Setelah Gerhana Berlalu

Inayatullah Hasyim
Pecinta sastera Arab
Konten dari Pengguna
1 Februari 2018 19:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inayatullah Hasyim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Inayatullah Hasyim
Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor
Gerhana Bulan dari kantor kumparan (Foto: kumparan)
Pada tanggal 31 Januari 2018 lalu kita menyaksikan gerhana bulan total, atau ramai disebut orang sebagai Super Blue Blood Moon. Apa hikmah dari gerhana? Saya mencatat setidaknya dua hal.
ADVERTISEMENT
Pertama, Islam menghapus tahayul.
Dalam riwayat disebutkan bahwa sepanjang hidup Rasulallah SAW terjadi sekitar enam kali peristiwa gerhana matahari. Dan yang paling banyak dikisahkan adalah gerhana yang terjadi ketika meninggalnya Ibrahim bin Muhammad, putra Rasulallah SAW dari istrinya yang asli Mesir, Maryah al-Qibtiyyah. Peristiwa ini, terjadi pada 27 Januari 632 M, di kota Madinah.
Dikisahkan, betapa pun Rasulallah SAW adalah seorang yang sangat gagah di medan perang, tetaplah beliau SAW seorang ayah yang tak kuasa menahan duka saat puteranya, Ibrahim, dipanggil oleh Allah SWT. Ibunda Ibrahim, Maryah al-Qibtiyyah, pun tak kuasa menahan tangis. Ibrahim menghembuskan napas terakhir di pangkuannya. Selesai dikafankan, Rasulallah SAW membawa puteranya ke pemakaman.
Sepanjang jalan, beliau SAW hanya terdiam dan berurai air mata. Abdurrahman bin Auf mendekat dan berkata, “Bukankah engkau melarang kami menangisi kematian?” “Bukan tangis yang aku larang, tetapi meraung-raung meratapi kematian.” Rasulallah (saw) lalu meratakan kuburan puteranya, berdoa, dan matahari nampak murung.
ADVERTISEMENT
Bahkan matahari ikut berduka, para sahabat Rasulallah SAW bergumam. Mendengar itu, Rasulallah SAW berkata, “Sesungguhnya, bulan dan bintang adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, (di mana) dengan kedua benda (angkasa) itu Allah memperingatkan hamba-haba-Nya. Dan sesungguhnya, kedua (benda) itu tak (menjadi) gerhana karena kematian seorang anak manusia. Maka, apabila kalian melihatnya (gerhana), hendaklah kalian shalat. Berdoalah kepada Allah sampai (selesai) semua gerhana yang kalian alami itu”
Bandingkan kisah di atas dengan kisah Cristopher Columbus yang selama ini dikenal sebagai orang yang menemukan benua Amerika. Tahukah Anda bahwa Christopher Columbus pernah menipu orang-orang Jamaika tentang gerhana bulan? Begini ceritanya, Columbus dan timnya makan makanan penduduk asli Jamaika. Namun, dia tak mau bayar. Akibatnya, dia dituntut, dan orang orang Jamaika tak mau lagi memberinya makanan.
ADVERTISEMENT
Tapi, Columbus bilang, "aku ini punya kekuatan supranatural. Aku bisa membuat bulan lenyap dari peredaran." Orang-orang Jamaika tak percaya. Lalu, Columbus bilang, lihat nanti tanggal 29 Februari aku akan lakukan itu. Maksudnya, Columbus sudah tahu bahwa pada tanggal 29 Februari tahun 1504 akan terjadi gerhana bulan total.
Dia menggunakan prediksi ilmiah bahwa bulan akan mengalami gerhana. Penduduk asli Jamaika belum mengerti ilmu astronomi. Lalu, pada malam 29 Februari itu, Columbus membuktikan “sihirnya”. Dia membuat bulan lenyap. Orang-orang Jamaika pun takut dan mengira dirinya dewa. Maka, Columbus tak ditagih lagi atas makanan yang belum dibayarnya. Bahkan, besok paginya, dia diberikan makanan terbaik bangsa Jamaika karena “dewa” Columbus dianggap telah berbaik hati “mengembalikan” bulan ke orbitnya.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya, peradaban Eropa dibangun dengan mitos yang panjang. Mereka menjadikan peredaran benda-benda angkasa sebagai patokan kehidupan di bumi. Di langit terdekat ada bulan, benda langit yang beredar secara cepat sehingga disimpulkan sebagai yang terdekat. Langit kedua ditempati Merkurius (bintang Utarid), ketiga Venus (Bintang Kejora), keempat Matahari, kelima Mars, keenam Jupiter (Bintang Musytari), ketujuh Saturnus (Bintang Siarah). Dewa benda-benda angkasa itu diyakini mempengaruhi kehidupan di bumi.
Maka, perhatikanlah nama-nama hari dalam sepekan. Dimulai dengan hari Ahad yang kita sebut sebagai hari “Minggu”. Kata “Minggu” berasal dari bahasa Portugis, ‘Dominggos” yang berarti “Dewa Matahari”. Karena itu, orang Inggris menamakannya sebagai “Sunday” atau “Hari Matahari”. Demikianlah seterusnya. Mereka menamakan hari menggunakan nama planet di angkasa sana.
