Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Jurus Kementerian Sosial Tangani Radikalisme Bidang Sosial
27 Februari 2018 23:12 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Indonesia Seruu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Dini Fajar Yanti*
PERISTIWA World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3.000 korban. Sejak saat itu Terorisme menjadi isu Global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia. Didalam negeri juga pernah terjadi hal yang demikian, salah satunya Tragedi Bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tragedi teror terburuk dalam sejarah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Data Global Terrorism Index Tahun 2016 oleh Institute for Economic and Peace, University of Maryland, Amerika Serikat menunjukkan bahwa selama periode tahun 2014 hingga 2015, aksi radikalime yang bersifat destruktif oleh 5 kelompok radikal (Boko Haram, ISIS, Taliban, Militan Fulani dan Al-Shabbab) telah menyebabkan lebih dari 18.444 korban meninggal dunia dan 12.472 korban luka-luka.
Indonesia menjadi salah satu delegasi dalam Pertemuan Puncak Anti Terorisme Saudi-AS di Riyadh, UEA pada 20 Mei 2017. Lebih dari 50 kepala negara dari negara berpenduduk mayoritas Muslim dan pakar keamanan menghadiri Forum yang mengangkat tema “Melawan Ekstrimisme dan Terorisme” ini.
KTT ini ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Islam sebagai agama yang kerap dituding sebagai induk paham radikalisme sama sekali tidak ada hubungannya dengan berbagai kelompok radikal (ISIS). Dalam Forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Hamburg, Jerman, 7–8 Juli 2017, Presiden Jokowi pun menjadi pembicara utama untuk isu penanggulangan terorisme, salah satu poin utama yang terkait hal ini adalah pembangunan peran serta masyarakat dalam penanggulangan radikalisme melalui organisasi sosial masyarakat antara lain Nahdatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah. Hal ini menunjukkan bahwa isu ini merupakan isu yang sangat serius, kejahatan kemanusiaan, kejahatan lintas negara dan membutuhkan peran masyarakat dalam penanganannya.
ADVERTISEMENT
Peristiwa teror di Indonesia akhir-akhir ini mengalami peningkatan kejadiannya, dimulai Bom Bali tahun 2002 sampai dengan tahun 2017 ini sudah 14 kejadian besar, sehingga salah satu media menyebutkan bahwa Indonesia telah masuk pada fase darurat radikalisme. Dari 14 kejadian bom terbesar tersebut menyebabkan 839 orang luka dan 273 orang meninggal dunia. Data Kementerian Dalam Negeri Turki, dari total 4.957 militan asing ISIS yang ditangkap di Turki, warga Rusia adalah yang terbanyak di dunia yakni 804 orang, diikuti kemudian oleh warga Indonesia yakni berjumlah 435 orang (news.com.au).
Ancaman teror di dunia mulai mengalami pergeseran, bukan lagi datang dari kelompok radikal, melainkan individu-individu yang memiliki pemahaman ekstrem atau yang disebut lone wolf. Lone wolf adalah orang atau kelompok yang tidak memiliki afiliasi langsung dengan kelompok teroris, mereka teradikalisasi di internet, youtube, dan terinspirasi dari pengalaman berperang di Suriah atau Irak. Mereka beroperasi tanpa diperintah oleh siapa pun / leaderless dan sangat berbahaya karena dapat melakukan serangan secara acak. Aksi penusukan kepada anggota Brimob di Masjid Falatehan yang melukai 2 anggota Brimob merupakan salah satu bentuk teror lone wolf.
ADVERTISEMENT
Terorisme lahir dari paham radikalisme, seseorang menjadi “radikal” karena faktor kekecewaan, ketidakadilan, kemiskinan dan marjinalisasi lainnya. Ensiklopedia Indonesia menyebutkan bahwa radikalisme adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrem. Ermaya (2006) menyebutkan bahwa upaya perubahan kehidupan politik tanpa memperhitungkan adanya peraturan, ketentuan konstitusional, politis, sosial yang berlaku. Semangat radikalisme pada umum nya diwarnai oleh beberapa motif sebagai berikut (Bambang, 2011) :
1. Kesukuan, nasionalisme / separatism (etnicity, nationalism / separatism)
Tindak teror ini terjadi di daerah yang dilanda konflik antar etnis/suku atau pada suatu bangsa yang ingin memerdekan diri. Menebar teror akhirnya digunakan pula sebagai satu cara untuk mencapai tujuan atau alat perjuangan. Sasarannya jelas, yaitu etnis atau bangsa lain yang sedang diperangi.
ADVERTISEMENT
2. Kemiskinan dan kesenjangan dan globalisasi (poverty and economic disadvantage, globalisation)
Kemiskinan dan kesenjangan ternyata menjadi masalah sosial yang mampu memantik terorisme. Kemiskinan dapat dibedakan menjadi 2 macam: kemiskinan natural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural terjadi ketika penguasa justru mengeluarkan kebijakan yang malah memiskinkan rakyatnya. Jenis kemiskinan kedua punya potensi lebih tinggi bagi munculnya terorisme.
