Repotnya Menjadi Ibu Rumah Tangga Bergelar Sarjana yang Tinggal di Kampung

Indah Rahmasari
Ibu rumah tangga yang suka menulis
Konten dari Pengguna
15 Agustus 2021 19:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indah Rahmasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : Indah Rahmasari
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Indah Rahmasari
ADVERTISEMENT
Mungkin di luaran sana gelar sarjana sangat lumrah dan biasa saja. Tapi ini tidak berlaku di kampung halaman suami saya. Kampung yang masih dikelilingi oleh sawah dan dihidupi banyak petani ini menganggap sarjana adalah manusia istimewa.
ADVERTISEMENT
Suatu hari paket datang ke rumah mertua saya, dalam sejarah hidupnya ini mungkin paket pertama yang beliau terima. Pengalaman pertama memang selalu menggoda, termasuk menerima paket pertama kali di usianya yang sudah 65 tahun. Segudang pertanyaan dilontarkan kepada saya, perihal paket dan segala proses yang membuatnya ada.
Setelah sesi wawancara antara mantu dengan mertua yang lebih mirip seperti wawancara antara HRD dengan si pelamar kerja usai, saya dibuat semremet dan emboh.
Sebagai mantu saya merasa putus asa, rasanya seperti mirip ditolak melamar kerja untuk kesekian kalinya. Sakit dan patah hati hikz.
Rentetan pertanyaan yang mertua saya ajukan tak berhasil saya jawab dengan sempurna dan malah menghasilkan gagal paham dan ambyar.
ADVERTISEMENT
Penjelasan saya tentang marketplace dan e-wallet membuat beliau bingung dan tak bisa membayangkannya. Namun di sisi lain, hal itu justru membuat mertua saya kagum dengan saya dan mulai menghubungkan dengan gelar pendidikan saya dan status pekerjaan saya sebagai orang kantoran yang di kampung suami saya dianggap “wong penak”.
Predikat pintar dan wong penak melekat dalam diri saya, dan itu cepat menyebar seantero keluarga besar layaknya corona varian delta. Predikat itu membawa ekspektasi tinggi dalam benak mertua. Saya digambarkan bak seorang dewi pengetahuan yang pintar dan tau akan banyak hal. Yah mungkin kalau beliau tahu google saya dianggap setara sama google. Mungkin saja.
Seiring berjalannya waktu, predikat yang melekat pada diri saya membawa segudang kerepotan yang membuat saya ingin menjadi nasabah BCA prioritas saja wqwqwq.
ADVERTISEMENT
Kerepotan pertama yang kerap kali muncul adalah menjawab pertanyaan kenapa memilih tidak bekerja. Orang-orang di sekitar saya kerap berpikir bahwa menjadi sarjana adalah untuk kemudian bekerja. Iyah ini sebenarnya sudah sangat basi, tapi sampai kiamat pun saya rasa akan ada pro kontra tentang itu.
Kerepotan selanjutnya lagi-lagi menjawab pertanyaan. Layaknya mengikuti kuis wants to be millioner, yang ketika menjawab pertanyaan dengan benar akan mendapat duit dan jika salah akan berhenti dari permainan.
Segudang pertanyaan kerap saya terima. Mulai dari bidang kesehatan, politik, teknologi, sosial, budaya, negara, asmara, serta kuasa Illahi yang ke semuannya mengharapkan saya tahu jawabannya, ketika tak bisa menjawab akan timbul gurat kekecewaan dari wajah mereka serta pertanyaan “mosok sampeyan gak ngerti nduk?”
ADVERTISEMENT
Meski menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sudah sangat repot menurut saya, namun ada satu kerepotan besar yang mengancam harkat dan martabat saya. Sebagai ibu rumah tangga yang bergelar sarjana, seolah ada tuntutan untuk menghasilkan anak yang baik dan pintar, la wong sarjana.
Baik dan pintar tentu menurut takaran kebanyakan orang, lebih tepatnya orang-orang di sekeliling saya. Di mana anak baik tergambar dari sifatnya yang manut, mau mendengar dan mengerjakan sesuatu yang disuruh orang tua. Mau berhenti ketika dilarang orang tua. Iya layaknya robot yang ada tombol on dan off. Sedangkan pintar tentu tentang urusan akademis. Tak peduli mereka sepiawai apa anak mereka ngegaret atau anggon wedus, tapi kalau nilai akademis sekolah jelek dianggap tidak pintar.
ADVERTISEMENT
Namun ketika sang anak tak memenuhi standar baik dan pintar, tentu sang ibu yang akan pertama kali akan disasar. Pernyataan “Ibuk’e sarjanah yo mesti anaké pinter” atau “Ibuk’e sarjanah kok anak’e nakal terus ora pinter,” sering banget terdengar. Duh kok serba salah jadinya.
Menjadi ibu memang sangat repot, apalagi ibu rumah tangga bergelar sarjana dan tinggal di kampung. Repotnya malah dobel-dobel. Gak percaya sini jadi tetangga saya.