Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Glorifying Mental Illness: Ketika Estetik Berujung Pelik
25 November 2021 14:24 WIB
Tulisan dari Indah Wahyu Utami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Foto oleh Kat Smith dari Pexels](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1637816405/azol9x04eqfbdnxoiqkd.jpg)
ADVERTISEMENT
Belakangan ini isu kesehatan mental menjadi salah satu topik yang tengah gencar dibahas di media sosial. Masyarakat sepertinya mulai menyadari bahwa kesehatan mental berperan penting dalam kehidupan sama hal nya dengan kesehatan jasmani. Kesadaran masyarakat akan hal tersebut membawa sebuah tren baru untuk menyampaikan informasi yang mereka ketahui mengenai kesehatan mental. Mulai dari macam-macam jenis gangguan mental sampai ke solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam bentuk kampanye. Representasi gangguan mental di media hiburan dan literatur populer awalnya bertujuan untuk menghilangkan stigma. Sayangnya representasi tersebut dapat menjerumuskan jika dimuat secara tidak tepat. Contohnya menggambarkan orang yang depresi hanya sebagai orang yang sedih dan misterius, atau menggambarkan OCD dengan stereotype jenius. Hal seperti itu bisa membuat orang lain mengidentifikasi diri dengan gangguan mental tertentu hanya berdasarkan representasi yang diunggah pada media sosial. Hal ini disebut dengan self diagnose.
ADVERTISEMENT
Di media sosial, istilah psikologi seperti depresi, anxiety, ADHD, OCD, suicide, dan bipolar merupakah kata kunci yang paling sering dijumpai. Tak jarang istilah-istilah tersebut dijadikan bahan bercandaan dan dianggap keren bahkan dimodifikasi menjadi produk fashion. Tren ini bermula dari banyaknya influencer yang mengaku memiliki gangguan mental dengan mengunggah konten seperti foto hitam putih yang menggambarkan seseorang tengah depresi melalui caption “anxiety merenggut hidupku”. Unggahan semacam itu lalu berkembang menjadi sebuah tren baru dalam masyarakat. Mereka menganggap representasi mental illness yang ditampilkan pada media sosial memiliki nilai keindahan tersendiri atau anak muda zaman sekarang menyebutnya “estetik”. Fenomena tersebut dikenal sebagai glorifikasi mental illness.
Apa itu glorifikasi mental illness?
Glorifikasi berasal dari bahasa inggris yaitu glorifying yang memiliki makna memagungkan dan memuliakan. Sedangkan dilansir dari Psychiatry.org (2018), mental illness adalah suatu kondisi kesehatan yang melibatkan perubahan emosi, pikiran, dan perilaku atau bahkan kombinasi antar ketiganya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa glorifikasi mental illness adalah penggambaran gangguan mental dengan lebih glamour, indah, dan menarik daripada kenyataannya, sehingga dapat menimbulkan keinginan seseorang untuk memiliki gangguan mental.
ADVERTISEMENT
Mengapa glorifikasi mental illness dapat terjadi?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan fenomena glorifikasi dapat terjadi yaitu :
Pertama, media berperan besar dalam berkembangnya tren glorifikasi mental illness. Media di sini dapat berupa TV, media sosial, lagu, video, buku, dan film. Seperti yang kita ketahui, belakangan konten yang membahas mengenai gangguan mental sangat diminati oleh masyarakat sehingga berbagai macam media mulai gencar mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan mental illness. Tak jarang pula media merepresentasikan kondisi mental illness dengan visual yang menarik dan komentar yang rentan membuat seseorang meromantisasi gangguan mental yang kemudian nantinya dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Selaras dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Yu (2018) yang menyebutkan bahwa acara tv maupun film tak jarang menggambarkan kondisi gangguan mental secara tidak realistis, sehingga mendorong orang-orang melakukan romantisme dari hal tersebut. Seperti pada kasus Alexa Curties seorang remaja yang hampir melakukan bunuh diri setelah menonton serial netflix “13 Reasons Why”. Ia mengungkapkan bahwa ketika menonton serial tersebut membuatnya berpikir bahwa bunuh diri adalah cara yang indah untuk mengakhiri penderitaan di dunia (Sheresta, 2018).
ADVERTISEMENT
Kedua, mekanisme koping, victimhood, emo culture dan perilaku mencari perhatian. Mekanisme koping adalah teknik yang dilakukan seseorang dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999). Kondisi ini dipercaya sebagai alasan mengapa banyak dijumpai unggahan-unggahan tentang mental illness di media sosial. Tidak sedikit dijumpai, orang yang sedang merasa penat dengan permasalahan yang dihadapi cenderung mengungkapkan isi hatinya di media sosial. Hal ini dilakukan sebagai salah satu tindakan dari mekanisme koping.