3. Non demokrasi (non democracy)
Di negara demokratis, semua warga negara memiliki kesempatan untuk menyalurkan semua pandangan politiknya. Hal serupa tentu tidak terjadi di negara non demokratis. Selain tidak memberikan kesempatan partisipasi masyarakat, penguasa non demokratis sangat mungkin juga melakukan tindakan represif terhadap rakyatnya. Keterkungkungan ini menjadi kultur subur bagi tumbuhnya benih-benih terorisme.
4. Pelanggaran harkat kemanusiaan (dehumanisation)
ADVERTISEMENT
Aksi teror akan muncul jika ada diskriminasi antar etnis atau kelompok dalam masyarakat. Ini terjadi saat ada satu kelompok diperlakukan tidak sama hanya karena warna kulit, agama, atau lainnya. Kelompok yang direndahkan akan mencari cara agar mereka didengar, diakui, dan diperlakukan sama dengan yang lain. Atmosfer seperti ini lagi-lagi akan mendorong berkembang-biaknya teror.
5. Radikalisme agama (religion)
Semangat beragama yang tidak diiringi dan didukung oleh pengetahuan agama yang cukup dan pemahaman yang benar sering membawa kepada sikap ekstrim dalam bersikap dan bertindak. Bentuk keseriusan pemerintah Indonesia dalam penanggulangan terorisme, tercermin dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). BNPT merangkul 27 Kementerian / Lembaga dalam menangani masalah radikalisme anatara lain Kementerian Sosial. Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan dan membidangi urusan dalam negeri pemerintahan untuk membantu presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan negara di bidang sosial diantaranya urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin.
ADVERTISEMENT
Sasaran Kementerian Sosial dalam pelaksanaan tugas dan fungsi sebagaimana dalam Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yaitu kemiskinan; ketelantaran; kecacatan; keterpencilan; ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; korban bencana; dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Sedangkan dalam UU No 24 Tahun 2007 disebutkan bahwa bencana terdiri dari bencana alam, bencana sosial dan bencana non alam. Teror diklasifikasikan sebagai bencana sosial, dikutip dalam undang-undang tersebut bahwa bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia, meliputi konflik dan teror.
Di Indonesia, regulasi yang mengatur mengenai teror hanya dalam lingkup tindak pidana nya yakni UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, oleh karena itu pemerintah melakukan langkah penanggulangan teroris dan radikalisme yang di komandani oleh BNPT. Kementerian Sosial berperan dalam penanganan terorisme / radikalisme yang memicu konflik sosial mengacu pada UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan PP No. 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksana UU Nomor 7 Tahun 2012. Tahap penanganan radikalisme yang memicu konflik dilakukan melalui 3 tahap yakni pencegahan, penghentian / penanganan dan pemulihan dengan penjelasan sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Tahap Pencegahan
Tahap pencegahan tercantum pada pasal 3 huruf (p) PP tersebut menyebutkan tentang upaya perlindungan sosial bagi korban terorisme radikalisme yang memicu konflik sosial yakni melalui penguatan akses Kearifan Lokal dan huruf (q) penguatan Keserasian Sosial dan pasal 10 dengan membangun sistem peringatan din
Penghargaan terhadap budaya merupakan aspek penting dalam mempertahankan bangsa dari berbagai ancaman, salah satunya radikalisme dan terorisme. Kementerian Sosial melalui Program Penguatan Kearifan Lokal, membangun kembali budaya dan nilai-nilai kearifan lokal sebagai modal persatuan dan kebersamaan sebagai bangsa yang merdeka, sebagai instrumen untuk menangkal salah satunya paham radikalisme. Penguatan Nilai-Nilai Kearifan Lokal oleh Kementerian Sosial menyasar pada organisasi atau sanggar kesenian disuatu wilayah yang mampu memberikan pengaruh positif berupa pelestarian budaya yang dapat menjadi instrumen persatuan masyarakat di wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Pendekatan penguatan harmonisasi sosial masyarakat sebagai upaya penanggulangan paham ekstremisme juga dilakukan Kementerian Sosial melalui Program Keserasian Sosial dan Desa Berketahanan. Forum Keserasian Sosial yang terdiri dari unsur dan entitas masyarakat (tokoh budaya, tokoh agama, tokoh pemuda) menjadi instrumen pelaksana proses musyawarah, penentuan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan. Hakekat Keserasian Sosial Berbasis Masyarakat dan Desa Berketahanan adalah membangun, memantapkan dan mengembangkan serta memelihara kembali kehidupan bersama diantara masyarakat, kebersamaan, serta solidaritas sesama warga masyarakat. Penanaman nilai-nilai Pancasila, 4 pilar kebangsaan, perdamaian dan anti radikalisme / terorisme dapat diintegrasikan dalam pertemuan / dialog tematik di kedua program.
