Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sedikit tentang Semiotika
16 Januari 2023 17:27 WIB
Tulisan dari INDAH FADHILLA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sebuah bacaan ringan untuk menambah pemahaman mengenai analisis tanda dan makna
ADVERTISEMENT
Sejarah semiotik bermula sejak zaman Yunani. Plato (427-347SM) dan Aristoteles (384-322SM) telah memulai sebuah teori bahasa dan makna. Akan tetapi, teori tersebut menghilang. Setelah lama menghilang, muncul dua tokoh semiotika yaitu Ferdinand de Saussure (Semiologi/1857-1913) mengembangkan semiotik strukturalis yang dikotomis dan Charles Sander Peirce (Semiotika/1839-1914) mengembangkan semiotik pragmatis yang trikotomis. Dikotomis Saussure dapat dilihat dalam penggunaan model dua pihak yaitu Signifiant-Signifie; Sintagmatik-Asosiatif; dan Langue-Parole. Trikotomis Peirce dapat dilihat dari tiga tahap dalam memaknai tanda yaitu Representamen; Object; dan Interpretant. Saussure dan Peirce mengembangkan semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain, Saussure dengan latar belakang keilmuan linguistik di Eropa dan Peirce dengan latar belakang keilmuan filsafat di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Ferdinand de Saussure membagi relasi antara penanda (signifier) dan petanda (signified) berdasarkan konvensi yang disebut dengan signifikansi. Menurut Saussure, semiotika adalah kajian yang membahas tentang tanda dalam kehidupan sosial dan hukum yang mengaturnya. Saussure sangat menekankan bahwa tanda itu memiliki makna tertentu karena sangat dipengaruhi oleh peran bahasa. Charles Sander Peirce mengemukakan bahwa tanda dalam semiotika akan selalu berkaitan dengan logika, terutama logika manusia untuk menalar adanya tanda-tanda yang muncul di sekitarnya. Pierce membagi tanda atas tiga hal, yakni ikon, indeks, dan simbol. Menurut Peirce, tanda/sign adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain, atau sesuatu yang mewaikili sesuatu yang lain dari sesuatu itu sendiri, seperti metafora.
Setelah Saussure dan Peirce, para ahli strukturalisme dan pascastrukturalisme mulai mengembangkan semiotika, seperti Roland Barthes, Levi Strauss, Louis Althusser, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Julia Kristeva, Gilles Deleuze, Felix Guattari, Umberto Eco, Zlavoj Zizek, dan lain sebagainya. Semiotika terbagi menjadi tiga cabang yaitu semantik yang membahas hubungan antara tanda dan hal-hal yang dilihat; sintaksis yang membahas hubungan antara tanda-tanda dalam struktur formal; dan pragmatik yang membahas hubungan antara tanda dan tanda yang menggunakan agen. Hoed (2014: 20—22) mengemukakan bahwa Saussure merupakan semiotikus strukturalis; Barthes dan Derrida merupakan semiotikus pascastrukturalis; Peirce dan Danesi & Perron merupakan semiotikus pragmatis; Umberto Eco merupakan semiotikus signifikasi dalam bidang komunikasi.
ADVERTISEMENT
Apakah semiotik sebuah ilmu atau teori? Alasan semiotik dikatakan sebagai sebuah ilmu (1) sudah menunjukkan dirinya sebagai suatu disiplin yang mandiri, (2) sudah memiliki perangkat metodologi yang diturunkan dari teorinya, (3) sudah dapat menghasilkan sejumlah hipotesis, (4) sudah dapat digunakan untuk melakukan prediksi, (5) temuan-temuannya memberikan kemungkinan untuk mengubah pandangan tentang dunia objektif (Danesi dan Perron dalam Hoed, 2014:18). Meskipun demikian, Hoed tetap menganggap semiotik sebagai sebuah teori yang bersumber pada dua pandangan yaitu strukturalisme dan pragmatisme.
Bahan kajian semiotik dapat menjangkau berbagai bidang ilmu seperti semiotika budaya, semiotika visual, semiotika komunikasi, dan semiotika sastra. Untuk mendisiplinkan pembahasan mengenai sastra interdisipliner, akan dibahas analisis karya sastra menggunakan teori semiotika dalam sudut pandang bahasa. Penelitian yang dilakukan oleh Hoed dengan judul Membaca Ular di Mangkuk Nabi karya Triyanto Triwikromo tahun 2009. Pada cerita yang berjudul “Delirium Mangkuk Nabi”, tokoh polisi dikategorikan sebagai kekuasaan penindas yang mewakili kapitalisme masa kini. Cerita ini termasuk cerita fantastik karena ada kesamaran batas antara ektra-natural (peristiwa aneh; di luar tokoh manusia; peristiwa ajaib) dan natural (kehadiran tokoh dan peristiwa dalam sejarah).
ADVERTISEMENT
Hoed (2014:203) juga menganggap bahwa frasa “burger murahan” dan “vending machine” merupakan representasi dari kapitalisme dan konsumerisme (Amerika) yang sedang merusak kehidupan sosial di banyak bagian dunia. Karya sastra penuh dengan alegori, dalam UMN karya Triwikromo “bisikan desis ular”; “iblis hijau”; “polisi”; “vending machine”; “burger murahan” merupakan kata-kata alegoris yang kuat dalam konteks cerita yang berkarakter fantastik. Pemilihan judul “mangkuk nabi” merupakan kata alegoris yang mengacu pada konsep ketuhanan dan religiuitas.
Untuk memahami analisis karya sastra menggunakan teori semiotika serta penerapannya dalam pembelajaran, akan dijabarkan skripsi dari Rifa Nurafia (2019) dengan judul Mitos dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan serta implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA (Kajian Mitos Roland Barthes). Yang dilakukan Nurafia adalah menganalisis unsur instrinsik berupa tema, alur/plot, tokoh dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Hasil ditemukan yaitu terdapat sembilan mitos yaitu kehidupan yang sempurna; religius moralis; pasangan serasi; orang tua baik; anak baik; dan cantik fisik kebahagiaan. Implikasi penelitian ini dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah adalah dengan menganalisis isi dan kebahasaan novel.
ADVERTISEMENT
Teknik pengumpulan data yang dilakukan Nurafia adalah membaca novel berulang kali; mengumpulkan data yaitu mencatat kutipan-kutipan yang berhubungan dengan fokus penelitian baik kata, kalimat ataupun wacana yang menggambarkan mitos; mengklasifikasikan data yaitu menyusun data sesuai dengan bentuk mitos dalam novel; membuat korpus data untuk mempermudah analisis data. Teknik analisis data yang dilakukan Nurafia adalah menganalisis unsur instrinsik; mengidentifikasi mitos dengan memberikan makna terhadap teks berdasarkan denotasi; penanda-petanda; dan konotasi untuk menemukan mitos; mengelompokkan mitos untuk dibandingkan dengan keadaan di luar teks; mengimplikasikan makna mitos dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia; membuat simpulan.
Hal di atas menjadi salah satu contoh cara kerja penggunaan teori semiotika dalam skripsi kajian sastra. Jika kalian adalah mahasiswa yang akan menggunakan teori semiotika sebagai pisau analisis di dalam skripsi kalian, bacalah buku-buku rujukan dari sumber utama agar pemahaman mengenai konsep tersebut dapat dipahami dengan baik.
ADVERTISEMENT
Bahan Bacaan
Barthes, Roland. (2016). Elemen-elemen Semiologi. Yogyakarta: Basabasi.
Hoed, Benny H. (2014). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Nurafia, Rifa. (2019). Mitos dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan serta implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA (Kajian Mitos Roland Barthes). Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.