Bersamaan dengan munculnya mekanisme koping, beberapa orang juga melakukan romantisasi mental illness di media sosial karena keinginan mendapatkan perhatian dan memenuhi afeksinya. Hal itu disebabkan karena pada umumnya, seorang yang menderita gangguan mental akan mendapatkan perhatian dan dukungan dari orang-orang, sehingga mendorong orang lain mencoba untuk menjadikan dirinya sebagai penderita mental illness. Di dalam otak manusia, terdapat hormon yang berfungsi sebagai pengatur kesenangan yaitu dopamin. Ketika seseorang terbiasa menjadikan perhatian orang lain sebagai kesenangannya maka ia akan terus menerus mencoba melakukan segala cara untuk meningkatkan dopaminnya, tidak terkecuali mengikuti tren glorifikasi mental illness di media sosial yang nantinya dapat berefek jangka panjang terhadap fungsi dan kerja otak.
ADVERTISEMENT
Akibat dari glorifikasi mental illness
Maraknya glorifikasi gangguan mental dapat memberikan dampak buruk bagi diri sendiri maupun orang lain. Menganggap kondisi gangguan mental sebagai sesuatu yang keren dan menarik akan membuat orang-orang mengubah persepsi mereka terhadap kondisi tersebut yang nantinya berdampak pada orang-orang yang sedang berjuang melawan gangguan mentalnya. Mereka hanya akan dianggap mencari perhatian semata sehingga menyebabkan kesulitan untuk mencari pertolongan.
Glorifikasi mental illness juga menyebabkan adiksi terhadap sebagian orang. Ketika mereka terbiasa menjadikan atensi atau perhatian sebagai sesuatu yang menyenangkan, maka otak akan dengan otomatis mengafirmasi hal tersebut sehingga menyebabkan penderita adiksi atensi ini akan terus menerus mencari cara agar tetap mendapat perhatian guna memenuhi kebutuhan afeksinya. Selain itu bahaya lainnya adalah ketika kita terlalu sering meromantisasi gangguan mental yang secara tidak langsung melakukan sugesti sendiri yang pada akhirnya benar-benar membetuk kita sebagaimana yang kita ucapkan dan harapkan. Ketika kita selalu mengindahkan sebuah kondisi gangguan mental, maka secara tidak sadar otak kita mengafirmasi hal tersebut lalu pada akhirnya akan menciptakan emosi negatif yang tentu saja dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Penutup
Tidak ada yang salah dengan menggaungkan informasi mengenai isu kesehatan mental di media sosial. Namun yang menjadi masalah adalah ketika sebuah gangguan mental dijadikan lelucon atau sesuatu yang dianggap keren dan menarik sehingga mendorong orang lain berkeinginan untuk memiliki gangguan mental. Padahal kondisi mental seseorang merupakahn sebuah masalah yang serius, jadi tidak etis jika hal tersebut malah dijadikan sebagai tren dan lelucon. Oleh sebab itu, marilah kita sebagai generasi muda lebih bijak dalam menggunakan dan memilah informasi yang beredar di media sosial agar nantinya niat kita yang awalnya ingin meningkatkan awareness terhadap mental illness tidak berubah menjadi glorifikasi mental illness.
Referensi :
Cheung, Dawnie. (2017, June 26). When Did Having a Mental Illness Become Cool? Inkspire. Retrieved from https://inkspire.org/post/when-did-having-a-mentalillness-become-cool/-KB0PgCBTrhCdmavWTLC
ADVERTISEMENT
Dunn, E.R. (2017). BLUE IS THE NEW BLACK : How popular culture is romanticizing mental illness.
Sherestha, A. (2018). Echo: the romanticization of mental illness on tumblr. Stanford university. https://www.researchgate.net/profile/ReeyaPatel7/publication/327321983_Emotion_Regulation_and_The_Disappointing_Gift_Task_Implications_for_Understanding_Children's_Development/links/5b8867ef299bf1d5a7332fb0/Emotion-Regulation-and-The-Disappointing-Gift-Task-Implications-for-Understanding-Childrens-Development.pdf#page=71
Yu, J. (2018, October 16). Glorification of mental illness worsens cultural stigma. Retrieved from http://www.collegiatetimes.com/opinion/glorification-of-mental-illness-worsens-cultur al-stigma/article_ee290ca8-d154-11e8-8f43-6f787c05d16a.html
Goldstein, Kayla (2014, April 9). Mental Illnesses are not Accessories.
LM Psikologi UGM (2021). Glorofying Mental Illness: Perihal estetik atau masalah pelik? https://lm.psikologi.ugm.ac.id/2021/06/glorifying-mental-illness-perihal-estetik-atau-masalah-pelik/
Porter, Janet.. (2010, August 5). Depression? It’s Just the New Trendy Illness! Daily Mail.Retrieved from http://www.dailymail.co.uk/debate/article1278510/Depression-Its-just-new-trendy-illness.html
Stolzfuz, A. (2019). Question of the weeek : are mental health issues roamnticized? The Dialy American. https://www.dailyamerican.com/story/entertainment/2019/10/09/question-of-the-week-are-mental-health-issues-romanticized/43883997/