Konten dari Pengguna

Menghilangkan Disintegrasi Penanganan Perubahan Iklim dan Perlindungan Laut

8 Juni 2024 19:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indonesia Ocean Justice Initiative tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menyelam di laut Saudi. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menyelam di laut Saudi. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Ghina Raihanah & Stephanie Juwana
Hari Laut Sedunia 2024 yang jatuh di tanggal 8 Juni 2024 mengangkat tema “Catalyzing Action for Our Ocean & Climate.” Tujuannya adalah untuk menekankan eratnya hubungan antara laut dengan perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Laut memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan iklim bumi dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Sekitar 50% oksigen yang kita hirup berasal dari laut, yang juga menyerap 25% dari seluruh emisi karbon dioksida dan menangkap 90% panas berlebih yang dihasilkan oleh emisi-emisi tersebut.
Tanpa kemampuan laut untuk menyerap panas, suhu rata-rata permukaan bumi akan menjadi sekitar 36 derajat Celcius lebih tinggi, yang akan membuat sebagian besar spesies, termasuk manusia, tidak mampu bertahan hidup.
Ekosistem laut seperti lamun dan mangrove, yang biasa disebut sebagai ekosistem karbon biru, memiliki kemampuan untuk menyerap karbon dioksida hingga empat kali lebih tinggi dibandingkan hutan terestrial. Selain itu, laut dapat menjadi sumber energi terbarukan yang signifikan.
ADVERTISEMENT
Di saat bersamaan, peningkatan emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia berdampak pada kesehatan laut. Emisi ini menyebabkan peningkatan suhu laut laut, serta menyebabkan pengasaman air laut. Kondisi ini semakin diperburuk dengan degradasi ekosistem laut dan pesisir, praktik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan, dan meningkatnya polusi laut.
Pemanasan laut akibat perubahan iklim memiliki dampak langsung pada manusia dan ekosistem laut. Dampak-dampak ini meliputi kenaikan permukaan laut, gelombang badai pantai, pemanasan dan pengasaman air laut, serta perubahan siklus hidrologi.
Dampak perubahan iklim terhadap laut ini bersifat tidak dapat dipulihkan (irreversible) dan mengakibatkan gangguan pada jaring makanan laut dan pesisir, yang mempersulit ikan, burung laut, dan manusia untuk menemukan makanan yang diperlukan untuk bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Dampak ini juga mempengaruhi daerah pesisir dan pulau yang rentan, menyebabkan hilangnya nyawa, kerusakan infrastruktur, ekonomi, pariwisata, dan perikanan, serta pengungsian populasi. Di Indonesia, 70% populasi tinggal di daerah pesisir dan tujuh juta orang bergantung langsung pada laut untuk mata pencaharian mereka.

