Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kehidupan Bahagia Abady
10 Juni 2024 10:00 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Indah Puspitasari Suwandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Abady. Terinspirasi dari namanya, dalam perjalanan hidup ia berusaha untuk merangkai kisah kebahagiaan abadi versinya.
ADVERTISEMENT
Pria itu berasal dari kampung kecil di Sulawesi Selatan. Ia memiliki karakter tegas, berwibawa, dan pekerja keras. Kehidupannya jauh dari kata cukup, ia harus mengusahakan semua hal sendirian. Ia merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara. Oleh karena itu, sebagai anak sulung laki-laki, ia merasa semua mata adik-adik tertuju padanya, menjadikan panutan.
Abady dengan segala tekadnya untuk memiliki pendidikan yang layak, berhasil lolos seleksi di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Dapat berkuliah di universitas terkenal seperti itu, tentunya menjadi suatu kebanggaan tersendiri.
Ia menjalani kehidupan kampusnya dengan sungguh-sungguh, Abady tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan berharga seperti ini.
Meskipun dengan segala kekurangan, khususnya dalam hal finansial, Abady berhasil menyelesaikan pendidikannya di UNHAS. Setelah lulus, ia mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan terkenal di bidang keuangan. Tidak sampai di situ, rantai kebahagiaannya terus berlanjut saat ia dapat menikah dengan pujaan hatinya, Diana.
ADVERTISEMENT
Setelah menikah, Abady dan Diana tinggal di Makassar, di rumah sederhana pinggir kota. Tidak terlalu besar, namun cukup nyaman ditempati untuk keluarga kecil mereka.
Waktu berjalan, kehidupan pernikahan mereka dikaruniai tiga anak perempuan bernama Tari, Tiwi, dan Sari. Abady dan Diana terus belajar untuk menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya. Terutama Abady, yang kala itu berhenti merokok saat anak pertamanya lahir.
Di tengah ketenangan itu, Abady mendapat kabar bahwa ia harus dipindahtugaskan ke Pontianak. Hatinya sedikit takut harus membawa ketiga anak perempuannya yang berusia 3, 8, dan 9 tahun merantau jauh. Namun, ia segera ditenangkan oleh istrinya yang terus mendampingi.
Sejujurnya, ia juga merasa bersalah melihat tangisan istrinya yang jatuh, kala mereka harus segera berangkat. Ia dapat memaklumi air mata itu, karena istrinya memiliki banyak memori baik dengan keluarga dan teman-temannya di sini.
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang kenangan di Makassar, Abady memiliki beberapa kenangan manis dengan Sari, anak bungsunya. Saat masih balita, Abady benar-benar dekat dengan Sari. Ia akan menggendong Sari yang masih tertatih saat berjalan, lalu turun bersama ke lantai satu ketika dipanggil oleh Diana untuk makan malam.
Abady adalah sosok yang terlihat dingin. Dia hanya menunjukkan reaksi pada beberapa hal yang dianggap penting. Namun, hari itu berbeda, raut khawatir tak dapat ia tutupi. Saat malam hari Sari terjatuh di kamar, keningnya sobek karena terbentur sudut kerangka tempat tidur. Darah segar mengalir berceceran di lantai. Gadis malang itu pun segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk melakukan operasi. Sayangnya, karena operasi dilakukan secara dadakan, maka hasil jahitan pun membekas dengan jelas di keningnya.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan di Makassar, kisahnya di Pontianak hanya sebentar, tetapi juga begitu berharga bagi keluarga kecil Abady. Kota kecil di Pulau Kalimantan itu menjadi saksi tahap penyesuaian mereka sebagai keluarga rantau. Mereka tidak mengenal siapapun di sana, tidak juga mengetahui budaya, bahasa, dialek, dan lainnya.
Meskipun awalnya canggung dan terbata-bata, tetapi Abady berhasil memimpin keluarganya untuk bertahan selama lima tahun di sana. Anaknya mendapat pendidikan yang baik, mereka juga dimasukkan ke sekolah musik, dan ia juga berusaha menjaga kekompakkan keluarganya dengan terus mengajak mereka berkunjung ke beberapa tempat wisata, seperti Rindang Alam dan Singkawang.
Setelah lima tahun menetap di sana, ia kembali dipindahtugaskan ke Jakarta. Hatinya berdegup kencang mendengar kabar itu. Berbeda dengan Pontianak, Jakarta adalah kota besar. Ia takut apabila keluarganya tidak diterima baik oleh orang-orang di sana. Namun, di saat yang bersamaan juga perasaannya membuncah bahagia. Jika pindah ke Jakarta, artinya ia dipercaya untuk bekerja di kota yang lebih besar, dan anak-anaknya juga bisa mendapat pendidikan yang lebih layak di sana.
ADVERTISEMENT
Benar seperti dugaannya, banyak hal terjadi di awal kedatangan mereka. Salah satu masalah terbesarnya adalah ketika anak pertama dan keduanya sulit mendapat teman, karena diremehkan sebagai anak rantau.
Kala itu mereka belum memiliki ponsel layar sentuh, sehingga mereka mendapat lirikan aneh dari anak-anak kelasnya. Namun tidak apa, mereka dapat mengatasinya dengan baik. Abady justru mendapat pelajaran, bahwa sebenarnya orang-orang di kota besar tidak semengerikan itu. Terbukti dari anak-anaknya yang mulai diajak berteman oleh siswa lain, bahkan diajak untuk beradaptasi dengan lingkungan baru ini.
Saat anak-anaknya tumbuh dewasa, Abady tetap pada karakternya yang tegas dan penuh wibawa. Ia tentu menyayangi anak-anaknya, tetapi dengan caranya sendiri. Sifatnya ini membuat anak bungsunya yang begitu perasa mulai merasa canggung. Jarak di antara mereka begitu terasa. Diana, istrinya lah yang sering menjadi penengah di antara mereka berdua.
ADVERTISEMENT
Di balik sosoknya yang dingin itu, Abady menyimpan sifat sentimental dan penuh dengan emosi. Ia cenderung menyalurkan emosinya dalam bentuk tulisan. Meskipun sudah dewasa, ia kerap kali menulis catatan harian untuk mengenang hal-hal baik yang ia alami. Pernah sekali ia menang dalam perlombaan menulis puisi di kantor. Anak-anaknya terlihat begitu bangga, meskipun itu hanya perlombaan biasa untuk Hari Kemerdekaan Indonesia.
Abady memilih untuk menetap di Bogor, tempat yang menurutnya nyaman untuk menghabiskan masa tuanya. Namun begitu, ia paham bahwa sebenarnya sang istri lebih ingin menetap di Makassar, bersama keluarga besar mereka.
Telah merantau ke beberapa kota di Indonesia, Abady menemukan kenyamanan di Bogor. Suasananya tenang dan membawa kedamaian yang menyenangkan baginya. Berbeda dengan istrinya, Abady tidak terlalu tertarik untuk pulang ke Sulawesi. Menurutnya, lebih banyak kenangan menyakitkan yang terjadi di sana.
ADVERTISEMENT
Hari itu di akhir pekan, Abady mendapat panggilan dari saudaranya. Begitu tersambung, ia mendengar suara yang bergetar hebat, diiringi isakan di tiap ujung kalimatnya. Perasaan Abady tidak karuan.
Ibunya meninggal dunia.
Hanya dengan satu kalimat, dunianya runtuh seketika. Untuk pertama kalinya, ia menangis di hadapan anak-anaknya.
Inilah penyesalan terbesar Abady, ketika ia tidak bisa berada di samping ibunya saat menghembuskan nafas terakhir. Detik itu juga, ia segera memesan tiket pesawat untuk pulang kampung, mengantarkan ibunya di tempat peristirahatan terakhir.
Pada hari pemakaman, Abady terdiam melihat makam ibunya. Suasana duka seperti ini membuatnya sadar, di dunia ini memang tidak ada kebahagiaan yang abadi.