Konten dari Pengguna

Peran Pemeriksaan Forensik dalam Kasus Kekerasan Seksual

Indira Sukmariana
Seorang mahasiswi tingkat akhir Kriminologi di Universitas Indonesia yang berambisi untuk membuat kriminologi lebih aksesibel dan mainstream bagi pembaca awam.
23 Desember 2022 13:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indira Sukmariana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: pexels.com oleh cottonbro studio
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pexels.com oleh cottonbro studio
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual menjadi isu yang sering dibicarakan akhir-akhir ini, mengikuti meningkatnya kesadaran akan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan, terdapat 2.456 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sepanjang tahun 2021 yang dilaporkan pada lembaga layanan, dan sebanyak 2.204 kasus yang tercatat pada data pengaduan Komnas Perempuan. Angka ini kemudian tidak tercerminkan pada penanganan kasus kekerasan seksual oleh pihak berwenang. Setelah UU TPKS disahkan, harapannya ada payung hukum untuk melindungi korban dan penyintas.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh kasus adalah pada September 2022 lalu, terjadi kasus pemerkosaan terhadap P (12) di Tapos, Depok. Berdasarkan keterangan saksi, terdapat 3 pelaku yang melakukan kontak tubuh dengan korban, sedangkan lainnya menyaksikan. Hasil visum membuktikan terjadi pemerkosaan. 3 pelaku laki-laki dewasa tersebut telah ditangkap oleh kepolisian seperti yang dilaporkan pada 21 Oktober silam.
Dalam kasus kekerasan seksual, salah satu alat bukti yang dapat digunakan untuk pembuktian tindak pidana adalah hasil pemeriksaan forensik. Pemeriksaan forensik ini dapat dilakukan dalam berbagai bidang ilmu, di antaranya kedokteran, psikiatri, dan psikologi forensik.
Salah satu pemeriksaan forensik yang paling sering dilakukan adalah untuk visum et repertum atau biasa dikenal dengan “visum”. Visum adalah surat resmi hasil pemeriksaan terhadap korban oleh dokter berdasarkan permintaan penyidik maupun pihak korban. Terdapat beberapa jenis visum, namun untuk korban kekerasan seksual, dapat dilakukan visum untuk perkosaan atau kejahatan susila dan visum psikiatri.
ADVERTISEMENT
Visum kejahatan susila diawali dengan pemeriksaan fisik untuk melihat trauma umum, trauma genital, benda asing pada tubuh, dan pemeriksaan untuk air mani pada tubuh korban. Kemudian dilakukan pengumpulan sampel dari tubuh korban dari pakaian, air liur, urine, dan lainnya. Bentuk terakhir adalah pemeriksaan laboratorium seperti tes dasar infeksi menular seksual, tes kehamilan, dan masih banyak lagi.
Visum psikiatri dilakukan oleh psikiater untuk menilai kondisi psikis korban. Selain untuk menghasilkan visum, psikiater forensik juga dapat berperan sebagai saksi ahli untuk menjelaskan kerugian yang dialami korban secara psikis dan mental.
Pada kasus pemerkosaan terhadap P di Depok, visum yang dilakukan adalah visum kejahatan susila yang melihat tanda-tanda kekerasan seksual, salah satunya adalah trauma pada alat kelamin korban.
ADVERTISEMENT
Salah satu visum psikiatri yang pernah dilakukan untuk kasus kekerasan seksual adalah pada kasus yang menimpa MS di Komisi Penyiaran Indonesia pada tahun 2021 silam. MS menjalani visum psikiatri karena kekerasan tersebut terjadi pada tahun 2015, sedangkan proses hukum baru dimulai pada tahun 2021. Bukti fisik terjadinya kekerasan seksual sudah tidak ada, sehingga visum psikiatri dilakukan untuk mendalami kondisi psikis korban.
Salah satu kesulitan untuk penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual adalah prosedur dan sistem peradilan yang ada menyebabkan penderitaan ganda pada korban. Korban harus menghadapi prosedur hukum yang rumit, seperti pelaporan pada pihak kepolisian yang sering kali tidak diproses, pengulangan trauma yang dialami untuk memberikan kesaksian, hingga prosedur penyidikan dan pemeriksaan yang membuat tidak nyaman. Untuk mendapatkan visum, korban harus menjalani prosedur pelaporan kepada pihak kepolisian yang dapat meminta visum melalui surat formal. Korban harus membayar sekitar Rp150.000,00 hingga Rp300.000,00 untuk pemeriksaan jika meminta visum tanpa surat dari kepolisan. Terdapat beberapa lembaga bantuan hukum untuk korban, namun mereka memiliki sumber daya yang terbatas.
ADVERTISEMENT
Pada kasus P, misalnya, polisi tidak menindaklanjuti laporan yang masuk hingga satu bulan kemudian, hingga Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) turun tangan. Diberitakan juga ada anggota kepolisian yang mencoba mendukung pelaku. Kemudian, pada kasus MS, laporan korban berkali-kali ditolak oleh pihak kepolisian, sebelum akhirnya viral di media sosial. MS harus menghadapi pelaku kekerasan terhadapnya setiap hari, mengingat dan menghidupi ulang trauma yang dialami, dan tidak mendapatkan dukungan dari pihak kepolisian sebagai bagian dari sistem peradilan. Tentunya, bukti fisik yang ada pada korban akan hilang seiring waktu, sehingga menyulitkan proses hukum.
Pada tahun 2017, Professor Lisa Smith dari University of Leicester, Inggris dan aktivis Wangu Kanja, bersama timnya mengembangkan seperangkat alat tes DNA bagi korban pemerkosaan (self-administered DNA rape test kit) di Kenya. Dengan alat tersebut, korban pemerkosaan dapat mengambil sampel DNA setelah mengalami pemerkosaan. Dalam penelitian awal dijelaskan alat tersebut terbukti lebih efektif, murah, dan mudah diakses untuk korban pemerkosaan, terutama pada lingkungan dengan sumber daya rendah.
ADVERTISEMENT
Program dan alat tersebut tentunya sangat membantu korban kekerasan seksual, terutama korban pemerkosaan, karena tidak lagi harus mengeluarkan biaya mahal dan mengikuti prosedur yang rumit. Alat ini, sayangnya, tidak dapat digunakan di Indonesia karena ada prosedur hukum yang harus diikuti agar alat dan barang bukti dapat diterima dalam proses peradilan pidana. Prosedur tersebut sayangnya tidak didukung oleh jumlah tenaga ahli yang terkualifikasi dan peralatan yang memadai untuk melakukan pemeriksaan forensik. Hanya ada beberapa kantor polisi yang memiliki laboratorium khusus dan hanya ada beberapa yang memiliki peralatan analisis bukti lengkap.
Dengan adanya UU TPKS, diharapkan prosedur peradilan pidana yang harus dihadapi oleh korban kekerasan seksual dapat menuntun pada keadilan dengan mengedepankan kepentingan korban. Forensik sebagai penerapan ilmu dalam proses hukum diharapkan dapat terus berkembang untuk mendukung sistem peradilan yang ada. Untuk itu, setiap bagian dari sistem peradilan pidana baiknya mendapatkan pelatihan penanganan kekerasan seksual untuk mengurangi kemungkinan penderitaan ganda yang dapat terjadi.
ADVERTISEMENT