Konten dari Pengguna

Takjil Sebagai Penghubung Toleransi Antar Umat Beragama di Indonesia

Indira Dwi Intan Putri
Saya seorang mahasiswa program studi Gizi dari Universitas Airlangga, Surabaya
11 Juni 2024 7:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indira Dwi Intan Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
www.canva.com : Beli Takjil Bonus Toleransi dalam Beragama
zoom-in-whitePerbesar
www.canva.com : Beli Takjil Bonus Toleransi dalam Beragama
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bulan Ramadan penuh berkah telah tiba. Seluruh umat muslim di Indonesia melakukan ibadah puasa secara serentak. Tradisi Ramadhan di Indonesia kembali muncul ke permukaan, seperti sholat tarawih berjamaah di masjid, tadarusan, bermain kembang api, ngabuburit, dan tidak terkecuali tradisi beli takjil yang sudah mengakar sejak dahulu kala. Umumnya, kegiatan beli takjil ini dilakukan pada waktu mendekati maghrib. Misalnya pada pukul 17.00, semua orang berbondong-bondong melangkahkan kakinya ke luar rumah dan menyalakan sepeda bermesin mereka. Mereka mengambil ancang-ancang dan menyusun rencana menu takjil apa yang harus mereka beli. Ada gorengan, es buah, kurma, dan lainnya yang menggugah selera.
ADVERTISEMENT
Bulan Ramadan yang dilalui setiap tahunnya terasa lebih menyenangkan karena adanya takjil. Dalam beberapa tahun terakhir, Ramadan yang terlihat dalam sosial media terlihat sama dan tidak ada yang spesial. Namun, pada Ramadan di tahun 2024 ini ada yang berbeda dari biasanya. Didukung dengan penggunaan sosial media yang semakin marak, fenomena spesial ini viral di mana-mana. Ibarat kata, kucing pun tahu hal-hal yang viral di Indonesia.
Takjil tahun ini menjadi trend. Hal tersebut dimulai dari unggahan pada laman sosial media TikTok, terdapat sebuah video yang menerangkan bahwa para non muslim juga membeli takjil untuk dinikmati. Hal tersebut menjadi fenomena spesial yang terjadi di bulan Ramadan tahun 2024 ini. Sekilas tidak ada yang salah, sah-sah saja mereka ingin membeli makanan pedagang kaki lima di pinggir jalan dan membeli makanan apapun yang mereka inginkan. Namanya juga bulan Ramadan, keberkahannya dirasakan oleh semua orang. Tapi mengapa hal seperti itu saja viral dan memunculkan beragam komentar yang menarik? Apakah umat nonmuslim sebenarnya dilarang membeli takjil? Tidak, bukan itu. Apakah terdapat aturan bahwa takjil hanya boleh dinikmati umat muslim? Tentu tidak, masalahnya bukan di situ, tetapi ada satu hal yang membuat kegiatan itu viral.
ADVERTISEMENT
Para masyarakat nonmuslim yang ada di Indonesia berbondong-bondong ikut membeli takjil dan mengabadikannya dalam bentuk video. Mereka berusaha untuk menyamar memakai busana muslim supaya dapat memborong takjil yang dijual. Mereka menggunakan sarung, mencoba memakai kerudung, dan berusaha menghafalkan surah Al-Fatihah maupun surat pendek. Sungguh totalitas perjuangannya demi mendapatkan takjil. Hal ini sontak menjadi hiburan masyarakat di tengah bulan Ramadan ini.
Umat nonmuslim mulai membeli takjil pada pukul 15.00 saat umat muslim masih mendekam dalam rumah. Dalam video TikTok tersebut, muncul beragam komentar dari berbagai sudut pandang. Pada unggahan video TikTok yang diunggah oleh akun ‘Atpotret’ dengan caption “Soal agama kita toleransi, tapi masalah takjil kita saingan, yang nonis udah start dari jam 3”.
ADVERTISEMENT
Komentar dalam video tersebut pun beragam. Terdapat komentar yang diunggah oleh ‘VIP’febb’ yang bertuliskan seperti berikut “tolong ya saudara”ku bersaing secara sehat ya, berburu takjil jam 4.30 kalo jam 3 kita lagi bertahan hidup, liat kecoa aja kyk liat kurma”. Sontak komentar tersebut ramai dengan 750 like. Lalu, mayoritas komentar dalam unggahan video tersebut banyak sekali yang keheranan mengapa umat nonmuslim harus memulai pertarungan berburu takjil ini pada pukul 15.00 WIB. Sebaliknya, umat muslim menanggapi seperti dalam komentar yang diunggah oleh akun ‘iaa.Mengikuti’ berbunyi “awas aja ya telur paskahnya gua abisin”. Terdapat pula komentar dalam akun ‘Atpotret’ yang mengajukan untuk menunggu takjil dengan cara menginap di rumah penjual takjil.
