Mi Kopyok Pak Dhuwur Semarang, Bukti Kesederhanaan Juga Mampu Memikat

Indah Salimin
Senior Copywriter at Digital Skola
Konten dari Pengguna
15 Juni 2019 13:22 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indah Salimin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mi kopyok khas Semarang.  (Foto: Indah Salimin)
zoom-in-whitePerbesar
Mi kopyok khas Semarang. (Foto: Indah Salimin)
ADVERTISEMENT
Beberapa kali saat sarapan di warteg depan kosan, Saya melihat penjual mi kopyok mendorong gerobaknya melewati Saya dan teman sekosan. Sampai suatu kali, muncul juga penasaran dalam hati, 'mi kopyok itu apa toh?'. Jawab teman Saya, 'mi campur tahu, tauge lontong dan kuah. Sudah!'
ADVERTISEMENT
Saya jadi penasaran, kalau komposisinya sesederhana itu. Kenapa sepertinya masyarakat Semarang suka sekali dengan makanan ini? Dan tampaknya, kepopuleran mi kopyok ini setara dengan nasi goreng atau bubur ayam di daerah lain. Saya sering juga melihat penjual mi kopyok di berbagai sudut lain di kawasan Semarang.
Kemudian, biar penasaran ini tertuntaskan, Saya putuskan untuk mencari tempat makan mi kopyok paling kondang di Semarang. Setelah melakukan pencarian di internet dan meminta rekomendasi dari teman-teman yang adalah warga lokal, pilihan jatuh kepada Mi Kopyok Pak Dhuwur, salah satu kuliner yang cukup legendaris di Semarang.
Selalu ramai. (Foto: Indah Salimin)
Berbekal petunjuk dari teman sejawat, Saya meluncur ke kedai Pak Dhuwur di jam makan siang, Jumat (14/6). Letaknya di Jalan Jalan Tanjung No.18A, Pandansari, Semarang Tengah, Kota Semarang, tidak jauh dari Stasiun Besar Semarang Poncol. Di jalan satu arah ini, lokasi kedai berada di sebelah kiri jalan raya.
ADVERTISEMENT
Kedainya cukup sederhana. Begitu tiba, kamu akan melihat banner dengan foto Pak Dhuwur terpampang gagah menggunakan setelan blangkon. Dengan gerobak di ujung dan 12 meja, kapasitas kedai ini mungkin sekitar 60-an orang saja. Kedai ini berada di depan kantor PLN dan menjadi satu dengan beberapa kedai makanan lainnya.
Selamat siang, Pak Dhuwur. (Foto: Indah Salimin)
Berdasarkan cerita Pak Ali, putra sulung yang kini mengelola warung mi kopyok Pak Dhuwur, nama asli ayahnya adalah Harso Dinomo. Dahulu, ketika berjualan mangkal bersama beberapa penjual mi kopyok lainnya, para pelanggan memberikan julukan tersebut karena postur Harso yang lebih tinggi, atau 'dhuwur' dalam bahasa Jawa, dibandingkan penjual lainnya. Julukan itu hingga kini bertahan menjadi 'nama panggung' Harso.
Dhuwur mengawali profesinya pada 1974 dengan berkeliling menjajakan dagangannya menggunakan gerobak. Ia juga sempat merasakan sakitnya digusur saat berjualan di trotoar depan kantor PLN Semarang, tempat dimana biasanya ia mangkal. Hingga akhirnya pada 1996, ia pun mulai berjualan di kedai yang masih ditempatinya hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Resep mi kopyok dipelajari dari kakek dan ayah Dhuwur yang juga berjualan mi kopyok. Dengan kata lain, resep mi kopyok Dhuwur saat ini sudah sampai pada generasi keempat.
Banyak direkomendasikan. (Foto: Indah Salimin)
Saat ini, warung mi kopyok sudah punya empat cabang yakni di jalan Tanjung, Jalan Kyai Saleh, Banyumanik Semarang, serta satu cabang di Jakarta yang semuanya dikelola oleh keluarga. Warung buka tiap hari dari jam 08.00 WIB-16.00 WIB. Berdasarkan 'bocoran' dari Ali, warungnya sangat ramai di kisaran jam makan siang dari pukul 11.00 WIB-14.30 WIB. Maka dari itu, jika kamu malas mengantre, datanglah di luar jam padat itu, ya.
Bisa bayar dengan Gopay dan OVO. (Foto: Indah Salimin)
Saya tiba pukul 11.45 WIB, belum terlalu ramai sehingga Saya berhasil dapat tempat duduk dan langsung memesan. Cukup lima menit menanti, seporsi mi kopyok paling kondang di Semarang sudah tiba di meja Saya. Isinya memang sederhana; mi kuning, taoge, potongan tahu kopong (mirip tahu sumedang), lontong, kuah, taburan bawang merah goreng, irisan daun seledri serta pecahan kerupuk gendar, yakni kerupuk berbahan dasar nasi yang banyak ditemui di kawasan Solo.
Sederhana tapi dicari. (Foto: Indah Salimin)
Rasanya sederhana tapi memikat. Kuahnya hampir seperti kuah bakso, hanya saja dibuat tanpa kaldu daging. Rasa bumbu yang terkuat di lidah saya adalah bawang putih dan garam. Sehingga dominasi citarasanya adalah gurih dan asin. Disuap dalam kondisi hangat, membuat Saya yang sedang flu bisa merasakan segarnya. Tambahkan sambal dan bumbu kuah bawang yang tersedia di tiap meja agar rasanya makin terasa sedap.
ADVERTISEMENT
Selain resep turun-temurunnya, hal lain yang membuat Mi Kopyok Pak Dhuwur istimewa karena semua komposisinya diproduksi sendiri. Mulai dari mi, tahu, lontong hingga kerupuk gendar, seluruhnya dibuat oleh keluarga Dhuwur sendiri. Itulah yang menyebabkan citarasanya tidak bergeser meski sudah puluhan tahun berjualan.
Semuanya buatan sendiri. (Foto: Indah Salimin)
Setelah menandaskan seporsi mi kopyok untuk makan siang kali ini, Saya jadi menyadari bahwa sesuatu yang memikat banyak hati tidak harus mahal dan rumit. Kesederhanaan seporsi mi kopyok seharga Rp 13.000 per porsi, nyatanya mampu memikat hati para penikmat kuliner di Semarang. Tiap harinya, tak kurang dari 250 pengunjung berkunjung ke warung Mi Kopyok Pak Dhuwur, meludeskan 35 kilogram mi yang diuji kelayakannya oleh BPOM setiap dua bulan sekali.
ADVERTISEMENT
Jadi, kepada para pemburu kuliner di Semarang, baik para 'karnivora' maupun vegetarian, cobalah mampir ke warung Mi Kopyok Pak Dhuwur. Hayati kelezatan dari kesederhanaan rasanya dan niscaya, kamu tidak akan enggan buat kembali.
🍴 : Mi Kopyok/Lontong Pak Dhuwur
📍 : Jalan Tanjung No 18A, Semarang
💰 : Porsi biasa Rp 13.000, Porsi jumbo Rp 16.000
🛵 : Go-Food/ Grabfood Ready
⏰ : Setiap hari jam 08.00-16.00 WIB