Pengitegrasian Aksi Berbasis Kelautan ke dalam Upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Selama bertahun-tahun, agenda terkait perubahan iklim dan perlindungan laut masih terdisintegrasi dibandingkan dengan isu-isu terestrial. Hal ini terlihat dari perbedaan jumlah kata "hutan" dan "laut" dalam dokumen-dokumen penting terkait perubahan iklim.
Sebagai contoh, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) 1992 menyebutkan kata "hutan" sebanyak 4 kali dan kata "laut" hanya 1 kali. Protokol Kyoto menyebutkan kata "hutan" sebanyak 10 kali dan tidak menyebutkan kata "laut" sama sekali.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Perjanjian Paris memasukkan kata "hutan" sebanyak 6 kali dan kata "laut" hanya 1 kali. Dalam dokumen UNFCCC 1992, pengakuan pertama terhadap peran ekosistem laut sebagai penyerap dan penampungan karbon secara eksplisit tercantum dalam preamble, dan secara implisit dijelaskan dalam Artikel 4d.
Tujuan perlindungan sistem iklim yang definisinya mencakup lautan beserta ekosistemnya pun menjadi fokus utama yang diatur di dalam Artikel 1 dan 2. Pada tahun 2015, laut menjadi bagian dari Pembukaan Perjanjian Paris pada the United Nations Climate Change Conference 21 (COP-21), yang mengakui laut sebagai komponen penting dari sistem iklim.
Penyebutan ini muncul dalam teks final Perjanjian Paris dengan mencatat pentingnya memastikan integritas semua ekosistem, termasuk laut. Perjanjian Paris ini menunjukkan pengakuan global tentang pentingnya hubungan antara laut dan iklim.
ADVERTISEMENT
Meskipun terdapat pencapaian signifikan sejak COP-21, aksi-aksi penanganan perubahan iklim berbasis kelautan masih belum optimal di Nationally Determined Contributions (NDCs) negara-negara. Global Stocktake (GST), yang diluncurkan pada COP-28 di Dubai pada tahun 2023, menyatakan bahwa komitmen pada NDCs saat ini belum cukup untuk mencapai target Perjanjian Paris. Oleh karena itu, negara-negara di dunia perlu meningkatkan komitmennya, salah satunya dengan menambahkan aksi-aksi berbasis kelautan.
Untuk mendukung tindakan yang lebih ambisius, komunitas laut bersatu di bawah Kemitraan Marrakech untuk Aksi Iklim Global (Marrakech Partnership for Global Climate Action), dengan dukungan UN High-Level Climate Champions, meluncurkan Ocean Breakthroughs.
Inisiatif ini bertujuan mempercepat upaya dan investasi untuk tindakan iklim berbasis laut, mencakup lima sektor utama: konservasi laut, pengiriman, pariwisata pesisir, energi terbarukan laut, dan pangan akuatik. Setiap sektor memiliki target yang dapat diukur dan berbasis ilmu pengetahuan yang harus dicapai pada tahun 2030 untuk memastikan laut yang sehat dan produktif pada tahun 2050.
ADVERTISEMENT
Salah satu kemajuan yang signifikan di tingkat global terkait isu kelautan dan perubahan iklim adalah advisory opinion yang dikeluarkan oleh International Tribunal of the Law of the Sea (ITLOS) sebagai peradilan internasional terkait hukum laut di bulan Mei 2024. ITLOS menyatakan bahwa anthropogenic emisi gas rumah kaca termasuk ke dalam definisi ‘pencemaran laut’ sebagaimana diatur dalam Pasal 1(1)(4) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Selain itu, ITLOS juga menekankan bahwa negara-negara berkewajiban mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengendalikan pencemaran dari emisi gas rumah kaca. Negara-negara memiliki kewajiban khusus untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut terkait dampak perubahan iklim, sesuai dengan Pasal 194 UNCLOS.
Walaupun advisory opinion UNCLOS tidak mengikat secara hukum, negara-negara yang sudah meratifikasi Perjanjian Paris dan UNCLOS, seperti Indonesia, perlu menunjukkan komitmennya dalam mencegah, mengurangi, dan mengendalikan emisi GRK antropogenik, serta melindungi dan melestarikan lingkungan laut dari dampak perubahan iklim.
ADVERTISEMENT

Menerjemahkan Semangat Hari Laut Dunia 2024 ke dalam Aksi Konkret untuk Menangani Perubahan Iklim

Semangat Hari Laut Dunia 2024 yang menitikberatkan pada hubungan laut dan perubahan iklim diharapkan dapat setidaknya mendorong tiga hal. Pertama, advisory opinion ITLOS perlu digunakan untuk mendorong lebih banyak aksi perubahan iklim berbasis kelautan melalui pembahasan di UN Climate Meetings di bulan Juni 2024 dan COP-29 di November 2024.
Kedua, advisory opinion ITLOS diharapkan juga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam climate litigations. Hampir seluruh negara sudah mengakui UNCLOS sebagai customary international law sehingga opini-opini yang termaktub dalam putusan ITLOS tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk pengadilan lain, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Ketiga, diharapkan akan lebih banyak aksi perubahan iklim berbasis kelautan pada NDCs yang akan diajukan oleh negara-negara di tahun 2024 dan 2025. Indonesia sedang dalam proses untuk menambahkan strategi kelautan pada second NDC-nya.
ADVERTISEMENT
Perlindungan laut untuk memitigasi dan mengadaptasi perubahan iklim bukan hanya tanggung jawab perlindungan lingkungan, tetapi juga keharusan moral. Dengan menjaga laut, kita tidak hanya melestarikan sumber daya alam yang vital tetapi juga melindungi mata pencaharian jutaan orang, terutama masyarakat pesisir, yang bergantung langsung pada ekosistem laut.
Hal ini tentu dapat dicapai dengan kolaborasi internasional yang kuat dan komitmen tegas dari negara-negara untuk memastikan peran laut terus diikutsertakan dalam pembicaraan perubahan iklim.