ADVERTISEMENT
Tidak terkecuali, bahkan pendeta pun memberikan komentar atas fenomena ‘perang’ takjil ini. Terdapat salah satu video yang diunggah dan pendeta tersebut mengucapkan dengan lantang dan penuh gembira, “Agama kita toleran, tapi soal takjil kita duluan”. Masyarakat menanggapinya dengan berbagai tanggapan. Ada yang penuh canda tawa, semangat gelora toleransi, menangis bahagia, terharu, dan merasa bahwa Ramadan tahun ini begitu indah dan meriah. Media sosial pun menjadi lebih berwarna dan penuh dengan keberagaman yang harmonis.
Beragam komentar muncul dengan berbagai suasana. Meski ada yang menyatakan ‘perang’ dengan mengajak mereka untuk berdamai bersama-sama membeli takjil pada pukul 16.30. Namun, dari berbagai ajakan ‘perang’ hingga menunggu pedagang takjil sedari subuh terdapat pula masyarakat yang bangga akan ‘perang takjil’ ini. Seperti pada komentar yang diunggah oleh ‘Rahmad Batu Bara’ tertulis “tpi kok aku senang liat mereka beli takjil gini”. Lalu terdapat balasan oleh ‘Bunda famon’ tertulis “sama, jd laris dagangan saudara kita yakan, utk beli baju lebaran”.
ADVERTISEMENT
Takjil telah menjadi pemantik toleransi di Indonesia. Hanya dari sekadar konten nonmuslim membeli takjil, toleransi di Indonesia langsung menyala bagai bara api. Dari berbagai tanggapan yang terjadi dalam satu video tersebut, terlihat bahwa Indonesia yang penuh dengan keberagaman ini dapat berdamai satu sama lain. Meski adanya perbedaan, masyarakat Indonesia mampu menjalin kebersamaan terutama di bulan Ramadan penuh berkah ini. Melalui keberkahan bulan Ramadan ini, interaksi multikultural yang berarti menyatukan kebudayaan yang berbeda mampu dirasakan oleh seluruh kalangan agama atau umat yang ada di Indonesia (Casram, 2016) .
Bahkan istilah ‘perang’ berebut takjil ini dijadikan topik konten media sosial dan membawa toleransi agama kedalamnya. Terdapat sudut pandang komedi, toleransi, keharmonisan, pertemanan, dan lainnya. Fenomena ini juga mampu menguatkan tali persaudaraan antar umat beragama dan meningkatkan perekonomian masyarakat pula (Muasbin, 2024). Tidak hanya itu, hubungan toleransi antar umat muslim dan nonmuslim yang terikat dalam aspek sosial semakin meningkat karena adanya rasa kekeluargaan, persaudaraan, dan asimilasi budaya (Jamil, 2018).
ADVERTISEMENT
Bahkan, Indonesia sangat berjuang untuk mempertahankan keberagaman lalu diciptakanlah Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 29 (Sidin, 2019). Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. Kita tidak seharusnya berkelahi, bertarung untuk menyudutkan suatu agama.
Penggunaan media sosial yang saat ini sedang marak menjadi media bukan hanya serta merta menjadi dampak negatif. Buktinya media sosial mampu membangun toleransi beragama. Konten yang dibuat oleh Gen Z ataupun milenial memberikan dampak yang besar bagi masyarakat umum. Banyak masyarakat Indonesia yang ingin keberagaman di Indonesia ini masih terus terjamin dan tidak menghilang. Maka dari itu, dibuatlah konten takjil yang memunculkan adanya perilaku toleransi agama dan masyarakat menerima dengan sangat baik, serta tidak memberikan hujatan yang mendiskriminasi agama tertentu. Masyarakat Indonesia sadar bahwa simbol “Bhineka Tunggal Ika” yang berada pada kaki sang garuda begitu penting keberadaannya dalam menjaga keharmonisan dan keselarasan perbedaan yang terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
Casram, 2016. Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural. Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, 1(2), pp. 187-198. DOI: http://dx.doi.org/10.15575/jw.v1i2.588
Jamil, 2018. Toleransi dalam Islam. Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam, 1(2), pp. 241-256. DOI:10.36670/alamin.v1i2.11
Muasbin, F., 2024. Toleransi Di Bulan Ramadhan Tidak Lagi Utopis, Luwu Utara: Kementerian Agama RI Provinsi Sulawesi Utara. Available at: https://sulsel.kemenag.go.id/opini/toleransi-di-bulan-ramadhan-tidak-lagi-utopis-EOKvy. Diakses pada 13 April 2024
Sidin, A. I., 2019. Hak Konstitusional Beragama Menurut UUD 1945, Jakarta: Pusdik MK RI. Available at: https://pusdik.mkri.id/materi/materi_97_Irman%20Putrasidin-%20Jaminan%20Hak%20Konstitusional%20Warga%20Negara.pdf. Diakses pada 13 April 2024