Konten dari Pengguna

Memahami Langkah Politik Erdogan

Inayatullah Hasyim
Pecinta sastera Arab
20 Desember 2017 15:36 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inayatullah Hasyim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Inayatullah Hasyim Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor
Bendera Turki (Foto: ILYAS AKENGIN / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Turki (Foto: ILYAS AKENGIN / AFP)
Kabar mengejutkan datang dari Jerusalem. Entah benar atau tidak, bahwa presiden Turki mendadak mengunjungi Jerusalem dan masjid al-Aqsa. Langkah Erdogan itu menandai keseriusan atas pernyataannya beberapa hari lalu. Katanya, Turki akan membuka Kedutaan Besar di Jerusalem. Bedanya, jika Donald Trump melakukan pemindahan itu untuk menyetujui kedaulatan Israel, Turki melakukannya untuk mempertegas kedaulatan Palestina atas seluruh wilayah Jerusalem.
ADVERTISEMENT
Memang, sejak Presiden Amerika, Donald Trump, mengumumkan bahwa Amerika akan memindahkan kantor kedutaannya dari Tel Aviv ke Jerusalem, berbagai protes merebak di hampir seluruh belahan dunia. Sebagai pimpinan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Turki langsung menggelar Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa di Istanbul (12-13 Desember 2017). Di antara tamu yang hadir adalah presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia, Nadjib Radjak.
Memang, KTT OKI tersebut kurang greget karena minus Saudi Arabia, United Arab Emirates (UAE), Mesir dan Bahrain. Namun, KTT tersebut berhasil melahirkan Deklaras Istanbul yang pada pokoknya menyatakan bahwa OKI menolak tegas keputusan Donald Trump tersebut.
Perkembangan pascapernyataan Donald Trump tersebut memang menarik untuk diamati, setidaknya dalam dua hal:
ADVERTISEMENT
Pertama: Pemindahan kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Jerusalam adalah “pengakuan sempurna” atas keberadaan negara Israel. Dalam Hukum Internasional, “pengakuan” merupakan salah satu syarat multak berdirinya suatu negara.
Lebih jauh, dalam hukum internasional, pengakuan dibagi dua: Konstitutif dan Deklaratif. Teori konstitutif mengatakan, pengakuan adalah ipso facto dari berdirinya sebuah negara. Pada kasus Israel ini, ketika Amerika membangun kedutaannya di Tel Aviv, maka negeri itu menjalankan teori Konstitutif untuk menerima Israel sebagai sebuah negara. Dengan kata lain, Amerika menerima Israel sebagai negara sebab faktanya Israel menguasai tanah rakyat Palestina.
Kini, secara deklaratif, Donald Trump mengakui kedaulatan Israel atas Jerusalem sebab Amerika memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Jerusalem. Sejak lama, Israel menjadikan Jerusalem sebagai ibukotanya. Padahal, Jerusalem adalah tanah Palestina yang mereka rebut. Maka, dari sini kita bisa paham, mengapa sikap Amerika itu harus ditolak.
ADVERTISEMENT
Membiarkan Amerika mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel adalah mengakui perampasan atas tanah Palestina. Seperti kita ketahui, Israel mulai menduduki Tepi Barat (West Bank) dan Jerusalem Timur setelah perang Arab-Isreal tahun 1967. Sejak itu, Israel terus ekspansif menguasai Jerusalem. Tepatnya, pada tahun 1980, Israel mendeklarasikan Jerusalem sebagai “undivided and eternal capital of Israel.
Meski demikian, sampai saat itu, tak ada satupun negara yang mau memindahkan kedutaan mereka dari Tel Aviv ke Jerusalem walaupun memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Benyamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, menyerukan agar negara-negara sekutu Amerika segera mengikuti langkah Presiden Trump.
Kini, kekuatan dan soliditas negara-negara OKI diuji. Jika Donald Trump tak mengubah keputusannya, dan dia mem-veto usulan negara-negara OKI yang merujuk pada Deklarasi Istanbul, maka kita akan menyaksikan sebuah pelecehan dunia Islam di siang bolong.
