Konten dari Pengguna

Puan Maharani: Kartu Sakti untuk Terciptanya Masyarakat Adaptatif

20 November 2017 19:56 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indah Sastradewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Puan Maharani (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Puan Maharani (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Barangkali, bagi penduduk kampung dan para orang tua yang hidup jauh dari perkotaan, terasing dari kemajuan teknologi yang begitu pesat, serta jauh dari perkembangan informasi yang gegap-gempita, hidup seperti biasa dan ala kadarnya adalah kenikmatan yang tiada tara. Rasa bahagia itu, secara natural, tidak bisa disangkut-pautkan dengan kemajuan dan perkembangan zaman.
ADVERTISEMENT
Tak ada beban bagi mereka, bahkan untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan “pemerintahan” dan dokumen-dokumen penting yang seharusnya dimiliki oleh setiap warga negara. Jangankan E-KTP yang dananya dikorupsi secara luar biasa, Kartu Keluarga saja mungkin mereka tidak punya. Mereka juga tidak sibuk untuk soal sertifikat tanah, yang penting mereka bisa tetap ke ladang dengan sumringah.
Tetapi kebijakan pemerintah akhir-akhir ini, mestinya tidak hanya dimaknai sebagai bentuk kehadiran dan kepedulian negara terhadap rakyatnya, melainkan sekaligus sebagai cara untuk menciptakan masyarakat yang adaptatif terhadap perkembangan dan istilah tertentu, meski akan terasa sangat rumit. Tentu adaptatif dalam skala-skala tertentu, minimalnya terhadap beberapa kartu.
Saat ini, mungkin mereka belum bisa mencerna bagaimana mesin ATM bisa mengeluarkan uang hanya dengan sebuah kartu, mereka diajak untuk membiasakan diri dengan kartu-kartu sakti program pemerintah yang bisa membantu meringankan beban hidup mereka sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Pandangan semacam itu disampaikan Puan Maharani sebagai respon terhadap “gejolak” masyarakat bawah atas munculnya persyaratan-persyaratan tertentu dengan tingkat kesulitan sederhana (sebenarnya), tapi berat bagi mereka karena tidak terbiasa. Pada satu waktu, bahkan tak jarang sebagian dari mereka menyerah untuk mendapatkan bantuan, hanya karena persoalan syarat yang begitu rumit.
Menko Puan bagikan KIP,  KIS dan PKH (Foto: Utomo Priambodo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menko Puan bagikan KIP, KIS dan PKH (Foto: Utomo Priambodo/kumparan)
Rumit dalam artian, bahwa siapapun yang menjadi Kelompok Penerima Manfaat (KPM) dari pemerintah, setidaknya sudah terekam datanya; melalui KTP, KK, atau surat keterangan lainnya. Jika tidak punya, mereka harus mengurusnya dari awal agar semua data bisa valid. Begitu juga dengan mereka yang tidak menjadi KPM tetapi layak mendapatkannya sehingga harus mengajukan dari awal (pembaruan data), perlu syarat-syarat mendasar yang harus dipenuhi. Jika tidak ada, mereka tidak bisa menjadi penerima.
ADVERTISEMENT
Sebut saja seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Program Keluarga Harapan (PKH) misalnya, masyarakat di pelosok dengan tingkat keterbatasan yang tinggi terbiasa untuk menyederhanakan persoalan, untuk membiasakan diri dengan sedikit perkembangan zaman, bahwa hanya dengan kartu itu pendidikan bisa lebih mudah, biaya kesehatan terjangkau. Bahkan nanti, ketika Bantuan Pemerintah Non-Tunai (BPNT) sudah dilaksanakan, mereka bisa mendapatkan telor dan beras dari e-warung hanya dengan menunjukkan kartu di tangan.
Puan Maharani dan pembagian kartu-kartu sakti sejatinya adalah proses pendewasaan dan pengakraban masyarakat bawah yang ada di pelosok dengan perkembangan yang seharusnya, meski secara sederhana.