Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Zul Fadli 30 Hari (Namun Ternyata, Lebih Daripada Itu)
19 Mei 2018 19:58 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Indonesia Mengajar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bermula dari sebuah lomba, aku dan dia jadi kawan setia. Aku, Ibu gurunya. Dia, murid kelas enamku, Zul Fadli namanya.....
ADVERTISEMENT
Kejutan! Namanya terpampang di layar telepon genggamku. Dari laman penyelenggara lomba yang kubuka, aku melihat hasil pengumuman olimpiade sains yang telah diikuti empat muridku sebulan lalu. ‘Zul Fadli, SDN 7 Paya Bakong’, masuk ke babak semifinal! Aku yakinkan diri dulu bahwa mataku tak sedang menipu. Betul! Itu Zul Fadliku! Oh, di dalam dada seperti ada nekara yang bertalu-talu. Debum-debum-debum, sentosanya beribu-beribu!
Tapi..... Ah iya! Aku baru menyadari satu kesalahan. Kepasrahanku—yang mendekati tidak yakin. Selepas seleksi tahap pertama, dengan percaya dirinya aku campakkan buku-buku, rangkuman materi, serta soal-soal yang berisi materi olimpiade sains. Dan–tamparlah aku!—yang bahkan tidak sekalipun menaruh pikir akan ada satu anak pun yang mampu masuk ke babak berikutnya. Nyatanya, semesta berkonspirasi mematahkan niscaya. [Adegan berikutnya adalah aksi kelabakanku mencari bahan-bahan olimpiade sains yang entah tersembunyi di mana; dan baru ditemukan beberapa hari kemudian. Ini kekonyolanku yang paling konyol, memang].
ADVERTISEMENT
**
Siapapun tak akan menyangkal jika si penikmat kata-kata ini memang tak lihai betul dalam ilmu alam dan sejenisnya. Namun jika kau ingin tunjukkan arti dari kekuatan usaha, sebaik-baik teladan adalah dengan melakukannya. Maka ada juga malam-malam di mana otak kosong ini brutal mengisi diri dengan berbagai materi sains untuk babak semifinal nanti. Lagipula jika aku ingin membimbing Zul Fadli yang telah melakukan usaha yang terbaik, tidak bisa tidak, akupun wajib memberi yang terbaik. Termasuk, ketika pada akhirnya kami berdua harus berkendara selama 1 jam ke SD di kecamatan tetangga, setiap 3 hari seminggu selama 1 bulan, untuk bimbingan bersama. Pasalnya selain Zul fadlli dari sekolahku, masih ada 7 peserta dari 4 sekolah lain di lingkup UPTD-ku, yang lolos juga ke babak semifinal. Dan untuk memaksimalkan pembinaan Pak Sarjan, kepala UPTD-ku, menginstruksikan adanya bimbingan terpadu yang dijalankan di sekolah pusat. [Walau pada intinya tetap saja aku dan kawan PM satu kecamatanku juga yang mengajari mereka. Tapi yah, karena kita yang berasal dari SD terpencil, maka kita yang harus ‘ikut’ ke SD pusat. Klasik.]
ADVERTISEMENT
Maka, inilah kisah kami yang menjalani hari-hari bimbingan dengan berbagai peristiwa yang melingkupinya. Romansa kisah kami ini melibatkan antara lain: matahari panas terik ala Aceh, debu dan kerikil Pante Kiroe, motor pinjaman ayah Zul Fadli serta motor kebun seksi Ibu Cahaya yang fenomenal, bangunan SD di kecamatan tetangga yang berkipas angin, dua piring martabak telur dan dua gelas teh tarik dingin di Parang Sikureung yang selalu kami santap selepas bimbingan, dan..... Ah, terlalu banyak. Aku sudah tak sabar menceritakan kisah ini. Jadi, sila tuan-puan...
**
Ini hari pertama bimbingan di kecamatan. Tapi itu si baskara siang menggantung garang di atas kepala. Plus, motor kebun andalanku rusak sehingga tidak ada kendaraan untuk kami berdua pergi. Dua situasi ini menghasilkan aku yang ogah-ogahan untuk berangkat.
ADVERTISEMENT
“Gak papa buk, kita numpang moto (mobil truk) pasir aja. Nanti abis tu bisa kita jalan kaki.” Zul Fadli, si bocah penuh karisma, berkata seperti itu di depan pintu rumahku. Ia sudah siap pergi, aku sudah siap tidur. Ish, memalukan!
Bahkan di hari pertama, Zul fadli telah mengajari aku apa arti semangat dan keteguhan—dan aku benar-benar tertohok karenanya. “Iya ya, aku kok jadi melempem seperti ini? Ini tidak bisa dibiarkan!” Secepat kilat aku bersiap dan “Yuk, kita berangkat!”. Ia tersenyum lebar dan kami berjalan beriringan menuju tempat menunggu moto. [Pada akhirnya kami tidak jadi menumpang moto pasir untuk pergi bimbingan. Kala menunggu, entah mengapa kami tidak sadar kalau si moto telah berangkat meninggalkan kami. Haha, konyol sekali. Tetapi Kak Bit, pemilik warung di depan sekolah, ternyata melihat air muka kami yang melongo kebingungan dan langsung menawarkan kereta (sepeda motor) nya untuk kami pakai. Selalu ada berkah untuk niat baik.]
