Senyuman Terakhir

Indra Cahya PR
Pengarang amatir yang mencoba meraih mimpi dengan cerita-ceritanya. Mahasiswa fakultas Sastra Indonesia di Universitas Pamulang. Menulis cerita juga di wattpad dengan akun @endraellux.
Konten dari Pengguna
5 Desember 2020 10:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indra Cahya PR tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pria yang berjalan pada malam hari itu adalah Chandra, duda berusia 30 tahun yang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar dekat rumahnya. Dia berjalan malam itu dengan raut wajah hampa dan terlihat lesu, orang-orang yang menegurnya hanya diabaikan dan dia hanya terus berjalan menuju rumahnya.
ADVERTISEMENT
Rumahnya tidaklah besar, cukup untuk dirinya sendiri, tapi niat awal Chandra adalah rumah tersebut dapat menjadi rumah yang penuh canda tawa anak-anaknya dan istrinya. Namun, semua itu hanya tinggal rencana saja. Empat tahun lalu, dia dan istrinya yang bernama Acha berpisah karena masalah sederhana yang terlalu dibesar-besarkan oleh sang istri. Chandra yang orangnya tidak banyak bicara dan juga terlalu sayang dengan istrinya berpikir jika bercerai adalah hal yang membuat Acha bahagia maka ia membiarkan perceraian tersebut terlaksana. Selain itu, mungkin Chandra lelah dengan sikap sang istri pada saat itu dan dia juga tidak tahu harus berbuat apa.
Chandra duduk di sofa yang sudah tua dan sedikit mulai tidak nyaman diduduki, memandang langit atap rumahnya, dengan tatapan kosong, lalu menangis. Dia pun berteriak sekencang mungkin, dan mengingat kembali kejadian tadi sore di rumah sakit.
ADVERTISEMENT
“Bapak Chandra menderita tumor di bagian otak. Kita tidak tahu detail sampai pemeriksaan lebih lanjut, tapi ada kemungkinan kanker,” Ucap dokter serius.
Chandra hanya bisa diam sejenak, lalu berbicara, “A-a-aku tidak mengerti … apakah saya akan mati, Dok? Tapi aku merasa baik-baik saja kok, Dok.” Dokter bertampang tua dan serius itu terus mencoba menjelaskan keadaannya pada Chandra, tapi Chandra hampir-hampir tidak memperhatikan. Dengan tatapan kosong, sekejur tubuhnya mulai gemetar dan matanya terlihat berkaca-kaca.
Chandra malam itu hanya bisa menangis dan terus menangis, seakan air matanya tidak akan ada habisnya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.35 dan dia belum bisa tidur, dia memikirkan anak-anaknya, Umar dan si kecil Chacha, kedua anaknya yang masih membutuhkan sosok ayah itu malah harus siap kehilangan ayahnya. Kali ini benar-benar kehilangan tidak seperti perceraian di mana mereka masih bisa bertemu. Umar dan Chacha dirawat Acha yang kini juga hidup dengan suami barunya. Perlahan mata Chandra mulai berat dan terlelap tidur, dalam tidurnya ia memimpikan kejadian empat tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Hari itu cuaca mendung, Chandra dan kedua anaknya jalan-jalan di sebuah mal. Disanalah Acha tepergok bertemu dengan mantan pacarnya dulu, mereka duduk manis dan tertawa bersama di salah satu kafe. Chacha lah yang pertama melihat sang ibu sedang bicara mesra dengan laki-laki lain. Chandra tidak langsung melabrak sang istri bersama mantan pacarnya, itu karena Chandra berusaha merespon dengan kepala dingin dan mencoba berbaik sangka.
Malamnya Acha baru pulang, dan Chandra duduk di sofa dengan tampang serius. Kedua anaknya sudah terlelap tidur. Chandra mencoba menanyakan kemana sang istri hari ini, tetapi Acha tidak menjawab jujur. Raut wajah Chandra mulai berubah karena tahu istri yang sangat ia cintai berbohong padanya. Chandra terus berusaha mengorek jawaban dari mulut istrinya, layaknya pencuri yang diinterogasi pihak berwenang.
ADVERTISEMENT
Acha mulai tidak nyaman dengan cara Chandra bertanya, mulai melawan pada sang suami. “Aku mau kemana saja seterahku dong!!! Aku juga butuh waktu untuk diri sendiri!” Chandra mulai naik pitam, dia yang biasanya berusaha tenang malah terpancing. Ia mulai mengucapkan kata-kata dan kalimat yang tidak seharusnya terucapkan. Acha yang mendengarnya merasa begitu sakit hati dan menangis sekaligus dipenuhi amarah. Dia pun berkata pada Chandra, “Kau laki-laki yang tidak punya hati, Chan. Teganya melukai hatiku. Aku tidak kuat lagi hidup bersama mu. Aku ingin cerai saja darimu!”
