak terjadi gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Jangan kalian mengangkatku melebihi kedudukanku”.
ADVERTISEMENT
***
Demikian empat kisah ringan itu sebagai contoh kemuliaan akhlak Rasulallah SAW dalam tutur kata dan sikap baik saat sebagai suami, ayah, atau panglima perang. Semoga kita bisa meneladani kehidupannya.