Agen-agen pelopor perdamaian dibentuk oleh Kementerian Sosial dibekali dengan pemahaman tentang deteksi dini terhadap potensi konflik, indikasi radikalisme dan bencana sosial lainnya, sesuai pasal 3 huruf (f) PP No. 2 Tahun 2015 tentang pendidikan dan pelatihan perdamaian. Pelopor perdamaian sebagai sumber daya manusia pendeteksi dini ancaman persebaran paham radikalisme, bekerja sama dengan aparat keamanan ketika diketahui indikasi upaya terorisme, dan menjadi agen penyampai pesan perdamaian dan harmonisasi sosial di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
2. Tahap Penanganan
Tahap penanganan berupa tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban, pasal 32 ayat 2, Kementerian Sosial memberikan perlindungan berupa pemenuhan kebutuhan dasar (logistik) dan manajemen pengungsian. Proses penanganan pengungsian korban terorisme oleh Kementerian Sosial mengacu pada Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respon Bencana (Proyek Sphere), sehingga penanganan korban bencana di lokasi pengungsian memenuhi hak dasar pengungsi.
Dalam periode 23 Januari - 23 April 2017, Panti Sosial Marsudi Putra Handayani (PSMP) Kemensos memperoleh rujukan sejumlah 152 Warga Negara Indonesia (WNI) yang dideportasi dari berbagai negera antara lain Turki, Hongkong , Taiwan, Jepang, Brunai Darussalam. Hasil asesmen oleh pekerja sosial diperoleh beberapa informasi penting diantaranya 1) 90% deportan memiliki keinginan untuk hijrah ke negeri Syam karena memiliki keyakinan dengan hadits Nabi yang mengatakan bahwa di akhir zaman negeri yang aman dan diberkahi adalah negeri Syam ; 2) menginginkan hidup lebih baik ; 3) relasi sosial kurang baik, rata-rata menunjukkan sikap diam, dingin menarik diri, cuek, kurang komunikatif ; 4) kecewa tak dapat hijrah ke Suriah, namun mereka menerima karena sudah menjadi qodarullah (kehendak Alloh).
ADVERTISEMENT
PSMP Handayani memberikan penanganan kepada deportan berupa 1) pemenuhan kebutuhan dasar (permakanan, sandang, pakaian, shelter); 2) pemeriksaan psikologis (metode tes formal, tes kepribadian) 3) terapy psikososial (katarsis, therapi kognitif, static group, wawasan kebangsaan dan wawasan keagamaan). Deportan kemudian direunifikasi dan direintegrasikan ke keluarga dan masyarakat asalnya. Dalam melaksanakan program ini, tim PSMP Handayani bekerjasama dengan Kementerian Agama RI, Densus 88, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), C-Save dan Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia - ISPI.
3. Tahap Pemulihan
Kejadian teror dapat memberikan dampak kepada individu maupun masyarakat, dampak teror akan mempengaruhi aspek psikososial, baik untuk individu maupun masyarakat. Beberapa situasi dan implikasi pada aspek psikologis individu diantaranya kecemasan, kesedihan yang mendalam, kewaspadaan, kondisi tidak aman, frustasi, kehilangan dan kondisi keterguncangan yang membawa pengaruh pada kehidupan sosial manusia. Pada masa pemulihan pasca tanggap darurat, Kementerian Sosial melalui tenaga yang terlatih melakukan layanan dukungan psikososial bagi korban teror.
ADVERTISEMENT
Sebagai bentuk bela sungkawa dan mendukung biaya pengobatan pemulihan korban teror, Kementerian Sosial memberikan santunan luka dan meninggal dunia antara lain bagi korban bom Thamrin (12 orang luka), bom gereja Samarinda (1 meninggal dan 3 luka), korban bom Kampung Melayu (3 meninggal dan 7 luka) dan korban penusukan di Masjid Falatehan (2 orang luka).
Dalam upaya penanganan terorisme, ekstremisme dan radikalisme, Kementerian Sosial masuk pada aspek penanggulangan kemiskinan dan aspek perlindungan sosial bagi korban bencana sosial dalam hal ini korban terorisme. Upaya penanggulangan kemiskinan yang menyebabkan kesenjangan sosial sehingga memicu pemikiran-pemikiran radikal, Kementerian Sosial sebagai penerima mandat / leading sector dalam penanganan fakir miskin, sebagaimana dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, memiliki program-program unggulan yang langsung menyentuh masyarakat miskin, antara lain Program Keluarga Harapan (PKH), Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS), Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP).
