Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengenal Tata Kelola Agama di Indonesia
12 Oktober 2023 10:08 WIB
Tulisan dari Indah Sari Rahmaini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pola perilaku umat beragama di Indonesia serta dalam pelaksanaannya telah mengalami deprivatisasi sejak dahulu di Indonesia. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Greetz mengenai Religion of Java, struktur masyarakat Jawa dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan bagaimana sebuah komunitas masyarakat dalam berhubungan dengan Tuhan. Abangan yang lebih animistik, santri yang sangat kuat keislamannya, dan golongan priyayi yakni pada pejabat desa sendiri. Tesis ini meyakinkan bahwa perspektif public religion menurut Robertson Smith sudah ada sejak dahulu dalam kultur masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tata kelola agama di Indonesia juga tidak lepas dari sejarah panjang perebutan kekuasaan di Indonesia sendiri tepat setelah kemerdekaan diproklamirkan. Perumusan pancasila sebagai dasar negara juga atas negosiasi keberagaman tokoh agama. Sebelum sila yang kita ketahui sekarang, sila ketuhanan sempat diperdebatkan karena hanya bertumpu pada satu agama mayoritas di Indonesia, yakni islam. Teks pancasila yang kita ketahui sekarang adalah perwujudan dari rekognisi kemajemukan masyarakat Indonesia yang disatukan oleh pancasila. Namun sayangnya, agama dan politik saling berkaitan erat dan menjadi salah satu tren marketing politik pada pemilu presiden dua periode belakangan. Menurut Ali (2019) Populisme agama menjadi isu politik identitas yang kerap kali muncul berawal dari pemilukada Jakarta dan aksi 212. Ditambah dengan data survei yang membuktikan bahwa 15% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan ideologi politik islam di Indonesia. Isu tersebut tercermin jelas dari performa masing-masing kandidat dalam kontestasi politik baik dari KH Ma’ruf Amin sebagai pemuka agama yang memiliki power dalam memperkuat keislaman hingga Sandiaga Ugo dengan sosok yang berjiwa muda dan berlatar belakang pengusaha.
ADVERTISEMENT
Tren politik yang dipengaruhi kuat oleh agama juga mencerminkan tata kelola agama di Indonesia. Islam menjadi salah satu branding image penting pada perpolitikan Indonesia dewasa ini. Akibatnya, agama diobyektivasi menjadi kepentingan oligarki dan menjadi sangat berpengaruh atas tata kelola agama di Indonesia sendiri. Dalam Sudarto (2015) juga dijelaskan bahwa perlunya renegosiasi agama agar tidak selalu dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan dan menjadi kepentingan demokrasi semata. Agama dalam ruang publik juga harus dilihat seberapa jauh rekognisi yang lebih setara dan berkeadilan dirasakan oleh semua pemeluk agama di Indonesia. Sayangnya, pemerintah Indonesia masih belum menyediakan sarana dan kesiapan yang matang dalam sentimental agama.
Diskriminasi dalam beragama masih marak terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, apalagi daerah yang memiliki ketegangan agama yang cukup rentan atau daerah dengan distribusi agama yang cukup timpang. Komnas HAM menyatakan hampir semua wilayah di Indonesia mengalami diskriminasi pembangunan rumah ibadah. Diskriminasi tidak hanya terjadi pada agama yang diakui oleh negara, juga pada agama-agama lokal. Pembangunan rumah ibadah pada agama lokal juga kerap didiskriminasi. Relasi kuasa yang ada di suatu daerah kerap mengakibatkan sikap intoleran di suatu daerah. Diskriminasi di luar komunitas agama terjadi karena kurangnya sikap toleransi dan rekognisi atas agama lain di luar keyakinan komunitas tersebut. Hubungan masyarakat dengan Tuhan pada umumnya hanya dibahas bagaimana hubungan dengan sang khalik tanpa rujukan beragama secara humanis. Akibatnya, muncul ketegangan-ketegangan seperti penolakan pendirian rumah ibadah, izin berdomisili, maupun pemakaman jenazah.
ADVERTISEMENT
Daerah yang Mengalami Diskriminasi Agama
Sumatera Barat dan Aceh menjadi dua daerah yang mengalami kasus diskriminasi agama terbanyak di Indonesia. Mengacu pada hasil indeks kerukunan umat beragama yang diluncurkan oleh Kementerian Agama RI 2019, hasil survey menyebutkan Provinsi Sumatera Barat di bawah standar terburuk kedua setelah Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Unsur kerukunan harus memenuhi kriteria toleransi, saling pengertian, saling menghormati dan menghargai kesetaraan. Pada dimensi itu, Sumatera Barat masih buruk terutama terkait pendirian rumah ibadah, pelaksanaan ibadah bersama dan perayaan Natal.
Kasus yang terjadi di atas adalah salah satu bentuk bagaimana agama masuk ke dalam media massa dan diperbincangkan dalam ruang publik. Agama juga mengalami deprivatisasi dengan adanya peraturan khusus yang dibuat oleh pemangku kepentingan terkait hak beragama. Pola masyarakat yang cenderung homogen dan tertutup menjadi salah satu penyebab terjadinya diskriminasi agama. Masyarakat dengan mayoritas dominan memiliki permasalahan relasi kuasa sehingga minoritas menjadi tersubordinasi. Rekomendasi dalam pemecahan masalah ini perlu diselesaikan dalam ranah yang lebih mendasar yakni negosiasi dari ketimpangan relasi kuasa tersebut. Pemeluk agama lain tidak diberikan kesempatan yang sama dalam pemerintahan sehingga ia kehilangan kesempatan dalam menyuarakan haknya. Struktur masyarakat Minangkabau sangat sulit menerima toleransi beragama karena diikat oleh adat istiadat yang tercermin dalam falsafah agama Islam. Masalah ini telah terstruktur dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperbaiki rekognisi dan toleransi sesama umat beragama. Perlunya pendidikan toleransi lebih ditekankan baik dalam sekolah formal maupun pendidikan masing-masing agama agar tidak hanya berbicara soal individu kepada Tuhan, tapi juga bagaimana menjadi pemeluk agama yang baik dalam hidup bermasyarakat. Obrolan toleransi sepatutnya tidak hanya menjadi obrolan meja makan, tapi harus mampu diwujudkan tata kelola agama yang baik sehingga gesekan tersebut bisa diatasi dengan baik.
ADVERTISEMENT