ADVERTISEMENT
**
----Cerita-cerita di atas kereta----
Perjalanan Pante Kiroe s/d SD kecamatan tetangga, memakan waktu 45 menit hingga 1 jam. Berdua berkendara di atas kereta, banyak cerita yang mengurai di sana...
#
“Buk, waktu masa darurat di sini seram kali. Banyak yang ditembak. Seperti abangnya dek Da (murid kelas limaku) tu.” Di belakang tumpangan kereta, Zul Fadli tiba-tiba bercerita seperti itu. Aku menyimak saja.
“Banyak juga yang lari ke hutan belakang sana buk kayak Bapak aku. Lama Bapak aku di hutan. Pulang-pulang Bapak aku dah kayak perempuan,” kata Zul lagi.
“Hah, kayak perempuan gimana maksudnya?”, aku bingung.
“Itu buk, rambutnya jadi panjang kali. Soalnya di hutan gak ada potong rambut,” jawab Zul datar.
ADVERTISEMENT
Aku sontak tertawa. Bukan menertawakan kisah kelam itu, tentu. Tapi bagaimana dia bercerita hal yang bagiku luar biasa tetapi dengan begitu lempang. Aku juga tertawa gara-gara pikiranku sendiri yang sudah berpikir aneh-aneh tentang ‘bapak aku dah kayak perempuan’ itu. Haha, aku terlalu imajinatif.
Dari cerita Zul, aku bisa tahu banyak sejarah panjang desa ini yang pernah mengalami masa sulit kala konflik berlangsung. Sekarang memang sudah aman (setidaknya terlihat seperti itu). Tetapi dari dia, aku juga melihat contoh langsung dari apa yang dinamakan dampak besar dari sebuah konflik. Peristiwanya sudah lama, tetapi pengalaman serta perasaannya masih membekas kuat. Padahal waktu itu, katanya Zul belum genap lima tahun. Betapa hebatnya sang konflik, menempati ruang benak Zul–dan juga tiap anak di sini. Aku bersimpati.
ADVERTISEMENT
##
“Zul, kata Pak Duddy (PM sebelumku) kamu mau jadi presiden? Katanya Pak Duddy masih simpan surat kamu dulu yang bilang mau jadi presiden,” tanyaku tiba-tiba saja.
“Iya buk,” jawab Zul Fadli.
“Eh, tapi waktu itu kamu bilang sama Ibu mau jadi ustad,” balasku. [Belakangan aku baru menyadari pertanyaanku ini agak bernada meragukan. Walau sungguh mati,aku tidak berniat seperti itu].
“Iya, aku mau jadi ustad juga. Presiden juga,” ia menjawab dengan begitu lepas dan mantap.
Zul Fadli tidak tahu, aku yang sedang di kemudi kuda besi itu, begitu terinspirasi dengan jawabannya yang begitu santai. ’Memangnya kenapa kalau aku mau jadi presiden sekaligus ustad?’–sikapnya seperti membahasakan kalimat itu.
Ah, benar juga. Siapa yang bisa bilang bahwa ia tidak mampu menjadi presiden dan juga ustad–atau juga hal-hal lain di luar itu? Tidak aku, tidak juga siapapun. Lagipula, ia memang punya ragam bakat: akademis dia kuat, agama dia mantap. Olimpiade sains dia maju, Lomba adzan dia juara satu. Apalagi yang perlu diragukan?
ADVERTISEMENT
Dari percakapan yang biasa itu, Zul Fadli mengajarkanku untuk mempercayai mimpi yang dibuat sendiri; serta tidak membiarkan ada seorang pun yang berani mengusik mimpi itu. Kata tidak mungkin bukanlah pilihan.
Memang selalu ada kesan dari setiap perbincangan yang sebenarnya berlangsung acak saja.
**
Masih banyak lagi: momen di ruang bimbingan di SD kecamatan tetangga, momen percakapan antara dua piring martabak dan dua gelas teh tarik dingin yang selalu dinikmati sepulang bimbingan, hingga momen babak semifinal di mana kami harus menginap semalam di Lhokseumawe demi menghindarkan Zul Fadli dari mabuk kendaraan saat berlomba.
Sungguh begitu jamak momenku bersama dia yang terjadi hanya dalam kurun 30 hari. Kalau kuceritakan semua, bisa jadi matahari terbit-terbenam dua kali baru berhenti. Setelah berbagai perjuangan Zul Fadli–yang sungguh aku kagumi–ia memang tak berhasil masuk ke jenjang lomba selanjutnya. Tapi Ini memang bukan kisah tentang kemenangan, kawan. Ini kisah jalinan persahabatan. Persahabatan yang kian tersulam sejalan pekan. Ternyatanya, kisah kami tak henti. Selepasnya, terus berjalan bulan demi bulan. Membahagiakan.
ADVERTISEMENT
Inilah kisah 30 hariku bersama Zul Fadli. Namun ternyata, lebih dari pada itu.
[Cerita oleh Cahaya Ramadhani, Pengajar Muda Indonesia Mengajar Angkatan V - Kab. Aceh Utara]
Live Update