Chandra terbangun dari tidurnya dengan tampang kusut. Ia sadar memimpikan hari yang membuatnya hidup berantakan. Hari ini dia berusaha untuk terlihat seperti biasanya, walau dia juga harus mulai menjalani perawatan. Dia tidak ingin orang-orang di sekitarnya tahu kalau ia sakit dan juga mungkin tidak memiliki sisa umur banyak, jadi ia berusaha melakukan semuanya dengan baik dan tidak ingin ada penyesalan.
ADVERTISEMENT
Sekitar sebulan kemudian, Chandra yang habis melakukan kemoterapi, melihat Acha yang sedang duduk murung sendirian di lobi rumah sakit. Chandra menyapa, dan dia melihat wajah Acha yang terlihat sedih. Acha cukup terkejut bertemu Chandra di tempat seperti ini. Dia mulai bertanya mengapa Acha ada disini dan alasan terlihat sedih, awalnya Acha tidak berusaha menjawab dan bertanya balik mengapa Chandra ada di rumah sakit.
Mereka terdiam sejenak, lalu Chandra mengajak Acha ke suatu tempat yang baru terpikirkan olehnya. Acha yang tidak ada kegiatan, menerima ajakan Chandra sambil menunjukan senyuman terbaiknya. Chandra senang melihat senyuman Acha—senyuman yang membuat dirinya jatuh cinta pada Acha.
Mereka duduk santai di taman yang biasa mereka kunjungi dulu. Duduk menghadap kolam yang ada di pusat taman, sambil meminum minuman yang mereka beli di kedai seberang taman. Awalnya mereka hanya membicarakan hal-hal umum saja, kemudian Acha mulai membicarakan mengenai rumah tangganya bersama mantan pacarnya itu yang hanya seumur jagung, dan laki-laki itu telah meninggalkannya. Dalam keheningan mereka hanya menatap sejenak pemandangan sekitar, lalu Acha mulai berbicara jujur pada Chandra.
ADVERTISEMENT
“A-aku ingin hidup lebih lama lagi,” Acha mulai menangis, “sebenarnya beberapa tahun lalu aku mengetahui kalau aku mengalami kelainan jantung yang cukup kronis. Aku menahan rasa sakit ini sendirian, tidak ingin orang lain tahu, khususnya anak-anak. Dan satu-satunya jalan adalah melakukan operasi, tapi kau tahu sendiri uang dari mana untuk melakukan itu. Ada alternatif lainnya yaitu transplatasi jantung, tetapi siapa yang mau mendonorkan jantung pada perempuan seperti ku ini, Chan? Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Dan lagi Umar dan Chacha masih kecil, aku tak sanggup meninggalkan mereka sendiri.”
Chandra terdiam mendengar ucapan Acha, dia yang awalnya juga berniat menceritakan masalah penyakitnya itu merasa tak tega karena Acha juga sedang mengalami kesulitan. Chandra berusaha menghiburnya, mengusap kepalanya yang ada di bahu Chandra, menggenggam tangan Acha dan berkata, “Semua akan baik-baik saja. Kita akan menemukan jalan keluar yang terbaik.”
ADVERTISEMENT
Beberapa minggu kemudian, Chandra berulang tahun ke-31. Acha mengizinkan dia bersama kedua anak kesayangannya itu bertemu, Chandra merasa membutuhkan dukungan emosional dari anak-anaknya itu. Dia tahu umurnya tidaklah lama lagi, dia ingin menghabiskan sisa waktunya bersama Umar dan Chacha, dia tidak ingin mereka berdua tidak memiliki kenangan indah bersama ayahnya itu. Acha melihat mereka bertiga bercanda dan tertawa bersama membuat dirinya menetaskan air mata, dia merasa bersalah pada kedua anaknya itu, memisahkan mereka dari ayah yang mereka cintai dan sayangi. Dia berharap Chandra bisa menjaga kedua anaknya setelah dirinya tiada.
Chandra kembali ke rumahnya setelah menghabiskan waktu ulang tahunnya bersama Acha dan anak-anaknya. Dia kembali menangis, sedih karena harus meninggalkan anak-anaknya nanti. Tapi dia teringat perkataan Chacha dan Umar mengenai ibunya, “Mama akhir-akhir ini terlihat lelah dan tidak banyak beraktifitas. Aku khawatir pada mama, aku ingin mama bisa kembali seperti sebelumnya, bermain dan mengajarkanku banyak hal.” Sambung Umar, “Kami tidak bisa membayangkan bagaimana kalau terjadi suatu hal buruk pada mama. Papa tolong mama ya, agar dia bisa kembali seperti semula.”