ADVERTISEMENT
Penanganan radikalisme oleh Kementerian Sosial juga ditujukan bagi pelaku teror, karena isu kesenjangan sosial politik dan ekonomi masih dianggap sebagai penyebab pelaku melakukan aksinya. Kementerian Sosial melalui rekomendasi BNPT memberikan bimbingan sosial dan pelatihan keterampilan bagi eks narapidana teroris, bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) kemudian diberikan senilai Rp. 5.000.000,- per orang untuk digunakan berwirausaha. Di Tahun 2017, Kementerian Sosial telah memberikan bimbingan sosial dan bantuan UEP kepada 33 orang eks-napi teroris dengan rincian 21 orang dari Provinsi Jawa Barat dan 12 orang dari Provinsi DKI Jakarta. Di Tahun 2018, program ini direncanakan akan diperluas ke Provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Tengah.’
Sampai saat ini belum ada regulasi yang holistik terutama dalam langkah preventif / deteksi dini dalam penanganan radikalisme, yang sudah ada yaitu UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, artinya dari aspek penegakan hukum. Ke depan diperlukan regulasi dalam penanganan radikalisme yang mendasari dalam langkah-langkah preventif, kuratif dan pemulihan.
ADVERTISEMENT
Inisiasi baru program Kementerian Sosial di tahun 2018 dalam merespon fenomena radikalisme dan terorisme diantaranya :
1. Rapat Koordinasi dan Pemantapan Tenaga Pelopor Penanganan Radikalisme
Tenaga pelopor perdamaian merupakan sumber daya manusia yang bertugas untuk mendeteksi dini jika terjadi indikasi bencana sosial serta berperan dalam proses penanganan dan pemulihan. Dalam kegiatan rakor dan pemantapan, tenaga pelopor perdamaian diberikan pelatihan sehingga memiliki pengetahuan yang memadai tentang radikalisme dan kompetensi penanganan kejadian radikalisme baik bagi korban maupun pelaku.
2. Bantuan Penguatan Sosial Keluarga Eks-Pelaku Terorisme dan Radikalisme.
Setelah Eks Teroris melalui proses hukum dan pembinaan program deradikalisasi, Kementerian Sosial memiliki peran pada tahap reunifikasi ke keluarga dan reintegrasi ke masyarakat. Eks teroris umum nya mengalami penolakan dari lingkungan asal dan kesulitan dalam mendapatkan penghasilan karena labeling dari masyarakat umum. Kementerian Sosial merencanakan program pendampingan untuk reunifikasi dan reintegrasi bagi Eks Teroris beserta keluarga, bimbingan pelatihan kewirausahaan serta pemberian modal usaha mikro.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya penanganan terorisme, ekstremisme dan radikalisme merupakan tugas bersama pemerintah, aparat keamanan dan masyarakat. Kebutuhan akan rasa aman merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga setiap orang memiliki tanggung jawab yang sama dalam mencegah perkembangan sel-sel gerakan radikalisme. Nilai-nilai Pancasila,, kebhinekaan, gotong royong, sikap saling menolong, toleransi perlu disemai kembali, termasuk membangun kembali nilai-nilai tersebut hingga di dalam keluarga, sehingga mampu menjadi sistem kontrol bagi hegemoni pengaruh ujaran kebencian dan ideologi radikal untuk mencapai kehidupan yang harmoni. (*)
Sumber :
Antaranews. 12 Oktober 2014. Keluarga Bom Bali Peringati Tragedi Bom Bali. diakses 6 Juli 2017.
Azyumardi Azra. 1996. Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalis, Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.
ADVERTISEMENT
CNN Indonesia, Denny Armandhanu. 8 Januari 2015. Ancaman Lone Wolf Juga Disebut Mengintai Indonesia. Diakses 5 Juli 2017.
Ermaya Suradinata. 2006. Seri Seminar Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama, Bandung: Gunung Djati Press.
Irfan Idris. 2017. Membumikan Deradikalisasi Soft Approach Model Pembinaan Terorisme Dari Hulu ke Hilir Secara Berkesinambungan, Jakarta: Daulat Press Jakarta.
Jainuri, Achmad. 2016. Radikalisme dan Terorisme Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi. Malang : Intrans Publishing.
Jamaludin, Adon Nasrullah. 2015. Agama dan Konflik Sosial : Studi Kerukunan Umat Beragama, Radikalisme, dan Konflik Antar Umat Beragama. Bandung : Pustaka Setia.
Kumparan.com. 25 Mei 2017. Rentetan Bom Bunuh Diri di Indonesia. Diakses 16 Juli 2017.
Bambang, Pranowo. 2011. Orang Jawa Jadi Teroris. Pustaka Alfabet. Jakarta.
ADVERTISEMENT
WJS. Poerwadarminta. 1987. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
* Penulis adalah Penyuluh Sosial pada Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial - Kementerian Sosial RI