Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten dari Pengguna
Lulus Tanpa Bisa Membaca: Dilema Pendidikan Indonesia
13 Oktober 2024 9:49 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Indah Auralia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, Indonesia digemparkan dengan berita adanya puluhan siswa smp yang tidak bisa lancar membaca. Menurut wawancara yang dilakukan oleh detikjabar di tanggal 4 Agustus 2023 lalu kepada salah satu dewan guru dan koordinator Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di Pangandaran yaitu Dian Eka Purnawati, terdapat sebanyak 29 siswa siswi di SMPN 1 Mangunjaya yang tidak bisa menulis dan membaca, mereka didominasi oleh laki-laki. Kejadian tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak kejadian yang menunjukkan kemampuan membaca siswa SMP kian memburuk. Lalu, mengapa seorang anak yang tidak bisa membaca bisa diluluskan dari sekolah dasar? Apakah untuk kepentingan akreditasi sekolah? Atau karena standar pendidikan di Indonesia yang sudah mulai menurun? Jika seperti ini terus, apakah pendidikan di Indonesia akan maju?
ADVERTISEMENT
Lilik Tahmidaten dan Wawan Krismanto dalam artikel "Permasalahan Budaya Membaca di Indonesia (Studi Pustaka Tentang Problematika & Solusinya)" menuliskan bahwa Indonesia merupakan negara yang mengikuti Programme for International Student Asessment (PISA). Berdasarkam data yang disajikan oleh PISA, kemampuan membaca siswa Indonesia masih berada di kelompok bawah negara-negara yang mengikuti asessment tersebut. Dalam studi lain yang dilakukan oleh Progress in International Reading Literacy Student (PIRLS) dan Early Grade Reading Asessment (EGRA), menunjukkan data yang tidak jauh berbeda dengan PISA. Ini artinya, literasi siswa di Indonesia perlu mendapat perhatian yang lebih lagi.
Ketidakbisaan siswa SMP dalam hal mendasar seperti membaca dan menulis, merupakan suatu permasalahan yang harus diberi perhatian. Pasalnya, masalah ini akan membuat seorang siswa lebih susah memahami materi lebih lanjut di jenjang pendidikan selanjutnya. Hal ini juga menambah beban guru sebagai seorang pendidik. Ada beberapa kasus dimana seorang guru memberikan kelas tambahan untuk mengajar membaca kepada siswa di luar jam belajarnya. Apakah hal itu bisa terus kita normalisasikan?
ADVERTISEMENT
Dalam video yang dibagikan oleh akun tiktok @sarah_2293 yang merupakan seorang guru SMP, terlihat beberapa siswa yang tidak bisa membaca. Dalam video tersebut, sang pemilik akun membagikan tulisan "Indonesia sedang tidak baik-baik aja, banyak siswa/siswi SMP yang gak bisa baca dan tidak tahu huruf alfabet akhirnya guru SMP mendapat tugas tambahan di luar jam ngajar harus ngajar siswa/i membaca". Pemilik akun menegaskan agar orang tua murid lebih peka terhadap pelajaran anaknya dan lebih membimbing anak dalam belajar. Pemilik akun juga berpesan kepada guru-guru sekolah dasar untuk lebih bisa mengajarkan siswa huruf untuk membaca.
Dalam postingan instagram pada akun @mojokdotco tertulis "menyalahkan guru SD karena siswa tidak bisa membaca adalah kekonyolan, orang tuanya tuh ngapain kok nggak ngajarin anaknya membaca?", postingan tersebut mengundang komentar dari banyak khalayak. Ada yang mencuitkan komentar "masalah pendidikan kita kompleks 1. Siswa malas, guru tak berdaya; 2. Siswa gagal, dipaksa naik kelas; 3. Sekolah takut nilai buruk, guru tertekan; 4. Dinas kejar statistik, abaikan kualitas". Komentar tersebut seolah menggambarkan bagaimana dilema yang dihadapi oleh pendidikan Indonesia ini sangatlah kompleks dan membutuhkan perhatian khusus.
ADVERTISEMENT
Ada sebagian oknum yang mengatakan bahwa ketidakbisaan siswa dalam membaca merupakan akibat dari adanya Covid-19 beberapa tahun yang lalu. Ada pula yang menyalahkan guru sekolah dasar karena tidak mengajarkan dengan benar siswa siswinya untuk membaca. Padahal, apa faktanya? Siapakah yang harus disalahkan?
Siswa yang lulus tanpa bisa membaca akan mengalami kesulitan dalam belajar ke jenjang pendidikan selanjutnya. Siswa tidak akan cepat paham dengan materi karena tidak mengetahui apa isi dari materi tersebut. Kita semua pasti berfikir "mengapa siswa yang enam tahun berada di sekolah dasar namun tidak bisa membaca bisa diluluskan?". Banyak pengajar yang beranggapan bahwa jika siswa dibiarkan tinggal kelas, maka siswa tersebut secara psikis akan cenderung untuk putus sekolah dan minat belajarnya akan menurun. Siswa tersebut juga akan merasa malu karena tertinggal oleh teman seangkatannya. Namun, manakah yang lebih baik? Apakah lebih baik menurunkan kualitas lulusan? Ataukah lebih baik menjaga perasaan siswa dan orang tua nya?.
ADVERTISEMENT
Tentunya fenomena ini harus menjadi perhatian kita semua, bagaimana dilema pendidikan di Indonesia ini menjadi lebih kompleks dengan menurunnya kualitas dari lulusan sekolah kita, dan bagaimana siswa serta guru mengalami permasalahan karena ketidakbisaan siswa dalam membaca.