Konten dari Pengguna

Keadilan Iklim untuk Laut dan Masyarakat Pesisir

7 Juni 2024 16:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indonesia Ocean Justice Initiative tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Karenina Lasrindy & Harish Makarim
Nelayan menarik perahu untuk disandarkan di kawasan Pelabuhan Jepara, Jobokuto, Jepara, Jawa Tengah, Sabtu (3/2/2024). Foto: Yusuf Nugroho/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Nelayan menarik perahu untuk disandarkan di kawasan Pelabuhan Jepara, Jobokuto, Jepara, Jawa Tengah, Sabtu (3/2/2024). Foto: Yusuf Nugroho/ANTARA FOTO
Diskursus mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa peran laut semakin tak terpisahkan. Terlebih lagi, laut memiliki segenap jasa ekosistem yang sangat penting dalam meregulasi iklim. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change pada 2019 mencatat, laut menyerap 90% dari emisi gas rumah kaca berlebih sejak 1970-an.
ADVERTISEMENT
Laut memiliki potensi untuk mengurangi ‘kesenjangan emisi’ antara emisi saat ini dan masa depan hingga 21% untuk mencapai target 1,5°C pada 2050. Kendati demikian, laporan OECD (2021) menekankan, laut dan wilayah pesisir menjadi wilayah yang paling terdampak dari perubahan iklim.
Indonesia menempati peringkat ke-97 dari 181 negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kepadatan penduduk yang tinggi di daerah rawan bahaya, ditambah dengan ketergantungan yang kuat pada sumber daya alam, menjadikan Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2023 menyebutkan perubahan iklim terbukti meningkatkan frekuensi kejadian bencana dengan sangat drastis dan lebih ekstrem. BNPB mencatat 1.062 peristiwa cuaca ekstrem dan 26 insiden gelombang pasang atau abrasi akibat perubahan iklim sepanjang 2022.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (2020) menyatakan dampak perubahan iklim seperti kenaikan air laut, ancaman gelombang ekstrem dan banjir rob akan mengancam 42 juta penduduk Indonesia yang tinggal kurang dari 10 meter di atas permukaan laut.
Dampak perubahan iklim telah dirasakan di pulau-pulau kecil sebagaimana terlihat dalam data Satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Pulau Nipa, Pulau Anak Krakatau, Pulau Kalinambang, Pulau Anak Ladang dan Pulau Karakitang telah kehilangan wilayahnya karena terdampak kenaikan permukaan air laut.
BNPB (2020) juga mencatat selama 2016-2018, sebanyak 1.685 desa tepi laut terkena gelombang pasang. Sedangkan ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia–yang kini bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional–pada 2018 memperkirakan, kenaikan permukaan air laut di wilayah barat Indonesia setinggi 3.10-9.27 mm per tahun.
ADVERTISEMENT
Akibat perubahan iklim, suhu permukaan laut Indonesia diperkirakan meningkat sebesar 1,39-3,68 °C pada akhir abad ini (Kazcan et al., 2023). Peningkatan suhu permukaan laut menyebabkan beberapa dampak krusial, di antaranya kenaikan permukaan air laut, pemutihan karang, cuaca ekstrem, banjir di pesisir, dan perubahan migrasi ikan. Selain itu, keuntungan ekonomi sektor perikanan Indonesia berpotensi turun 15-25% pada 2050 (Kazcan et al., 2023). Bila dibiarkan, rangkaian potensi dampak itu akan memperburuk kerentanan masyarakat pesisir akibat perubahan iklim.
Nelayan dan Masyarakat Pesisir Dihadapkan dengan Ketidakadilan Iklim
Nelayan menerjang gelombang di kawasan Pelabuhan Jepara, Jobokuto, Jepara, Jawa Tengah, Sabtu (3/2/2024). Foto: Yusuf Nugroho/ANTARA FOTO
Dampak perubahan iklim tidak secara merata dirasakan semua kelompok masyarakat. Sejumlah studi menyebutkan nelayan dan masyarakat pesisir yang akan menjadi kelompok yang paling rentan terdampak.
Berdasarkan data Bank Dunia, Indonesia menempati peringkat ketiga di wilayah Asia Tenggara untuk kerentanan iklim pesisir dan perikanan.
ADVERTISEMENT
Studi Bank Dunia menunjukkan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 713, 714, 571, dan 573 menghadapi bahaya perubahan iklim paling besar, dengan tingkat perubahan spesies yang tinggi (terutama WPP 573 dan 714), intensitas gelombang panas laut yang tinggi (WPP 571 dan 573), dan potensi bencana iklim yang meningkat (terutama WPP 714 dan 713).