ADVERTISEMENT
Dari penjelasan di atas, maka dapat kita pahami mengapa Erdogan melakukan kunjungan mendadak ke Palestina dan menyatakan akan membuka kedutaan Turki di kota Jerusalem. Namun, bedanya, jika Donald Trump ingin menunjukan kedaulatan Israel, Erdogan ingin menunjukan kedaulatan penuh bangsa Palestina atas tanah tersebut.
Kedua: Pertanyaannya, mengapa Erdogan sangat berani mengambil langkah yang berseberangan dengan Amerika? Apakah pandangan politiknya adalah Islam militan?
Sebenarnya, tokoh yang pertama memperkenalkan Islam ke dalam politik Turki modern bukan Erdogan. Dia adalah Necmettin Erbakan (1926-2011). Erbakan adalah Perdana Menteri pertama Turki yang membawa angin perubahan Islam, lewat gerakan idiologisnya, Millî Görüş. Erbakan terpilih sebagai PM pada pemilu 1996.
Lalu karena pandangannya yang sangat konservatif, dia kemudian “dikudeta” secara konstitutional oleh militer. Kesalahan utama Erbakan adalah sikapnya yang terlalu tegas dalam Islamisasi Turki. Berdasarkan konsitusi, Presiden Turki ketika itu, Sulayman Demiral, kemudian menunjuk Mesut Yilmaz menggantikan Erbakan. Mesut Yilmaz adalah mitra koalisi Erbakan dari partai Doğru Yol Partisi.
ADVERTISEMENT
Erdogan justru antitesis Erbakan. Mula-mula dia adalah walikota di wilayah Istanbul, lalu menjadi Perdana Menteri. Dia merangkul seluruh elemen kekuatan negara dalam wadah partai AKP. Erdogan membangun partai dengan (idiologi) terbuka. Ia meninggalkan politik puritan, warisan Erbakan. Fokusnya adalah pada penguatan ekonomi dengan bermain dua kaki. Sebelah kaki di Eropa (lewat NATO), dan sebelah kaki di Timur Tengah. Maka, Erdogan kemudian mengenalkan konsep “Timur Tengah yang diperluas” (wider middle east) agar peran Turki diakui kawasan Arab.
Dalam penampian impersonal, Erdogan pun terkesan luwes. Emine dan Sumaya, isteri dan anak Erdogan, misalnya, tidak menggunakan burqah atau jilbab panjang. Mereka terlihat modis dengan jilbab motif bunga khas Turki. Ketika mengunjungi para pengungsi etnis Rohingya, Emine tampil bak bintang, bahkan mengalahkan pamor Julia Robert, aktris Hollywood di kesempatan yang sama. Jadi, jika Anda mengira pandangan Erdogan adalah Islam yang kaku, Anda salah. Erbakan-lah yang memiliki pandangan militan seperti itu.
ADVERTISEMENT
Karena itulah, berkali-kali Erdogan mengatakan, jalur perjuangan Turki sebagai piminan OKI adalah perjuangan yang akan memenuhi semua kaedah hukum internasional. Namun, jika Amerika mem-veto hasil sidang Dewan Keamanan, maka Erdogan akan membawa kasus Jerusalem ini ke Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bahkan, jika sudah semua mentok, nampaknya Erdogan tak takut dengan ancaman militer Amerika.
Langkah militan Erdogan dapat difahami mengingat Turki adalah pewaris kekhalifahan Utsmani. Bukankah pemimpin Kekhalifahan Utsmani, Sultan Hamid II, dulu berkata, Baitul Maqdis adalah tanah wakaf orang-orang Islam. Tak satu jengkalpun boleh dilepas kepada bangsa Yahudi. Erdogan pun mengulangi pernyataan yang nyaris sama. Katanya, Jerusalem adalah batas terendah toleransi kita. Jika Donald Trump tak mengubah keputusannya, Erdogan tak segan untuk melawan.
ADVERTISEMENT
Ingatlah peristiwa ketika Andrey Karlov, Duta Besar Russia di Turki ditembak mati seorang anggota polisi. Menurut Sulayman Soylu, Menteri Dalam Negeri Turki, pelaku pembunuhan tersebut adalah Mevlut Mert Altintas, seorang anggota kepolisian Turki. Setelah menembak, dia berteriak, “Jangan pernah melupakan Aleppo.”
Wallahua'lam bis showab.