Konten dari Pengguna

Pengaruh Kebudayaan Indis pada Upacara Pernikahan di Indonesia Dulu dan Kini

INDAH FADHILLA
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11 Juli 2022 16:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari INDAH FADHILLA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kolonialisme adalah penyangkalan terstruktur dan sistematis atas jagat banyak manusia dari berbagai bangsa. Kolonialisasi berbeda dengan dominasi, manusia tetap diberlakukan sebagai manusia dalam dominasi, sedangkan dalam kolonialisasi, ada negasi sistematis yang menolak setiap atribut kemanusiaan (Fanon via Edskin, 2010:203). Kemanusiaan dan realitas manusia ditemukan, dieksplorasi dan diwakili oleh Eropa. Resistensi bisa dilakukan dengan membudidayakan subjektivitas Eropa.
ADVERTISEMENT
Dunia kolonial adalah “dunia yang terkotak-kotak”, sebuah “dunia “Manichaean” yang dihuni oleh “spesies berbeda” (Fanon via Edskin, 2010:206). Dalam hal ini, pihak penjajah dan pihak terjajah hidup dan berhadapan satu sama lain dalam cara yang saling ekslusif. Akan tetapi, definisi kehidupan yang baik hanya akan dialami oleh salah satu spesies, yaitu “spesies yang berkuasaa”. Sementara itu, penduduk asli atau pribumi dipahami sebagai kelebihan atau sisa. Pihak yang terjajah, cepat atau lambat akan merasakan dan menyadari ketidakadilan yang dialami. Pihak penjajah dan terjajah berada dalam sebuah ruang kolonial, yaitu sebuah ruang tentang dingin, permusuhan, sebuah ruang dimana self orang terjajah dibuat kehilangan tempat tinggal, dipukuli hingga jadi bentuk tertentu atau terkungkung sebagai esensi (Edskin, 2010:207).
ADVERTISEMENT
Indonesia pernah berada dalam kolonialisasi Belanda pada waktu yang cukup panjang. Kolonialisme Belanda membawa konsep civilization ke Indonesia. Istilah civilization merupakan perkembangan dari bahasa latin civis “warga”, istilah ini membentuk suatu perangkat dengan kata-kata civitas “negara-kota (city-state)”, civilitas “kewarganegaraan”, civilitabilis “mempunyai hak sebagai warga kota , memenuhi syarat untuk ikut serta dalam kehidupan kota” (Christomy, 2004:8). Dalam konsep civilization, corak kehidupan kota dianggap lebih maju dari corak kehidupan di desa. Masyarakat Eropa memiliki corak kehidupan yang lebih maju. Eropa dianggap memiliki keunggulan pada corak kehidupan yang radikal. Dengan demikian, kontras antara kota sebagai pusat kehidupan yang “beradab” dan desa yang bercorak kehidupan “kurang beradab” digeneralisasikan menjadi corak kehidupan Barat versus corak kehidupan bukan-Barat.
ADVERTISEMENT
Di pulau Jawa, pengaruh Belanda masuk ke pedalaman hingga menimbulkan perubahan struktur sosial dan ekonomi orang Indonesia. Tidak hanya mengubah struktur sosial dan ekonomi tetapi juga struktur dari sektor kebudayaan. Masuknya pengaruh Belanda ke struktur budaya Indonesia dipahami sebagai sebuah kebudayaan indis. Gaya indis hadir sebagai suatu hasil perkembangan budaya campuran Belanda dan pribumi Jawa yang menunjukkan adanya proses historis. Kelompok pendukung kebudayaan indis adalah abdi dan pejabat kolonial. Pada masa kekuasaan Hindia-Belanda, ada tiga peristiwa kebudayaan Indis, yaitu pada upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Dalam upacara perkawinan pada masa kekuasaan Hindia-Belanda, kemewahan upacara pernikahan menggambarkan kondisi sosial calon pengantin dan keluarga. Malam sebelum acara pernikahan, calon pengantin pria akan membawa mahkota ke rumah calon pengantin wanita, diiringi dengan musik khusus perkawinan. Acara biasanya diakhiri dengan pesta dansa dan minum bir sebagai bentuk kebudayaan Eropa.
ADVERTISEMENT
Gambar 1 menunjukkan prosesi “Injak Telor”, pengantin pria menginjak telur sampai pecah tanpa menggunakan alas kaki, kemudian pengantin perempuan membersihkan pecahan telur tersebut. Prosesi “Injak Telor” adalah sebagian kecil dari berbagai upacara pernikahan adat Jawa yang perlahan mulai digantikan oleh kebudayaan indis. Pada gambar 2 menunjukkan prosesi "Tarian Pertama", pengantin pria dan wanita menari pertama kali setelah sah menjadi sepasang suami dan istri.
Gambar 1: Prosesi Injak Telur dalam Pernikahan Adat Jawa. Sumber dari https://www.istockphoto.com/id/foto/pernikahan-gm1198008511-342233172
Gambar 2: Prosesi Tarian Pertama. Sumber dari https://www.istockphoto.com/id/foto/tarian-pertama-dari-kaum-muda-kedua-mempelai-menari-tarian-pertama-mereka-gm1212579783-352061082
Saat ini, upacara pernikahan masyarakat Indonesia masih dipengaruhi oleh kebudayaan Eropa. Tren bridesmaid masuk ke Indonesia akhir-akhir ini. Secara harfiah, Bridesmaid adalah dayang-dayang, namun berkembang maknanya menjadi istilah untuk menyebut para pendamping pengantin wanita. Bridesmaid menggunakan kostum seragam yang sudah disediakan pengantin dan kemudian dibentuk menjadi model yang diinginkan.
Gambar 3: Bridesmaid Gaun Eropa. Sumber dari https://www.istockphoto.com/id/foto/pengantin-wanita-dengan-pengiring-pengantin-berpose-di-hotel-atau-kamar-pas-di-hari-gm921342884-253046765?phrase=bridesmaid%20eropa
Gambar 4: Bridesmaid Kebaya Indonesia. Sumber dari https://www.istockphoto.com/id/foto/kelompok-ditembak-pengantin-asia-dengan-pengiring-pengantin-gm1316531323-404243081?phrase=bridesmaid%20pernikahan%20jawa
Sudah tidak banyak lagi masyarakat yang masih memakai unsur kebudayaan tradisional dalam upacara pernikahan mereka. Kebanyakan acara pernikahan dilakukan di gedung dengan membawa nilai kebudayaan hanya berupa dekorasi panggung dan kostum pernikahan. Di Jawa misalnya, dengan alasan untuk menghemat biaya, serangkaian upacara pernikahan secara tradisional dipangkas sedemikian rupa. Justru ada unsur baru yang ditambahkan berupa kehadiran bridesmaid di ritual acara pernikahan masayarakat Indonesia. Hal tersebut menggambarkan bahwa pengaruh kebudayaan indis masih eksis sampai saat ini di Indonesia. Apakah itu juga berarti kita masih berada dalam kolonialisasi Eropa? Mari kita renungkan kembali....
ADVERTISEMENT
Daftar Referensi:
Edkins, Jenny and Williams, Nick Vaughan. 2010. Teori-teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional. Yogyakarta: Penerbit Baca.
Christomy, Tommy dan Yuwono, Untung. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat.