Konten dari Pengguna

Peraih Mimpi Setinggi Angkasa

Indah Puspitasari Suwandi
Mahasiswa Jurnalistik di Teknik Grafika dan Penerbitan, Politeknik Negeri Jakarta
10 Juni 2024 14:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indah Puspitasari Suwandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Wavebreakmedia_micro, Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Wavebreakmedia_micro, Freepik.com
ADVERTISEMENT
Indah Pratiwi, namanya terinspirasi dari seorang astronot wanita Indonesia, Pratiwi Pujilestari Sudarmono. Sejak kecil, Tiwi tidak memiliki keinginan untuk menjadi astronot seperti alasan diciptakan namanya. Ia hanya ingin berani meraih mimpi-mimpinya bahkan yang setinggi angkasa sekalipun.
ADVERTISEMENT
Gadis kecil itu terdiam menatap orang-orang yang berlalu-lalang di lantai bawah. Ia memeluk tas biolanya erat, sedikit gugup karena ini pertama kalinya ia akan belajar alat musik.
Saat itu dia tidak pernah menyangka akan jatuh cinta begitu dalam dengan biola. Ia memiliki kesenangan tersendiri saat mendengar alunan musik yang dihasilkan dari gesekan senar-senar itu.
Tiwi lahir di keluarga sederhana berdarah Makassar. Kenangan masa kecilnya di kampung halaman tidak terlalu diingat, yang tersisa hanya memori dengan teman-temannya di rumah dan sekolah.
Saat pindah ke Pontianak, Tiwi semakin merasa kesepian. Kehidupan sekolah dasarnya tidak begitu menarik, ia hanya berteman seadanya. Tiwi merasa teman-teman sekolahnya hanya beberapa yang menyambut dengan baik kedatangannya. Sisanya hanya terdiam dan menatapnya aneh, mungkin karena ia merantau dari pulau lain.
ADVERTISEMENT
Di SMP, ia menyibukkan diri dengan ikut berbagai aktivitas seperti ekstrakulikuler paskibra dan band sekolah. Ia cukup menjadi perhatian ketika naik ke panggung dan membawa biolanya yang berwarna merah. Bajunya saat tampil juga tidak kalah keren, ibunya yang suka menjahit begitu senang membuatkan baju-baju cantik untuk anaknya.
Tiwi merupakan penggemar berat band d’Masiv. Ia selalu mendengarkan musik mereka melalui beberapa kaset yang sudah ia beli.
Hari itu Tiwi pulang sekolah seperti biasanya, tiba-tiba ia menatap raut wajah ibunya yang terlihat serius. Hatinya sedikit tersentil ketika mendapat kabar bahwa keluarganya harus merantau lagi ke kota lain.
Kesedihan tidak dapat ia tutupi. Tiwi telah menemukan kebahagiaan di kota kecil ini. Ia juga telah mendapat teman-teman yang baik di sini. Perasaan nyaman yang ia rasakan harus direnggut kembali karena pekerjaan ayahnya.
ADVERTISEMENT
Hawa Kota Jakarta terasa asing. Tempatnya luas, jalan raya penuh dengan mobil-mobil mewah, dan gedung pencakar langit mengintimidasinya.
Saat ini Tiwi merasa gugup ketika hendak masuk ke kelas baru. Baru duduk saja, kepalanya langsung pusing mendengar sorakan teman-teman kelasnya. Itu terjadi karena ia harus duduk di samping siswa badung yang tinggal kelas. Mereka begitu semangat menggoda Tiwi yang padahal saat itu masih tidak nyaman.
Sorak sorai perlahan mereda, ia menghela nafas lega dan merapikan sedikit rambutnya. Guru belum datang, jadilah Tiwi hanya terdiam di bangku sembari melihat teman-temannya yang asyik memainkan ponsel canggih mereka.
Tiba-tiba, seorang siswa menghampirinya dan bertanya, “Eh, username Twitter lo apa? Biar gue follow,”
Tiwi yang mendengar pertanyaan seperti itu gelagapan. Ia mengeratkan genggaman pada ponsel keluaran lama miliknya di bawah meja. Perlahan ia menggeleng untuk menjawab pertanyaan itu.
ADVERTISEMENT
Ia rasanya ingin menangis ketika teman-teman sekelasnya langsung kembali meledek dengan mengatainya anak rantau, anak Kalimantan, anak hutan, dan berbagai ucapan jahat lainnya. Semua itu dilakukan hanya karena ia tidak tahu dan tidak punya Twitter.
Melihat Tiwi yang terdiam sedih, dua siswi berusaha menenangkannya. Mereka berkata bahwa tidak usah mendengar omongan yang seperti itu. Dengan lemas, Tiwi menganggukkan kepalanya.
Waktu berlalu, dan dia sedikit demi sedikit mulai membaur dengan teman-temannya di Jakarta, meskipun masih lebih banyak canggungnya. Teman dekatnya saat SMP juga hanya dua siswi yang saat itu membelanya.
Fase kebangkitan Tiwi adalah ketika ia masuk ke SMAN 78 Jakarta, salah satu sekolah menengah atas yang diminati di daerahnya. Ia membuka lembaran baru, dan mulai bertemu dengan teman-teman yang lebih bisa menghargai.
ADVERTISEMENT
Di sana juga ia mulai tertarik untuk mengikuti beberapa aktivitas sekolah. Waktu itu Tiwi tertarik untuk mengikuti ekstrakulikuler drama musikal, ia mendaftar di divisi orkestranya. Karena ia sudah belajar dari kecil, dan keahlian bermain biolanya sekarang lumayan, ia akhirnya dengan mudah mempelajari lagu-lagu yang diberi.
Selain ekstrakulikuler, ia juga membantu ibunya menjual cokelat yang dicetak menjadi bentuk-bentuk lucu. Teman-temannya banyak yang suka, beberapa bahkan ada yang memesan secara khusus. Antusias dari teman-teman Tiwi menjadikan ibunya membuat menu baru untuk dijual, yaitu puding cokelat dan muffin. Gadis itu mendapat uang jajan tambahan lumayan banyak dari hasil jualannya.
Meskipun sibuk beraktivitas di sekolah, tentu ia tidak lupa dengan kewajiban utamanya, yaitu belajar.
ADVERTISEMENT
Sudah masuk di sekolah unggulan seperti ini, membuat Tiwi memberanikan diri untuk bermimpi lebih tinggi lagi. Ia sangat ingin mengabulkan harapan orang tua yang ingin salah satu anaknya menjadi dokter. Dengan motivasi itulah ia terus belajar dengan giat.
Saat hari pengumuman kelulusan, Tiwi tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan saat melihat layar laptop di hadapannya. Ia berhasil lulus di perguruan tinggi idamannya, yaitu Universitas Indonesia. Meskipun tidak masuk di jurusan yang diinginkan, tetapi Tiwi tetap senang karena masih bisa berkuliah di bidang kesehatan. Orang tua dan saudaranya mengucapkan selamat, dan turut bangga padanya.
Tiwi adalah anak yang mandiri dan selalu semangat dalam memperjuangkan mimpi-mimpinya. Ia memiliki banyak tantangan yang menghadang jalannya, tetapi meskipun penuh keringat dan air mata, ia tak gentar dan bahkan masih mempertahankan senyum manisnya sampai akhir.
ADVERTISEMENT
Pratiwi Sudarmono, tokoh hebat di balik nama Tiwi, kala itu juga tidak jadi terbang ke luar angkasa karena beberapa hal yang menghalanginya. Namun begitu, ia tetap berjuang dan bekerja keras mengikuti garis kehidupan yang telah ditakdirkan untuknya.