Empati yang hilang di jalanan Jakarta

Indra Agustini
Sesdilu 60
Konten dari Pengguna
24 Februari 2018 17:18 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indra Agustini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak pernah mengalami hiruk pikuk dan kemacetan di ibu kota. Setiap penduduk Jakarta maupun penduduk pinggiran kota Jakarta yang berjuang mencari nafkah di ibu kota tidak akan lepas berjibaku melewati hari-harinya di jalan yang penuh sesak dengan berbagai macam kendaraan baik kendaraan umum, mobil pribadi, angkot maupun sepeda motor. Pemandangan yang tiap hari harus dilalui tersebut dan waktu yang harus dihabiskan di jalan membuat tingkat stress meningkat, cepat emosi dan mau menang sendiri. Persaingan ketat sudah dimulai sejak kaki meninggalkan rumah.
ADVERTISEMENT
Pengalaman tersebut juga pasti saya lalui setiap hari, perjalanan ke kantor dari Kelapa Gading cukup melelahkan setiap harinya. Setiap pagi dan sore, kemacetan, kesesakan sudah dimulai sejak keluar dari gerbang apartemen hingga memasuki gerbang kantor, pembangunan tiang-tiang LRT yang membuat jalan semakin sempit menambah semrawutnya lalu lintas di jalan.
Saya harus mengalah terhadap motor-motor yang hadir bagaikan tawon dimana-mana, yang tiba-tiba hadir ditiap sisi, senggolan dan mobil yang lecet sudah tidak terhitung lagi banyaknya. Merekalah Sang Raja Jalanan. Tidak perlu berdebat yang hanya menambah kerutan di wajah. Saya berusaha menikmati hiruk pikuk Jakarta sambil mendengarkan lagu-lagu tahun 90an di radio dan bercengkrama dengan suami yang setia mengantarkan saya. Enjoy it.
ADVERTISEMENT
Namun pengalaman di jalan yang saya alami beberapa waktu lalu membuat saya menyadari betapa kehidupan keras di jalanan di Jakarta bisa membuat sifat orang berubah, menjadi egois dan hilang empati terhadap sesama. Seperti biasa, setiap hari saya harus melewati underpass Senen menuju kantor yang terkenal dengan macetnya. Pagi itu, terdengar suara sirine mobil ambulans yang mengaung cukup kencang untuk meminta jalan kepada pengendara lain karena membawa pasien yang sakit. Meskipun jalanan sangat padat dan tak bergerak, semua kendaraan berusaha memepetkan kendaraannya sedikit demi sedikit agar ambulans tersebut dapat lewat.
Namun, hampir 3 menit suara ambulans tersebut tidak beranjak tepat di belakang mobil di belakang saya. Saya penasaran dan menoleh ke belakang, melihat sebuah mobil yang dikendarai seorang pria dengan pakaian rapi dengan mobil yang cukup bagus. Pria tersebut hanya diam dan bergeming sedikitpun untuk setidaknya berusaha meminggirkan mobilnya agar ada ruang buat ambulans untuk berjalan.
ADVERTISEMENT
Situasi yang genting dengan membawa seorang pasien yang membutuhkan pertolongan segera, membuat supir ambulans merengsek maju dengan melipat kaca spion mobil yang tidak mau menepi tersebut. Namun hal yang diluar nalarpun diperlihatkan oleh sang supir dengan mengeluarkan kata-kata penuh emosi kepada supir ambulans dan perdebatanpun tak terhindarkan. Dengan sikap yang sangat profesional dan nalurinya untuk mengutamakan keselamatan sang pasien, dimana setiap detik waktu sangat berharga bagi sang pasien, supir ambulans tersebut tidak terlalu memperdulikan kata-kata kasar yang diucapkan pria tersebut. Meskipun jalanan masih tidak bergerak, namun akhirnya ambulans tersebut mampu menembus sesaknya jalanan Jakarta.
Mungkin kita tidak kenal dengan pasien tersebut, tapi dia bisa jadi sesorang yang kesembuhannya selalu berada ditiap doa-doa orang yang mencintainya, dia mungkin orang tua yang menjadi tulang punggung keluarganya, seorang suami yang menjadi belahan jiwa wanita di luar sana, seorang istri yang menjadi perhiasan paling istimewa bagi suaminya…. seorang anak yang menjadi pelipur lara orang tuanya.. dia bisa jadi keluarga kita..
ADVERTISEMENT
Cerita ini mungkin bukan peristiwa yang pertama didengar dan dialami, banyak dari kita mungkin melihat kejadian ini setiap hari, baik di transportasi umum maupun tempat umum. Kita mendengar bahwa bangku priority seat yang diprioritaskan untuk kalangan orang lanjut usia, wanita hamil dan orang yang memiliki kendala fisik atau membawa balita namun diisi oleh orang-orang yang fisik sehat dan sempurna tanpa memperdulikan pihak yang lebih membutuhkan. Apakah kerasnya Jakarta telah membuat rasa empati kita terhadap sesama telah mati…Berempatilah..