ADVERTISEMENT
Esoknya Chandra datang ke rumah sakit dengan wajah serius seakan menemukan alasan berjuang kembali. Dia tidak ingin ada rasa penyesalan yang ikut ketika ia sudah tiada, dia tidak ingin ada air mata lagi di keluarganya yang ia bangun tersebut.
Acha yang hari ulang tahunnya tidak jauh setelah Chandra, diberi kejutan oleh orang-orang terdekatnya. Yang merencanakan itu semua adalah Chandra, dengan senyuman manis Acha berkata, “Terima kasih banyak.”
Setelah selesai acara, Chandra dan Acha duduk di teras rumah keluarga Acha. Mereka berdua memandangi kedua anaknya dengan tatapan lembut dan penuh kehangatan. Acha berkata, “Apakah kita bisa memulai dari awal lagi, Chan? Mungkin terdengar bodoh, tapi aku benar-benar menyesal melakukan banyak kesalahan di masa lalu.”
ADVERTISEMENT
Chandra terkejut sekaligus senang mendengarnya, tapi dia tahu umurnya tidaklah lama lagi. Dia hanya berkata, “Kita lihat saja nanti, setelah semua masalah terselesaikan. Aku senang kamu berpikir begitu.” Mereka saling berpegangan tangan, Chandra menatap serius Acha dan berkata, “Aku menemukan orang yang siap mendonorkan jantungnya untukmu.” Raut wajah Acha berubah terkejut juga terharu. Lanjut Chandra, “Tapi dia tidak ingin disebut namanya, anggap saja itu sebagai hadiah untukmu.” Acha memeluk erat Chandra sampai terasa sesak dengan perasaan cinta, kedua anaknya yang melihat papa dan mamanya berpelukan ikut menghampiri mereka, seakan mereka kembali menjadi keluarga bahagia yang utuh.
Setelah melewati banyak proses dan prosedur untuk melakukan operasi transplatasi jantung. Acha dengan perasaan campur aduk, berusaha tetap positif. Dia tahu operasi ini memiliki resiko tapi semua ini dia lakukan demi bisa kembali hidup bersama Chandra dan kedua anaknya.
ADVERTISEMENT
Sebelum masuk ke ruang operasi, Acha memeluk erat Umar dan Chacha seakan mereka tidak akan berjumpa kembali. Chandra tersenyum tipis, dan mengikuti Acha ke ruang operasi karena dirinya meminta untuk ditemani. Dalam ruangan putih, Acha terbaring di ranjang dan mulai kehilangan kesadaran, Chandra mendekat dan berbisik “Aku akan selalu bersamamu, jangan khawatir, sampai jumpa setelah operasi.” Mereka berdua tersenyum penuh rasa cinta dan kasih, lalu Chandra mencium kening Acha yang kini sudah tertidur.
Beberapa jam setelah operasi, Acha pun terbangun. Kepalanya begitu pusing akibat obat yang diberikan dokter, dan dia hanya melihat suster di ruangannya. Suster itu memanggil dokter juga keluarga Acha dan anak-anaknya. Dokter menanyakan kondisi Acha, dan dia menjawab merasa baik-baik saja. Ketika semuanya datang menghampiri Acha dan memeluknya, tapi dia tidak melihat keberadaan Chandra. Dia pun bertanya kepada yang lainnya tapi tidak ada yang tahu kemana dia, lalu dia bertanya pada dokter, dengan rasa berat hati dokter berusaha menjelaskan segalanya dengan saksama.
ADVERTISEMENT
“Bapak Chandra lah yang telah mendonorkan jantung kepada ibu, dia berusaha merahasiakan ini semua sampai operasi berjalan dengan lancar. Bapak Chandra juga menitipkan sebuah surat untuk anda dan anak-anaknya.”
Raut wajah semua orang di ruangan itu sangat terkejut atas tindakan Chandra, bahkan Acha dan kedua anaknya tidak bisa berkata apa-apa. Acha yang terdiam sejenak itu mulai menangis histeris dan tubuhnya gemetar, diikuti juga Umar dan Chacha yang memeluk ibunya sambil menangis. Acha teringat perkataanya dulu saat bertengkar dengan Chandra, “Kamu laki-laki tidak punya hati.” Dan kini hati (jantung) Chandra menjadi satu dengan dirinya.
Beberapa hari kemudian Acha diperbolehkan untuk pulang, dan tempat pertama yang ia kunjungi adalah makam Chandra yang dimakamkan ketika dirinya masih di rumah sakit. Bersama kedua anaknya dia berziarah. Di sana dia berusaha menahan air mata, tapi Umar dan Chacha menangis teringat sang ayah. Acha ingin Chandra tahu kalau dia bersama anak-anaknya akan baik-baik saja dan akan selalu bersama dalam berbagai situasi dan kondisi. Dia mendekap kedua anaknya itu, dan tersenyum bahagia diikuti air mata.
ADVERTISEMENT