Mamak, Tunggu Aku Empat Tahun Lagi

Konten dari Pengguna
15 Juli 2018 15:01 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indah Permata Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ibu Mendoakan Anak (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ibu Mendoakan Anak (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Empat tahun yang lalu aku pergi ke Jakarta untuk mengejar mimpiku. Berbekal beasiswa bidik misi, aku berhasil mendapatkan kursi di perguruan negeri terbaik di Indonesia. Masih teringat bagaimana mamak berteriak bangga saat aku menunjukkan kata lulus di hasil ujian SBMPTN.
ADVERTISEMENT
Kami berdua sama-sama menangis. Perjuanganku selama 12 tahun sekolah terasa lebih indah setelah aku tahu ke mana aku harus melangkah.
Namum dalam hati, kami berdua sama-sama bimbang. Keberhasilanku untuk dapat masuk ke Universitas Indonesia (UI) membuatku harus hidup terpisah dengan mamak. Mamak adalah orang tua tunggal, bapak sudah meninggal 2 tahun yang lalu. Aku adalah anak tunggal, tumpuan harapan sekaligus beban mak satu-satunya.
Jika aku pergi ke Jakarta, mamak akan tinggal sendiran di rumah bersama dengan kenangan bapak.
Aku sempat meragu dan ingin menolak pergi, aku tak bisa meninggalkan mak begitu saja di sini sendirian. Apalagi mamak adalah anak perantauan. Beliau adalah orang Batak yang diboyong bapakku ke Banyuwangi setelah menikah. Tak ada sanak saudara yang bisa menemani mak disini.
ADVERTISEMENT
Tapi mamak memaksaku. Bagi mak, masa depanku jauh lebih penting. Berbekal uang dua juta simpanan mak dan sebuah tiket kereta api yang ia beli sendiri dengan HP jadulnya, mak mengantarku pergi mengejar mimpi.
Mamak sedih, tapi beliau tak mau aku ragu untuk pergi. Lagipula mamak yakin, empat tahun waktu yang akan kami habiskan berpisah takkan membuat kami jauh satu sama lain. Mamak percaya bahwa aku akan belajar dengan giat dan membawa gelar S.T. di belakang namaku.
Mamak juga memintaku untuk percaya padanya bahwa nanti mamak akan menjemputku pulang ke Banyuwangi dalam keadaan sehat sentosa.
Mamak, Tunggu Aku Empat Tahun Lagi (1)
zoom-in-whitePerbesar
Sepanjang perjalanan kereta aku menangis. Aku takut tak bisa memenuhi harapan mamak dan menjadi orang gagal meskipun mamak sudah banting tulang menghidupiku dan mimpiku. Namun aku juga terharu pada mamak yang rela melepasku pergi demi cita-citaku meskipun beliau takut tinggal sendiri.
ADVERTISEMENT
Di kereta malam itulah aku berjanji akan menjadi mahasiswa yang berprestasi. Jangan sampai penantian mamak di rumah sendirian sia-sia hanya karena aku. Aku ingin membanggakan mamak. Aku ingin mamak melihat betapa hebatnya anak yang telah ia besarkan dengan keringat dan tangisannya selama ini.
Setelah tiga kali lebaran, mamak menepati janjinya untuk menjemputku di stasiun dalam keadaan sehat. Pada lebaran keempat, giliranku yang menjemput kedatangan mak ke Jakarta.
Berbekal penghasilan setelah magang, aku berhasil membeli tiket pesawat murah untuk mamak. Rute baru Banyuwangi-Jakarta ini sebenarnya hanya sekitar tiga jam, jauh lebih cepat daripada perjalanan 3 hari menggunakan kereta Banyuwangi-Jakarta.
Tiga jam aku menunggu di Jakarta terasa begitu lama, entah bagaimana mamak bisa menungguku selama 4 tahun hanya untuk melihatku memakai toga.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di Jakarta, kami menghabiskan satu malam bersama sambil mengobrol. Mamak bercerita bagaimana bangganya dia pada tetangga di Banyuwangi sebab ia adalah orang pertama yang berhasil naik pesawat untuk ke Jakarta. Dari awalnya hanya bisa membeli tiket kereta, kini aku sudah mampu membelikannya tiket pesawat.
Tetangga-tetanggaku juga memuji mamak karena berhasil membesarkan “anak sukses di Jakarta”.
Aku langsung tersenyum simpul. Bagiku “anak sukses di Jakarta” itu bukan apa-apa jika tidak ada “Mamak hebat di Banyuwangi”. Jangankan tiket pesawat ke Jakarta, aku juga sudah bisa membelikan mamak #tiketkemanapun sekarang karena aku sudah lulus dan akan segera bekerja satu bulan lagi.
Mamak langsung menangis mendengarku.
Besoknya aku mengajak mamak untuk pergi ke wisudaku. Besarnya Balairung dan warna warni panji jurusan setiap wisudawan membuat mamak berseru senang. Beliau berkata wisudaku mengingatkannya pada wisuda bapakku dulu. Ya, aku dan ayahku memang satu almamater.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya tangisan mamak melihatku memakai toga memiliki dua arti. Satu, karena beliau bangga melihat pencapaianku. Dua, karena beliau berhasil memenuhi janjinya pada alm. Bapak untuk membiayaiku sekolah setinggi-tingginya.
Aku masih mengingat bagaimana hebohnya tepuk tangan mamak saat aku datang ke panggung sebagai perwakilan mahasiswa teknik. Beliau menangis sambil menujuk-nujukku pada orang tua wisudawan di sampingnya. Mamak pasti sedang membanggakanku pada orang itu.
Aku biasanya risih ketika mamak melakukan itu, tapi khusus hari ini aku sangat bahagia. Akhirnya perjuanganku serta penantian mamak selama empat tahun tak sia-sia.
Mamak, terima kasih telah percaya dan menungguku selama empat tahun.