Selain itu, WPP 711, 713, dan 714 memiliki paparan terbesar terhadap perubahan iklim karena populasi pesisir yang tinggi, serta stok ikan yang telah dieksploitasi berlebihan (WPP 711, 713, dan 717).
Sementara WPP 713, 714, dan 718 juga sensitif terhadap perubahan iklim dengan jumlah rumah tangga nelayan yang tinggi, ketergantungan pendapatan pada perikanan, dan konsumsi ikan yang tinggi per kapita (semuanya terlihat di WPP 714, 715, dan 718), serta malnutrisi dan kemiskinan. Pada saat yang sama, kapasitas adaptasi di WPP 717, 718, dan 711 juga relatif rendah.
ADVERTISEMENT
Dari fakta-fakta ini jelas bahwa masyarakat pesisir dan nelayan akan terdampak secara disproporsional terhadap perubahan iklim. Peningkatan cuaca ekstrem memengaruhi pendapatan nelayan akibat jumlah hari melaut berkurang signifikan. Hilangnya biodiversitas laut mengharuskan nelayan menempuh jarak lebih jauh.
Selain itu, cuaca ekstrem meningkatkan frekuensi banjir di pesisir. Jumlah orang yang berisiko terkena banjir besar di pesisir Indonesia diproyeksi meningkat dari lima juta warga pada 2000 menjadi sembilan juta pada 2030-an (Kazcan et al., 2023). Kerugian akibat banjir diperkirakan mencapai USD17 miliar pada 2030 Kazcan et al., 2023).
Mengarusutamakan Keadilan Iklim
Para pria mendorong perahu nelayan ke tepi pantai sebagai tindakan pencegahan saat hujan di Kuakata, Bangladesh (26/5/2024). Foto: Munir Uz zaman/AFP
Dalam beberapa tahun terakhir, gagasan konsep keadilan iklim telah muncul sebagai upaya untuk mengintegrasikan aspek keadilan guna mengatasi perubahan iklim. Konsep keadilan iklim berupaya membagi beban dampak dan manfaat dari perubahan iklim secara adil dan merata, serta menjamin hak masyarakat rentan.
ADVERTISEMENT
Konsep keadilan iklim muncul atas fenomena ketidakadilan iklim yang terjadi di lingkup global (emisi historis antara negara maju dan negara berkembang) maupun nasional (dampak dan kerugian perubahan iklim tidak merata antar wilayah dan antar kelompok masyarakat).
Keadilan iklim mencakup dimensi keadilan rekognitif (pengakuan terhadap hak dan kebutuhan kelompok rentan), keadilan prosedural (tata cara partisipasi pengambilan kebijakan), keadilan distributif (alokasi beban dan manfaat dari perubahan iklim secara adil), dan keadilan korektif (pemulihan atas dampak perubahan iklim).
Terdapat beberapa langkah kebijakan yang dapat diambil oleh Pemerintah:
Pertama, pemerintah perlu melakukan Pemetaan Risiko Iklim dan Identifikasi Kelompok Rentan. Pemetaan risiko iklim umumnya terdiri dari pemetaan bencana/ancaman yang terkait dengan perubahan iklim dengan metodologi-metodologi tertentu. Pemetaan yang mengidentifikasi kelompok rentan juga dibutuhkan karena kebutuhan adaptasi yang berbeda-beda setiap kelompok rentan.
ADVERTISEMENT
Kedua, perlu kajian evaluasi yang mendalam soal sejauh mana program pemerintah yang terkait dengan pemetaan risiko iklim dan identifikasi kelompok rentan.
Ketiga, pengintegrasian keadilan iklim ke dalam rencana aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pemerintah perlu menyusun target-target keadilan iklim serta sistem evaluasi atas target tersebut untuk mengukur pencapaian keadilan iklim yang terdapat dalam rencana aksi mitigasi dan adaptasi nasional.
Keempat, pengembangan kebijakan dan sistem kompensasi dampak perubahan iklim. Kerugian (loss) dan kerusakan (damage) merupakan hal yang tak terhindarkan dari dampak perubahan iklim. Itulah mengapa penting memastikan kebijakan yang memberikan kompensasi kepada masyarakat terdampak.
Kelima, melakukan penguatan kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Seperti pemberdayaan dan pengembangan kapasitas masyarakat pesisir, serta bantuan sosial untuk komunitas pesisir (seperti pengembangan asuransi perubahan iklim terhadap nelayan), tindakan pemulihan dan perlindungan yang lebih kuat untuk ekosistem pesisir, serta perbaikan tata kelola.
ADVERTISEMENT