Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Ubah Sampah Jadi Berkah
23 Februari 2018 13:51 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Indonesia Seruu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Dini Fajar Yanti*
Apa yang dilakukan 2.950 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) dan 550 keluarga non penerima PKH di Kabupaten Blitar, Jawa Timur ini patut menjadi contoh. Bagaimana tidak, mereka berhasil menyulap gunungan sampah penyebab masalah menjadi gunungan emas yang membawa keberkahan bagi banyak orang. Warga setempat menyebut “pembawa berkah” tersebut dengan Bank Sampah.
ADVERTISEMENT
Adalah Farida Masrurin, Pendamping PKH asal Kecamatan Sutojayan yang menjadi motor penggerak Bank Sampah. Konsepnya adalah dengan mengelola tumpukan sampah, memilahnya, lalu menjualnya. Tahap pemilahan inilah yang menjadikan harga jual sampah menjadi berbeda dan membawa keuntungan yang tidak sedikit.
Bila sebelumnya hanya diterapkan kepada KPM PKH dampingannya yakni di Kecamatan Sutojayan, maka kini ide Farida tersebut diadopsi oleh Kecamatan lainnya. Sedikitnya terdapat tiga kecamatan di Kabupaten Blitar yang telah menjadi model partisipasi pengelolan sampah tersebut yakni Kecamatan Sutojayan, Kademangan, dan Srengat. Seiring waktu, Bank Sampah tidak hanya sekedar menjadi solusi atas tumpukan sampah namun juga memberikan efek pemberdayaan dan penguatan sosial di masyarakat terutama bagi KPM KPH.
Belajar dari Tukang Rongsok
ADVERTISEMENT
Berdirinya Bank Sampah bukan hasil dari mantra “Sim Salabim”. Bersama rekannya Al Farabi, Farida Masrurin merintis berdirinya Bank Sampah tahun 2013 silam. Inspirasi muncul ketika Ia melihat seorang pemulung tengah memilah-milah sampah yang dikumpulkannya. Dari sana, Perempuan yang pernah aktif di Koalisi Perempuan Indonesia Cabang Blitar itu lantas mengetahui bahwa sampah yang terpilah ternyata harganya jauh lebih tinggi dibanding sampah “glondongan”.
“Setiap rumah tangga otomatis menghasilkan sampah, jika dikumpulkan lalu dikelola dengan baik pasti bisa menghasilkan rupiah. Dari situ saya lantas belajar memilah sampah dari tukang rongsok. Saya cari tau harga dari Koordinator Kabupaten (Korkab) PKH yang udah lebih dulu jalan,” ungkap Farida yang sebelumnya berprofsesi sebagai guru di Desa Bacem ini.
ADVERTISEMENT
Tidak tanggung-tanggung, Farida secara khusus mengundang tukang rongsok untuk menerangkan dengan detail sampah apa saja yang laku beserta harga jualnya setelah dipilah-pilah. Tidak sendirian, Farida mengikutsertakan KPM PKH dampingannya untuk mempelajari “ilmu persampahan” tersebut.
“Kita undang tukang rongsok untuk menerangkan itu, bagaimana caranya memilah. Misal, botol itu dipisah tutupnya baru dikerik tempelannya, bagian atas botol itu sekilonya bisa 8-10 ribu. Begitupun dengan kertas harus dipilah, HVS nilai jualnya lebih tinggi. Kita update terus harga dari pengepul,” kata Farida menerangkan.
Farida mengungkapkan, bahwa harga jual sampah sebelum dipilah itu dicatat di masing-masing buku tabungan KPM, sedangkan selisih harga jual dari sampah hasil pemilahan itu digunakan untuk operasional bank sampah, SHU (Sisa Hasil Usaha) akan diterimakan diakhir tahun. Bila awalnya Bank Sampah yang dirintis Farida belum terstruktur baik, maka di tahun 2014 pengelolaannya mulai dicatat, disusun keorganisasiannya beserta tugas dan fungsinya masing-masing bagian.
ADVERTISEMENT
Bangun Organisasi Hingga Membuka Akses Perbankan
Bukan hal mudah bagi Farida mengorganisasikan ribuan rumah tangga guna mewujudkan impian membangun Bank Sampah. Di awal masa perintisan, oleh Farida KPM dibagi menjadi kelompok-kelompok berdasarkan letak geografisnya. Satu kelompok berjumlah 15 hingga 30 KPM. Untuk merekatkan anggota tiap kelompok, maka pertemuan rutin digelar secara bergantian di rumah tiap anggota. Pengepul rongsok pun secara terjadwal datang untuk membeli sampah yang telah dipilah.
