Konten dari Pengguna

Detradisionalisasi Politik Dinasti dan Masa Depan Demokrasi

Indah Sari Rahmaini
Dosen Sosiologi Universitas Andalas
10 Oktober 2023 13:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indah Sari Rahmaini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjalan di dekat bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (1/5/2023).  Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjalan di dekat bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (1/5/2023). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat ini hingga menjelang pemilu 2024, ruang-ruang publik yang ada di Indonesia agaknya banyak dipadatkan oleh atribut kampanye dan politik baik dari pamflet yang dipajang di depan pohon hingga baliho besar yang tersusun di pinggir persimpangan jalan. Sekilas fenomena kampanye menjelang pemilu terlihat sama dan tentunya telah menjadi agenda besar setiap lima tahun sekali.
ADVERTISEMENT
Namun, politik dinasti terlihat kental dan sangat blak-blakan dalam hajatan politik elektoral kali ini. Mulai dari Jokowi dengan Kaesang yang menjadi Ketua Umum PSI, Gibran Rakabuming sebagai Wali kota Surakarta, dan Bobby Nasution sebagai Wali kota Medan. Hary Tanoe, istri, dan kelima anaknya menjadi caleg Perindo, hingga pejabat daerah seperti Banten, Lombok, Sumatera Barat, Makassar, dan daerah lainnya yang bertebaran dengan calon-calon kepala daerah dan legislatif berdarah asli (pure blood) dari keluarganya.
Hampir semua fenomena politik dinasti menjarah atmosfer demokrasi di Indonesia serta tersebar di seluruh daerah, mulai dari level daerah hingga tingkat Nasional. Media-media kampanye baik lisan maupun non lisan telah banyak menfasilitasi politik dinasti tumbuh subur di Indonesia. Keterbukaan informasi politik di ruang publik sehingga transparansi rekam jejak elite dapat dinilai oleh rakyat.
ADVERTISEMENT
Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan kekerabatan. Dinasti politik merupakan istilah yang identik dengan kerajaan disebabkan kekuasaan menjadi warisan turun temurun agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga. Politik dinasti adalah suatu hal yang ideal terjadi dalam negara monarki karena kekuasaan turun dari kekerabatan.
Namun, pada kenyataannya politik dinasti terjadi pada negara republik. Pada era klasik, potret keluarga Loredan pada tahun 1507 menjadi potret dinasti politik terkemuka di Venesia. Sejarah mencatat bahwa politik dinasti telah banyak terjadi di dunia baik di negara global north dan global south
Benih dinasti politik telah ada pada zaman feodal dengan banyaknya sejarah kekuasaan kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Revolusi dan abad pencerahan menjadi pendobrak dari adanya kekerabatan dalam sebuah negara kedaulatan karena dapat mematikan demokrasi. Tetapi, politik dinasti kembali hadir dalam wujud detradisionalisasi politik sehingga menciptakan kemunduran yang sama dengan masa yang telah berbeda.
ADVERTISEMENT
Detradisionalisasi merupakan istilah yang ada dalam modernisasi refleksif, yaitu kondisi di mana tradisi yang ada tidak hilang, melainkan lahir kembali dalam bentuk dan masa yang berbeda walaupun telah dilakukan pembaharuan-pembaharuan modernisasi. Detradisionalisasi merupakan konsekuensi dari ketidakpastian era modernisasi tingkat lanjut.
Data menunjukkan bahwa 10 persen dari total kandidat peserta pilkada 2020 dengan 52 kandidat dinasti politik. 2024 menjadi tahun yang sangat potensial mendapat angka yang lebih tinggi karena banyak pejabat negara yang telah menduduki posisi pejabat selama dua periode dan melakukan regenerasi untuk mempertahankan lingkaran dominasi politik.
Konteks politik dinasti memiliki beberapa pertimbangan baik dalam sisi pro maupun kontra dalam sepak terjangnya. Jika kita berada pada sisi pro, pertama, elite politik dinasti memiliki posisi yang lebih unggul daripada kompetitior. Personal branding telah dibangun dengan kuat sehingga ongkos politik untuk berkampanye lebih rendah tersebab masyarakat telah kenal melalui berbagai acara dan program pemerintah di mana mereka seringkali "menumpang" terlibat untuk mempersiapkan diri maju di periode berikutnya.
ADVERTISEMENT
Ongkos politik yang rendah juga akan berbanding lurus dengan rendahnya kompensasi politik yang akan ditagih pada saat periode menjabat sebagai upaya menutup kerugian jika kita menggunakan logika ekonomi.
Kedua, pemanfaatan privilege yang baik akan mengurangi tenaga yang dibutuhkan sehingga elite dapat fokus kepada tujuan dalam membangun demokrasi. Privilege jika disadari dan dikelola dengan baik justru akan lebih fokus kepada tujuan demokrasi, dengan catatan menjadi elite tidak lagi masuk dalam tujuan ekonomis dan kekuasaan semata, meskipun memang butuh masa yang sangat panjang untuk membuktikan teori ini.
Sedangkan jika kita menilik sisi kontra, pertama, politik taktis sangat bermain di sini untuk melakukan penguasaan jabatan dalam organisasi sosial masyarakat baik dalam tingkat lokal maupun nasional sehingga menciptakan koloni dalam sebuah negara. Apalagi jika politik kekerabatan ini dibangun dari dinasti keluarga bisnis, akan banyak sekali regulasi-regulasi baru tercipta yang bersifat pragmatis untuk pihak swasta dan memperburuk ekonomi kerakyatan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kedua, pamor Indonesia sebagai negara demokrasi akan ditelanjangi oleh politik dinasti sehingga cita-cita kesejahteraan bagi Indonesia akan sulit untuk dijangkau. Rakyat tidak lagi percaya bahwa pemimpin memang berdedikasi untuk negara, bukannya hanya berdedikasi untuk keluarganya. Wajah dinasti politik juga akan mematikan banyak bakat kepemimpinan di Indonesia yang rentan tercurangi oleh status quo dan status sosial.
Perputaran sistem politik elektoral masih menjadi ironi bagi Indonesia. Mekanisme pengkaderan politik pun harus dibekali dengan pendidikan politik secara idealis, tidak hanya alasan taktis semata. Gelanggang demokrasi selanjutnya diharapkan mampu membuka ruang-ruang introspeksi dalam memperbaiki sistem politik elektoral di Indonesia.