Konten dari Pengguna

Ketimpangan di Dunia Digital: Mengapa Gen Z?

Indah Sari Rahmaini
Dosen Sosiologi Universitas Andalas
15 September 2024 13:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indah Sari Rahmaini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: pexel.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: pexel.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada awal Maret 2020, pandemi Covid-19 mulai masuk ke Indonesia melalui dua orang yang tinggal di Depok. Semua aktivitas sekolah, layanan publik, dan kegiatan sehari-hari masyarakat terpengaruh oleh larangan pemerintah untuk berinteraksi secara langsung. Anak-anak sekolah diminta belajar melalui media konferensi, yang sebelumnya tidak pernah mereka kenal sebagai sarana pembelajaran. Pembelajaran di sekolah menjadi sangat bergantung pada ketersediaan jaringan internet di setiap daerah, sehingga banyak yang kehilangan akses secara virtual.
ADVERTISEMENT
Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun mengalami kecanduan game online dan menunjukkan perilaku tantrum saat dilarang oleh orang tuanya menggunakan perangkat. Sementara itu, seorang pengguna Twitter membagikan cerita di akun X tentang adik perempuannya yang gemar menonton konten YouTube seperti Ultraman melahirkan, Barbie hamil, dan konten dark sejenisnya. Seorang gadis berusia 21 tahun tertipu oleh kekasih yang ia kenal melalui aplikasi kencan, hingga motor dan ponselnya dicuri, dan ia ditinggalkan di pinggir jalan.
Sementara itu, seorang pengguna TikTok tiba-tiba menjadi viral setelah wawancara saat orientasi mahasiswa baru dengan slogan unik "bercyandaaa," yang membuatnya mendapat banyak endorsement dan penghargaan berkat slogan spontan tersebut. Lanskap dunia digital saat ini sangat kompleks bagi kita semua, terutama bagi kaum muda. Mereka tumbuh sebagai penduduk asli di ekosistem digital ini. Namun, seperti halnya dalam kehidupan nyata, tidak semua sumber daya dan manfaat ekosistem digital ini terdistribusi secara merata. Mulai dari jenis perangkat yang bisa diakses oleh generasi muda, hingga kualitas koneksi internet, hubungan mereka dengan media sosial, serta keterampilan digital yang mereka miliki, ada banyak cerita menarik yang bisa diungkapkan.
ADVERTISEMENT
Menurut Nominet Digital Youth Index, sebanyak 32% generasi muda tidak memiliki akses broadband di rumah, 16% pemuda berusia di atas 18 tahun tidak memiliki akses ke laptop atau komputer desktop, dan 50% dari mereka bergantung pada cara lain untuk terhubung ke internet di rumah. Sementara itu, hampir setengah dari generasi muda belajar secara mandiri untuk memperoleh keterampilan digital, yang setara dengan 6,9 juta anak muda di seluruh Inggris. Kelompok usia 17-19 tahun, sebanyak 32%, melaporkan bahwa internet berdampak negatif terhadap kesehatan mental mereka, dan 44% di antaranya merasa terisolasi.
Secara keseluruhan, kelompok yang paling rentan tertinggal dalam dunia digital adalah mereka yang tidak memiliki akses ke laptop atau komputer desktop, mereka yang keluarganya tidak berbicara bahasa Inggris, mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus, mereka yang menerima makanan gratis di sekolah, serta mereka yang diasuh oleh orang tua tunggal atau pengasuh.
ADVERTISEMENT
Anak muda atau generasi youth adalah kelompok usia yang tumbuh dan hidup berinteraksi langsung dengan dunia digital. Mereka lahir di tengah revolusi digital, otomatisasi teknologi, dan puncak modernisasi. Sejak tahun 2018, Generasi Z (Gen Z), yang terdiri dari orang-orang yang lahir antara tahun 1995 hingga 2012, mulai memberikan dampak signifikan terhadap dunia (Wells et al., 2018). Menurut studi Wells et al. (2018), ada tiga tren utama yang mencerminkan gaya hidup dan nilai yang dianut oleh Gen Z.
Pertama, soul seekers atau pencari ketenangan spiritual. Banyak orang dewasa di Amerika Serikat lebih mengidentifikasi diri sebagai spiritual daripada religius. Mereka tidak selalu terikat pada sistem kepercayaan tertentu, tetapi fokus pada peribadahan yang memprioritaskan kesejahteraan jiwa. Meskipun orang-orang yang berkomitmen pada lembaga keagamaan dan sistem agama tertentu juga bisa dianggap spiritual, spiritualitas tidak selalu terkait dengan agama formal. Ini juga mencerminkan gaya hidup yang mendefinisikan agama sebagai koneksi dengan kekuatan di luar diri mereka untuk mencapai kedamaian batin.
ADVERTISEMENT
Kedua, gerakan kelas menengah. Banyak orang termasuk Gen Z cenderung mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kelas menengah, meskipun terdapat pelebaran antara kelas atas dan bawah. Orang-orang lebih suka menganggap diri mereka berada di kelas menengah karena ada kenyamanan dalam identifikasi tersebut.
Ketiga, mencari tujuan dengan maksud yang jelas. Bukan hal baru bahwa industri mencoba menarik emosi konsumen, tetapi kini perusahaan memasarkan produk dengan fokus pada nilai dan tujuan yang mereka perjuangkan. Gen Z, dalam memasuki dunia kerja, juga menyelaraskan nilai-nilai mereka dengan pekerjaan sehingga mereka dapat mencintai pekerjaan dan diri mereka sendiri. Generasi ini berada di masa di mana mereka mulai merefleksikan makna hidup dan berani memiliki pandangan yang lebih mandiri.
ADVERTISEMENT