Seiring waktu berjalan, lanjut Farida, kini di setiap desa dibentuk pengurus yang berjumlah 10 orang terdiri dari tujuh KPM dan tiga non KPM. Pertemuan antar anggota pun dilakukan rutin setiap hari Sabtu. Pelibatan masyarakat secara luas pun dilakukan dimana sampah tidak hanya berasal dari anggota saja, namun siapapun diperbolehkan menabung sampah di bank sampah tersebut. Sejak tahun 2015, masyarakat tiga desa di Kecamatan Sutojayan yakni Desa Njegu, Pandanarum dan Sutojayan mulai berpatisipasi.
ADVERTISEMENT
“Yang sudah bagus mereka setornya (sampah-red) setiap bulan biar milahnya ada waktu. Mereka datang ditimbang dengan harga biasa, setelah itu uangnya dimasukkan tabungan, baru pengurus memilah, laba nya diperoleh dari hasil memilah itu untuk operasional, sisa operasional akan dibagikan di akhir tahun untuk ditabung sesuai setoran peserta. Sampah yang dikumpulkan dijual menunggu harga agak naik per 1 bulan sekali,” papar perempuan lulusan S1 Keguruan tersebut.
Tidak berhenti disitu, Farida memutar otak agar seluruh anggota yang menabung sampah di Bank Sampahnya bisa belajar menabung. Bekerjasama dengan Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), lewat Program BTPN Wow! Farida lantas mengenalkan “gerakan menabung” kepada seluruh anggota Bank Sampah.
“Nabungnya minimal 1.000 dan tidak dipotong administrasi, itu yang kita suka, mereka ngecek tabungan sendiri lewat handphone masing-masing. No handphone itulah yang kemudian menjadi no rekening, dan kita melakukan MoU di tingkat kabupaten,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Bank Sampah Berefek Pemberdayaan dan Penguatan Sosial KPM
Farida tidak pernah membayangkan, bank sampah kecil yang dulu dirintisnya sekarang berkembang pesat dan memiliki efek besar dalam hal pemberdayaan dan penguatan sosial masyarakat. Sampah yang dulu dianggap sebagai masalah, kini justru dicari dan diperebutkan karena bisa diubah menjadi duit dan menambah kesejahteraan mereka.
“Mereka dulu menganggap sampah itu ya sekedar sampah, sekarang ada hajatan mereka langsung bawah glangsing tidak malu, karena sekarang mereka tahu bahwa sampah itu bisa jadi duit,” ujarnya.
Perubahan poisitif lain yang dilihat oleh Farida adalah, saat ini masyarakat lebih cinta terhadap lingkungan. Agar menjadi lebih berdaya, Farida bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Blitar dengan memberi sejumlah pelatihan kepada masyarakat. Satu diantaranya adalah pelatihan membuat kerajinan dari sampah. Pelatihan gratis tersebut diyakini mampu menambah nilai ekonomis sampah karena merubah wujud sampah menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat.
ADVERTISEMENT
“Awalnya ogah-ogahan, tapi saya minta mereka datang saja, jangan dipikirkan konsumsinya. Akhirnya KPM bawa kue sendiri.Materi yang diberikan macam-macam, mulai dari pelatihan membuat kerajinan, kesehatan lingkungan, ketahanan pangan, dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Kerjasama yang dilakukan, tambah Farida, tidak hanya dengan Dinas Lingkungan Hidup namun juga dengan Puskesmas. Hal ini juga membawa perubahan positif terhadap pola pikir masyarakat sekaligus stigma terhadap para KPM PKH itu sendiri. Diceritakan, bila sebelumnya, KPM dianggap tidak bisa melakukan apa-apa, namun sekarang para KPM terlibat dalam berbagai kegiatan kesehatan seperti Posyandu Lansia dan penyuluhan kesehatan.
“Yang menarik mereka diikutkan kader jiwa. Setiap desa diambil masing-masing dua orang kemudian mereka dilatih mengenali orang pra gila, gila dan pasca gila. Para KPM bisa lebih bersosialisasi dan mindset mereka berubah,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Ditanya harapan, Farida mengatakan ia berharap bank sampah yang telah dirintisnya ini bisa menjadi lebih berkembang dan memberi banyak manfaat kepada seluruh Keluarga Penerima Manfaat Program Keluarga Harapan (PKH). Oleh karena itu, Farida berkeinginan menjalin kerjasama dengan banyak instansi lainnya untuk mewujudkan harapannya tersebut. (*)
*Penulis adalah Penyuluh Sosial pada Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial
Kementerian Sosial Republik Indonesia