ADVERTISEMENT
Kekeliruan pemahaman itu kemudian diperbaiki oleh ajaran Islam. Nama-nama hari diberikan sesuai dengan urutannya, namun khusus untuk hari ke-enam dinamakan Jumat sebab pada hari itu umat Islam berkumpul (tajamu’) di masjid. Dan hari ketujuh dinamakan sebagai “Sabtu”, bukan "sab’ah" yang berarti tujuh. Sebab sabtu bermakna istirahat. Allah SWT berfirman, "Dan telah kami jadikan tidurmu sebagai istirahat". (QS An-Naba: 9).
Demikianlah pada hakikatnya semua benda angkasa itu diciptakan Allah sebagai tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya. Allah SWT berfirman, “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka”. (QS al-An’am: 1)
Kedua, Peringatan Allah dengan fenomena alam.
ADVERTISEMENT
Dalam surah An-Naba, Allah SWT bahkan secara khusus membahas tentang lapisan-lapisan langit sebagai tanda kekuasaan-Nya. “Dan kami bangun di atas kamu tujuh (langit) yang kokoh. Dan kami jadikan pelita yang amat terang (matahari)”. (QS An-Naba 12-13) Para ulama tafsir terdahulu ketika menjelaskan kata “tujuh” acap kali menerjemahkannya dengan menyebutnya sebagai langit yang sangat luas. Pendapat ini, misalnya, dikemukakan oleh Ibn Katshir, at-Thabari dan Imam al-Qurtubi. Hal itu wajar saja mengingat al-Qur’an banyak sekali menggunakan kata “tujuh” untuk merujuk keluasan langit.
Di sisi lain, al-Qur’an juga menyebutkan kata “tujuh” untuk merujuk makna “beragam”. Misalnya, Allah swt berfirman,  “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji… (QS al-Baqarah: 261)
ADVERTISEMENT
Dari penjabaran ini, jelaslah mengapa para ulama klasik menafsirkan kata tujuh sebagai langit yang amat luas. Akan tetapi, penafsiran modern yang menggunakan pendekatan ilmiah juga patut dikemukakan, bahkan sangat menarik. Kata “tujuh” dalam ayat di atas merupakan penjelasan tentang lapisan-lapisan langit yang terdiri atas (1) Troposper (2) Tratosfer (3) Ozonosfer (4) Mesosfer (5) Termosfer (6) Ionosfer dan (7) Ekosfer. 
Para ilmuwan mengatakan, lapisan-lapisan langit itu berbeda sifat dan ciri-ciri fisiknya, seperti tekanan dan jenis gasnya. Lapisan yang terdekat dengan bumi disebut Troposper. Pada lapisan inilah terjadi hujan, turun salju dan hembusan angin. Lapisan berikutnya disebut Stratospere. Ozon adalah bagian dari lapisan Stratospere dimana terjadi penyerapan sinar ultra-violet matahari sehingga tidak membahayakan kehidupan di bumi. Para ilmuwan bidang lingkungan mengatakan, jika lapisan Stratosper mengalami kebocoran sungguh kehidupan di permukaan bumi akan sangat berbahaya.
ADVERTISEMENT
Dengan fakta tersebut, betapa benar ketika Allah swt berfirman, Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dan Dia mewahyukan (memerintahkan) pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-gemintang yang cemerlang, dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (QS Fusilat: 12)
Untuk itulah, mari jadikan peristiwa gerhana sebagai pengingat dan motivasi untuk lebih banyak lagi berbuat kebaikan. Pada setiap kali kita menyaksikan gerhana bulan di saat seharusnya puranama secara sempurna, hendaklah kita menjadikan peristiwa itu untuk memotivasi diri agar kelak dapat berjumpa dengan Dzat Allah SWT tanpa terhalangi apapun.
Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah, “Suatu malam, kami tengah bersama Rasulallah. Kemudian Rasulallah berkata, “Kalian akan melihat Tuhan kalian seperti melihat bulan purnama itu. Tidak terhalangi (sedikitpun) dalam melihat-Nya”. Syaratnya? Rasulallah melanjutkan, “(Yaitu) Jika kalian mampu untuk tidak dikalahkan dengan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam.” Rasulallah kemudian membaca ayat:“dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)”. (QS Qaaf: 39).
ADVERTISEMENT
Dalam riwayat lain disebutkan, dari Abi Musa al-Asya'ri, dia berkata, telah bersabda Rasulallah, “barang siapa yang (menjaga) dua shalat bardain, niscaya dia masuk surga”. Ulama mengatakan, maksud shalat bardain adalah shalat Asar dan Shubuh. Ya Allah bimbinglah kami untuk bisa menjaga kedua shalat tersebut secara berjamaah agar dapat melihat-Mu sebagaimana kami melihat bulan purnama yang sempurna dan tidak terhalangi seperti gerhana bulan yang lalu itu.
Demikian, semoga bermanfaat.